Sidang Rakyat menggugat pembatalan UU Minerba 2020 berlanjut hari ini. Masyarakat dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua menegaskan, tidak ada kepentingan rakyat yang diwakili dari setiap pasal dalam UU Minerba yang disahkan (siaran pers)
JAKARTA – Masyarakat kawasan Indonesia Timur dengan suara bulat menolak implementasi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba yang disahkan 12 Mei lalu. Produk hukum tersebut disebut-sebut bakal lebih banyak memberikan dampak buruk, tidak hanya bagi lingkungan hidup tetapi juga ruang produksi dan kehidupan sosial mereka.
Suara masyarakat Indonesia bagian timur ini mewakili mereka yang hidup di wilayah pertambangan dan area PLTU batu bara mulai dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, hingga Papua. Hal ini mereka ungkapkan pada ‘Sidang Rakyat’ hari kedua, Sabtu (30/5/2020), yang digagas oleh gerakan #BersihkanIndonesia dan berbagai jejaring masyarakat sipil lainnya.
Beberapa waktu belakangan, pemerintah gencar mempromosikan kawasan timur Indonesia kepada investor, baik asing maupun lokal, untuk menanamkan modalnya di kawasan ini dengan harapan lapangan kerja baru tercipta dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut meningkat.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kepentingan masyarakat diabaikan dan kerusakan lingkungan terus terjadi. Lebih miris lagi, pendapatan daerah yang lahannya dikeruk oleh para investor kakap tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Hal ini diperkirakan akan semakin parah dengan disahkannya UU Minerba 2020 karena produk hukum ini membuat para pengusaha lebih leluasa melakukan ekspansi bisnisnya.
Berdasarkan kesaksian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diwakili Pastor Alsis Goa, saat ini sejumlah lahan pertanian habis dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan. Keseimbangan ekosistem tanah, hutan, dan air rusak akibat penanaman modal tersebut. Padahal, NTT adalah wilayah agraris yang mayoritas penduduknya hidup melalui bercocok tanam.
Tidak itu saja, hal ini diperparah dengan tindakan intimidasi dari para pengusaha kepada warga agar masyarakat mau menyerahkan lahan mereka untuk dikonversi menjadi area penambangan.
NTT saat ini juga dijadikan fokus pemerintah untuk menjadi kawasan pariwisata premium. Dengan adanya proyek ini, pembangunan pembangkit listrik akan lebih masif demi memenuhi kebutuhan energi di kawasan tersebut.
Sudah bukan rahasia lagi, pegembangan pembangkit listrik berbahan batu baralah yang menjadi pilihan. Padahal penggunaan bahan bakar energi fosil tersebut jelas-jelas lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat bagi masyarakat yang bermukim di area tersebut.
Di Sulawesi Tengah, pembangunan PLTU yang dikelola oleh PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) membuat warga sekitar mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Berdasarkan keterangan Arzad Hasan, warga Mpanau Kecamatan Palu Utara yang mengutip data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat, sekitar 60% penduduk di area PLTU terjangkit ISPA pada saat PJPP mengoperasikan PLTU unit 3 dan 4 pada 2015.
Warga Bali, khususnya yang tinggal di Desa Celukan Bawang pun mengeluhkan bahwa PLTU yang berdiri di kawasan tersebut telah merusak ekosistem darat dan laut. Akibat limbah yang dihasilkan, lahan-lahan perkebunan tidak bisa panen secara maksimal dan tangkapan hasil laut pun menurun.
Sama halnya seperti yang terjadi di Papua, limbah dari perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, telah membabat habis ekosistem di wilayah pesisir. Bahkan lima sungai lenyap akibat pembuangan limbah perusahaan tambang emas dan perak tersebut.
“Ironis, masyarakat NTT adalah masyarakat agraris, butuh lahan pertanian, sekarang dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan. Warga didesak untuk setuju (memberikan izin pengembangan lahan), (mereka) diancam, diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu termasuk pihak keamanan”
Pastor Alsis Goa, Direktur JPIC-OFM
“Pengesahan UU Minerba akan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup, mempercepat pengusiran rakyat dari ruang produksi”
Moh Taufik, Pegiat JATAM Sulteng
“Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksplorasi pertambangan tidak sebanding dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) di Maluku Utara”
Hendra Kasim, Akademisi,
Aktivis Pengacara Maluku Utara.
“PLTU Celukan Bawang berdampak buruk bagi masyarakat dari hulu sampai hilir. Hasil kebun sudah menurun drastis. Ekonomi hancur, ekosistem rusak. Limbah batubara telah mengganggu upaya pencarian nafkah nelayan dari segi hasil tangkap. Terumbu karang rusak, ekosistem di laut hancur”
Jaringan Masyarakat Peduli Lingkungan
Desa Celukan Bawang.
Narahubung:
Melky Nahar (JATAM): +62 813-1978-9181
Jasmine (Walhi Sulsel): +62 823-4693-7962