Pada peringatan Hari Bumi ke-50, 22 April 2020, Paus Fransiskus mengadakan Audiensi General, yang dihadiri beberapa uksup. Katekese Paus kali ini berdasarkan teks Kej. 2: 8-9, 15. Paus memberikan pesannya setelah teks tersebut dibacakan delapan uskup dalam delapan bahasa. Berikut terjemahan atas ketekese Paus, berdasarkan akun YouTube Vatican News. [NB: kata ‘bumi’ dan ‘tanah’ kami gunakan sesuai konteks kalimat yang dirasa lebih cocok].
“Saudara saudari terkasih, selamat pagi. Hari ini kita merayakan peringatan ke-50 Hari Bumi Sedunia. Ini sebuah kesempatan untuk membarui komitmen kita untuk mencintai rumah kita bersama, merawatnya serta anggota-anggota yang paling lemah dalam keluarga kita. Pandemi virus korona yang tragis ini, yang kita hadapi, sedang menunjukkan kepada kita bahwa hanya bersama dan dengan memerhatikan mereka yang paling lemah, kita dapat mengalahkan tantangan global.
Surat Ensiklik Laudato Si memang mengambil anak judul ini: tentang perawatan rumah kita bersama. Hari ini kita mau merefleksikan bersama tentang tanggung jawab tersebut, yang merupakan corak perjalanan kita di bumi ini. Kita harus bertumbuh dalam kesadaran akan perawatan rumah bersama.
Kita dijadikan dari debu tanah. Dan hasil bumi lah yang menopang hidup kita. Tetapi, sebagaimana dikatakan dalam Kitab Kejadian, kita ini bukan sekedar dijadikan dari tanah: dalam diri kita terdapat nafas hidup yang berasal dari Allah.
Kita hidup bersama dalam rumah bersama sebagai satu keluarga manusia, dan dalam keberagaman dengan ciptaan Tuhan lainnya. Sebagai citra Allah (imago Dei), kita dipanggil untuk merawat dan menghormati segenap ciptaan, serta memberi asupan kasih penuh bela rasa bagi saudari dan sudara kita, terutama yang paling lemah, seturut kasih Allah yang terungkap bagi kita melalui Yesus Putra-Nya, yang telah menjadi manusia untuk turut merasakan situasi ini, dan menyelamatkan kita.
Oleh karena egosime, tanggung jawab kita untuk merawat dan menjalani tata kelolah bumi sudah kendor. Cukup dengan memperhatikan realitas dengan jujur, jelas terlihat bahwa telah terjadi kemerosotan besar dalam rumah kita bersama: kita telah mencemarkan bumi, kita telah menjarahnya, dengan demikian mendatangkan bahaya bagi hidup kita sendiri.
Oleh karena itu telah diadakan berbagai gerakan, baik internasional maupun lokal, untuk membangkitkan kembali kesadaran. Saya sungguh menghargai inisiatif-inisiatif ini. Dan masih perlu bahwa anak-anak kita turun ke jalan untuk mengajarkan kepada kita apa yang sudah jelas. Artinya: tidak ada masa depan bagi kita, kalau kita merusak lingkungan yang menopang kita.
Kita telah mengabaikan perawatan bumi, kebun rumah kita, dan dalam melindungi saudara-saudari kita. Kita telah berdosa terhadap tanah, terhadap sesama, dan yang sungguh besar, berdosa terhadap Sang Pencipta, Bapa yang Baik, yang memperhatikan setiap orang, dan yang menghendaki agar kita hidup bersama dalam persekutuan dan persemakmuran.
Bagaimana tanah beraksi? Ada sebuah pepatah dalam bahasa Spanyol, yang sangat jelas tentang hal ini, begini dikatakan: Tuhan selalu mengampuni, kita manusia kadang mengampuni, kadang tidak, tanah tidak pernah mengampuni! Tanah tidak mengampuni. Jika kita memeras hasil yang diberikan ibu pertiwi, balasannya akan sangat buruk.
Bagaimana kita dapat mengembalikan relasi hormonis dengan tanah bagi generasi mendatang? Relasi harmonis. Kita sering mengabaikan visi keharmonisan – hal yang sebetulnya adalah karya Roh Kudus. Dan itu pula yang hendaknya terjadi dalam rumah kita bersama, dengan orang lain, dengan sesama, dengan mereka yang paling miskin, dengan tanah: keharmonisan.
Bagaimana kita mengembalikan keharmonisan ini? Kita memerlukan cara pandang baru terhadap rumah kita besama. Mari kita camkan: dia (tanah) bukan deposito sumber untuk dihabiskan. Bagi kita orang beriman, bumi ciptaan merupakan Injil Ciptaan yang memancarkan daya cipta Tuhan yang membentuk hidup manusia dan menjadikan bumi serta segala yang terkandung di dalamnya untuk menopang umat manusia.
Kisah alkitabiah tentang penciptaan diakhir begini: “Allah melihat bahwa semuanya itu sangat baik”. Ketika menghadapi tragedi alami ini, ada jawaban dari tanah atas tindakan-tindakan buruk kita. Saya pikir kalau sekarang saya bertanya kepada Tuhan, apa yang Ia pikir tentang situasi ini, saya yakin, Dia akan mengatakan sesuatu yang kurang baik: kita lah yang telah merusak karya Tuhan.
Pada Peringatan Hari Bumi hari ini, kita dipanggil untuk menemukan kembali makna sakral dari sikap hormat pada tanah, sebab ini bukan hanya rumah kita, tetapi rumah Tuhan. Dari sini lah mengalir kesadaran dalam diri kita tentang hidup dalam sebuah bumi yang sakral.
Saudari dan sauara sekalian, mari kita bangkitkan makna estetis dan kontemplatif yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Kontemplasi adalah pesan kenabian yang kita temukan terutama dari masyarakat asli, yang mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak dapat memelihara bumi, jika kita tidak mencintai dan menghormatinya. Mereka (masyarakat asli) memiliki kebijaksanaan tentang ‘hidup baik’: bukan dalam arti melewatinya dengan baik. Bukan: tetapi hidup dalam keharmonisan dengan tanah. Mereka menyebut ‘hidup baik’ dengan maksud keharmonisan.
Demikian pula kita pun perlu mekakukan sebuah pertobatan ekologis yang ditunjukkan dalam aksi-aksi nyata. Sebagai satu keluarga yang saling bergantung, kita perlu suatu rencana bersama untuk menghadapi musuh yang merusak rumah kita bersama. Ke-salingtergantung-an mewajibkan kita untuk berpikir tentang satu bumi saja, tentang sebuah proyek bersama.
Kita menyadari pentingnya kerja sama sebagai komuntias internasional untuk perlindungan rumah kita bersama. Telah muncul dari berbagai pihak yang punya otoritas untuk memproses dua Konferensi Internasional yang penting: COP 15 tentang Biodirversitas di Kungmign, Cina; dan COP 26 tentang Perubahan Iklim di Glasgow, Britania Raya. Dua pertemuan ini sangat penting.
Saya mendorong pengorganisasian pertemuan-pertemuan terpadu baik pada tingkat nasional maupun lokal. Baiklah kita berubah bersama dari setiap kondisi sosial dan menghidup juga gerakan-gerakan kemasyarakatan, dari yang paling mendasar. Peringatan Hari Bumi yang kita rayakan hari ini sebetulnya lahir dari alasan-alasan ini: setiap orang dapat memberi kontribusinya yang kecil.
Jangan mengira bahwa kekuatan-kekuatan kecil ini tidak akan mengubah bumi. Aksi-aksi seperti itu menjadi fundasi kesejahteraan masyarakat, yang selalu membawa dampak tak terduga, karena mendorong di dalam bumi ini suatu kebaikan yang menopang bumi, sering kali secara tersembunyi.
Pada masa Paskah ini, masa pembaruan, mari kita belajar mengasihi dan menghormati bumi sebagai anugerah yang begitu luhur, rumah kita bersama, serta turut memeliahara semua anggota keluarga manusia. Sebagai saudari dan saudara, mari kita bersama mohon kepada Bapa surgawi: ‘utuslah Roh Kudus-Mu dan baruilah seluruh muka bumi’. Terima kasih”.
www.andreatawolo.id/2020/04/katekese-paus-pada-hari-bumi