warisanbudayanusantara.com

Tak banyak yang tahu dari mana padi muncul. Namun, mitos Rembong (dari Manggarai Timur, NTT) punya kisahnya sendiri.

Alkisah, salah seorang dari dua bersaudara yang tergugah oleh kelaparan yang menimpa kampungnya, mempersembahkan diri kepada Awangn Itan, Tanan Wan (Langit dan Bumi). Salah satunya memenggal dan memotong-motong tubuh kerabatnya, lalu menaburkan daging dan darah di tanah hingga matahari di terbenam.

Sebuah mukjizat kemudian terjadi. Ketika langit masih biru, tana’ manga waran, watu manga nguzan (Bumi masih muda belia), saat fajar menyingsing, dari dalam tanah muncullah apa yang kemudian kita sebut sebagai ‘padi’.

Sementara itu, di belahan bumi lain, sekitar 130 juta tahun yang lalu, di suatu dataran luas di daerah yang dikenal dengan sebutan Gondwana supercontinent, kisah tentang padi jenis lain dimulai.

Ia memiliki nenek moyang serangkum rumput yang tumbuh liar dengan jenis berbeda-beda di daerah-daerah lembab. Dari leluhur di Afrika Barat dan Asia Selatan, dua spesies tanaman itu berkembang secara terpisah. Yang satu dikenal sebagai padi Afrika (Oryza glaberrima Steud) dan yang lainnya disebut sebagai Padi Asia dengan nama mentereng Oryza Sativa L.

Sepanjang banyak generasi yang tak terhitung jumlahnya, dua genus padi dari sekian banyak  Oryza (Texas dan  Dilday, 2003: 4-5) lainnya mengalami pengolahan, domestifikasi, penyebaran, dan diversifikasi.   Sejak Revolusi Agrikultur sekitar 12.000 tahun yang lalu itu, nasi (sebutan untuk padi yang sudah ditanak) di mulut dan tenggorokan manusia menjadi primadona di antara jenis makanan lainnya.

Mula-mula, nasi hanya menjadi tambahan makanan di antara banyak makanan lain di muka bumi yang dapat diperoleh dan disantap manusia. Tetapi ia kemudian berkembang menjadi satu-satunya makanan pokok di lebih dari seratus negara di belahan bumi ini, dimakan oleh dua pertiga penduduk dunia,  lebih kurang menyamai sepupunya, gandum.

Tidak hanya itu, dalam pikiran manusia, padi menjadi semacam ‘way of think’. Braudel (1973:66) pernah menulis soal itu: “Katakan kepadaku apa yang kamu makan, dan aku akan memberitahu kamu siapa dirimu sesungguhnya”. Mirip-mirip dengan pepatah petitih orang Jerman: “Der Mensch ist was er isst” (Manusia adalah apa yang dimakannya).

Padi tidak hanya menjadi tanda bagaimana manusia hidup, tetapi juga simbol bagaimana manusia berpikir tentang dirinya sendiri dan orang lain. Atau mengutip Emiko Ohnuki-Tierney (1993:3): “Makanan itu, berubah dari rumput yang tidak signifikan menjadi basis diskriminasi melawan orang lain.”

Bayangkan, di satu jejeran kampung di bagian Selatan Kalimantan, ketika kamu cuma makan jagung, dari mulut kanak-kanak keluar ujaran, “Jangan mau diperbudak oleh kemiskinan”. Dari mulut kakanakan muncul kalimat secanggih itu, dan itu tak mungkin dikatakan berkat kejernihan rasionalitasnya. Itu hanya dapat dimengerti berkat pengondisian lingkungannya.

Hal itu mirip dengan yang terjadi di ujung kampung Manggarai Timur Jauh. Ketika Anda sehari-hari makan singkong, jagung, pisang, atau tanaman umbi lainnya, Anda akan dituduh malas, dan tentu saja, miskin. Dan yang makan nasi adalah manusia yang kaya dan rajin. Padi pun menjadi lambang arogansi.

Di tengah situasi yang tidak menentu ini, di tengah ancaman kekurangan pangan akibat Covid-19, di tengah ancaman krisis lingkungan hidup dan juga krisis pangan, berharap pada padi saja bisa celaka. Namun, perut kebanyakan orang sudah terbiasa menggiling keju, roti dari gandum, dan tentu saja nasi dari padi. Mulut sudah lupa cara mengunyah singkong, pisang dan kestela. Kerongkongan acap sakit menelan kasarnya jagung, jewawut, dan sorgum.

Pikiran manusia sudah terbiasa mengolah data bahwa padi dan nasi adalah satu-satunya makanan pengenyang perut. Maka, rasanya belum makan kalau  belum menelan nasi. Lagi pula, lahan untuk menanam segala sereal, umbi dan kacang-kacangan itu telah berubah menjadi gedung-gedung menjulang tempat berjualan makanan ‘arogan’ lainnya, dari tart sampai Mekdy, dari mie  hingga kentaki.

Tetapi kita masih bisa berharap dan berjuang keras. Di tengah produksi padi yang masif, cepat dan luas; di tengah pertanian padi yang intensif mempergunakan pestisida dan pupuk kimia, yang meracuni ladang-ladang dan air tanah serta meninggalkan endapannya dalam makanan; di tengah promosi makanan transgenik lainnya, ajakan kembali ke pangan lokal bukan mimpi di siang bolong. Memakan makanan lokal lain selain nasi adalah ajakan cerdas melawan lapar dan kemiskinan. Sebab kita mesti ingat bahwa kerabat dekat manusia, anjing, mengunyah makanan yang juga sama: nasi dari padi! (Dian B)

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

ten + 12 =