Di kampung saya, orang suka sekali Ganda (ngobrol). Sering, walau sampai larut malam, yang penting ganda. Apalagi kalau gandanya enak, bila ada bahan baru yang dibawa orang dari luar daerah, selalu menarik perhatian. Dan tentu omong politik jadi bahan yang renyah. Segala umur bisa bicara tentang hal yang satu ini. Joaknya, wan panga ngis, etan muwang ulu, dari bayi hingga yang uzur kalau bicara Politik semuanya jadi tahu tentang segala hal: dari masalah desa sampai politik di Amerika. Ia memang pelik, saking serunya Politik itu, bisa jadi kebun ditinggal, sawah dibiarkan merana oleh pemiliknya. Alhasil, remang runu rinca tuus, kole mbaru pese’ rawuk ces, ladang tak terurus, pulang rumah tak ada makanan.
Biarpun begitu, entah kenapa, tetap saja orang-orang saya menggandrungi politik. Bahkan walaupun gara-gara beda pilihan politik, yang makan semeja bisa saling bermusuhan, tetangga saling menghujat, ayah dan anak bisa bikin acara keti’ manuk mitong, putus hubungan keluarga, tetapi masih saja ganda politik bikin melek dan tentu saja makin digosok makin sip. Mungkin karena ia, politik itu, menawarkan uang dan kuasa yang bisa membeli dan memerintah segalanya melalui ‘bum’, sim salabim, langsung jadi. Yah, mungkin.
Tetapi tidak hanya tentang politik isi ganda itu. Bisa tentang tuak, rokok, isi dapur, main bola, sawah, dari cengkeh melompat ke oto dari Kelu (nama tempat di Manggarai Timur Jauh), melayang ke Roma omongannya. Tidak bosan. Dan terjadi esok harinya, orang di kampung saya itu membawa serta isi ganda di malam yang telah lalu dalam hati dan pikiran ke tempatnya bekerja. Kalau di tempat duat (kerja) itu, ia bertemu dengan orang lain, maka pembicaraan dimulai lagi. Bisa tentang tema yang lain atau tetap yang sama. Mama-mama pasti mengerti ini, biar sama-sama menonton film India yang sama tetapi tetap ramai kalau di-ganda-kan bersama.
Opini menyebar, tanggapan berlimpah, penilaian, persepsi bahkan representasi tentang ‘apa yang diomongkan’ beranak-pinak, berlipat ganda. Ganda memang membantu ‘membunuh waktu’, melewati kesempatan yang satu ke kesempatan yang lain, mengisi hidup dengan belajar bersama, bertukar pikiran, berbagi informasi, menjalin relasi dan sederet manfaat lainnya.
Tetapi bagaimana kalau ganda itu menjadi sesuatu yang tidak menolong? Ganda yang berisi ‘komentar’ atas kesalahan orang, kita namai gosip. Kita tahu walaupun bahwa ganda jenis itu membantu bahasa berevolusi dan menjadi alat kontrol sosial, tetapi kita mesti sadar juga bahwa ganda itu juga bisa menjadi ‘amunisi bunuh diri’ bagi orang-orang yang di-gosip-kan, karena berfokus hanya pada dan menghakimi kesalahan.
Ada juga ganda yang berisi joak, sedikit fakta lebih banyak hiperbol dan bualnya. Yang ini mungkin dipengaruhi struktur dalam diri manusia yang entah kenapa mau menipu, mau menambah-nambah ‘bumbu’ pada cerita, atau bisa jadi didorong oleh kemampuan manusia berimajinasi dan berkhayal. Ganda memang dipengaruhi juga oleh kemampuan fantasi yang ada dalam pikiran manusia untuk “menciptakan fiksi-fiksi”, begitu mengutip Harrari (2017).
Sementara itu, ada ganda yang isinya ‘sok tahu’: tidak tahu apa-apa atau sedikit saja tahu tentang orang lain dan sesuatu, tetapi berbicara banyak tentangnya. Ahli masak berbicara tentang teknik mesin, ahli kitab suci omong banyak tentang Virus Corona, ahli sapiens ganda tentang hierarki Gereja. Tentu saja tidak salah dan sama sekali tidak salah kalau seseorang dengan keahlian tertentu berbicara hal lain yang bukan bidangnya; pemusik mengomentari sepakbola atau seorang pelukis berbicara tentang antropologi, seperti petani tulen yang ganda tentang politik. Masalahnya baru muncul kalau, sekali lagi, tahu sedikit tetapi berbicara banyak; tidak tahu apa-apa, tetapi berlagak seperti orang paling pintar, berlaku seperti ahli dari ahli, kata Mbah Dul.
Di sini biasanya, ganda makin rumit apalagi kalau kesombongan bersengkarut dengan ‘paradigma teknokratis’ (LS, 106-114). Apa-apa mau dikomentari, apa-apa mau diomongkan, apa saja mau dijadikan bahan ganda, mungkin karena sering berkomentar di facebook, bikin story di watshapp, memberikan tanggapan di kolom komentar YouTube. Kita bebas berkomentar apa saja, tanpa perlu berpikir keras dan mendalam dan karena menganggap diri tahu segala, lalu menyingkirkan orang lain, mengeksklusi orang lain, menganggap orang lain bodoh, dungu dan bebal dan menjadikan orang lain sebagai ‘sampah’ yang tak perlu didengar. Walaupun tentu saja orang di kampung saya belum masif mengenal teknologi informasi dan komunikasi, tetapi yang biasa pikul sekop dapat saja bercerita tentang intrik politik di istana negara. Begitu isi ganda yang sok tahu.
Tidak cukup di situ. Ada juga ganda yang berisi omong kosong. Ini milik para pengkotbah, mungkin. Yang berbicara tetapi tidak berbuat, mirip seperti politikus yang ‘menjual janji-janji surga’, untuk mendapat kenikmatan duniawi. Omong tentang kemiskinan untuk mendapat kenyamanan kekayaan, seperti berbicara tentang pengentasan kemiskinan untuk menumpuk harta benda melalui kuasa. Anda bisa menambahkan jenis, sifat dan macam ganda lainnya.
Karena itu posisi yang perlu, di dunia yang penuh dengan banyak ganda ini, kita dituntut untuk ganda yang tertib, ganda yang terukur, ganda yang tahu batas tentang diri, tentang orang lain, tentang pengalaman, tentang alam semesta dan tentu saja tentang Tuhan. Sehingga kita tidak lupa juga untuk bekerja, sebab kalau tidak, komentar teman saya kepada saya dan orang kampung saya ini, bisa juga dialamatkan kepada siapapun: “too much talking”, terlalu banyak omong! Alhasil mungkin karena orang-orangnya terlalu banyak ganda, daerah saya sampai sekarang masih masuk dalam kategori provinsi terbelakang dan miskin, menurut gandanya Jokowi beberapa hari lalu. Oh yah, Anda boleh saja bekerja melalui ganda, asal tidak berlebihan. (Dian B)