Penggunaan media sosial pada masa pandemi virus corona melonjak hingga 40 persen (Fahmi Ahmad Burhan, katadata.co.id: 2020). Beberapa mengatakan, “wajar, abis mo ngapain lagi?” Pertanyaan saya: “Apakah memang tak ada hal lain yang bisa dikerjakan tanpa media sosial? Sedemikian besarkah peran media sosial dalam hidup Anda? Media sosial apa yang Anda gunakan: Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter? Apa yang sedang dipersembahkan media sosial untuk hidup Anda?”
——
Media sosial apapun yang Anda gunakan pastinya membawa perubahan dalam hidup. Para ahli berpendapat bahwa penggunaan teknologi informasi atau perkembangan media berdampak pada perubahan psikologis dan sosial-budaya yang akan menciptakan hubungan baru, sekaligus membawa kebingungan dan disorientasi. Beberapa risiko yang bisa (bahkan telah) terjadi adalah hilangnya interioritas, kedangkalan hubungan, dan ketumpulan kemampuan untuk bisa melihat kebenaran. Muncul pula kecenderungan untuk mengidentifikasi pribadi dengan profil digital dan berkomunikasi hanya dengan sebagian dari kepribadian utuh dari seseorang, sehingga orang dapat jatuh ke dalam risiko membangun citra palsu. Dalam hal ini, hubungan dan komunikasi diperlihatkan sebagai sebuah sarana untuk memuaskan diri sendiri. Sebagai contoh, bukankah Anda bebas memilih untuk menampilkan foto profil Anda? Bahkan Anda dapat menciptakan profil lain yang sama sekali bukan persona asli Anda (menciptakan fake account untuk stalking mantan misalnya?). Lantas, bagaimana membaca fakta penggunaan media sosial yang melonjak sampai 40 persen selama pandemi berlangsung dan relevansinya bagi kehidupan kita saat ini? Adapun tulisan ini merupakan parafrase dari artikel Martin Carbajo Nunez OFM berjudul Digital Age challenges and Consecrated Life, yang pernah dimuat di jurnal Studia Moralia edisi Juli – Desember 2015.
Tercabut dan Terperangkap dalam Jaringan
Disadari atau tidak media sosial memengaruhi para penggunanya secara terus-menerus, menginjeksi sebuah pemahaman bahwa tak ada lagi persoalan ruang dan waktu dalam komunikasi. Dengan video call lewat Skype misalnya, seorang dari Bandar Lampung dapat dengan mudah menghubungi pihak lain yang berada di Nazareth. Media sosial mengondisikan para penggunanya seolah sedang berada di sebuah desa global dimana segala sesuatu tampak nyata di depan mata, bukan sekadar virtual. Demikian pula, barang yang Anda pesan secara online sudah dapat Anda terima dalam hitungan menit, yakni ketika driver Gojek berteriak di depan pintu rumah Anda, “paket!” Tak dapat dimungkiri, jaringan internet berkecepatan tinggi memperkuat kesan bahwa semua orang sedang berada amat dekat.
Namun, para peselancar jaringan tersebut dapat dengan mudah terjerat dalam link-link yang tak berujung. Berbagai system dan pendekatan tercipta untuk kemudian mendorong para surfer terus melompat secara cepat dari satu wajah virtual ke wajah virtual yang lain, random, tanpa urutan, dan tujuan yang jelas. Segalanya terlihat menarik dan Anda seperti diajak untuk menikmati sesuatu tanpa dapat berintegrasi dalam sebuah tujuan yang jelas. Media sosial terlihat memberikan kebebasan untuk memilih, namun pada praktiknya seorang berkemungkinan mengalami kondisi kekurangan kriteria yang dapat mendasari sebuah proses pengambilan keputusan yang baik. Apakah Anda memiliki kriteria tertentu untuk men-share sebuah berita yang Anda lihat di timeline facebook Anda? Kadang iya, tapi kebanyakan mungkin tidak, karena pada saat tidak itulah, kemungkinan muncul apa yang sering disebut hoax.
Hal ini kemudian berdampak pada kualitas hubungan yang terjalin antar manusia. Media sosial membuat orang mendapatkan banyak teman. Namun, sebenarnya tak sungguh mengenalnya secara personal. Komunikasi pun diartikan hanya sebagai sebuah arus perpindahan data, tanpa kemampuan untuk memilah mana informasi yang benar, mana yang salah, mana yang baik dan yang buruk. Sekadar “passing” informasi, memperbesar kemungkinan seorang membagikan informasi tanpa perlu berpikir siapa objek penerima informasi tersebut. Dengan demikian, media sosial yang seharusnya berfungsi mempermudah komunikasi, justru terlihat berisiko mencabut sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Semakin terhubung namun semakin terisolasi
Tak dapat dimungkiri, media sosial telah memberikan kemungkinan untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Para penggunanya dapat semakin terhubung dengan mereka yang tidak dekat secara fisik. Namun, tetap saja ada risiko yang sulit dihindari: terisolasi! Pemandangan ini mungkin sering terlihat: sebuah keluarga tengah makan di ruang makan mereka yang mewah namun masing-masing berkonsentrasi pada gadget mereka, tak saling peduli pada anggota keluarga lain. Yups, terhubung dengan yang jauh, mengabaikan yang dekat.
Secara teknis, media sosial memang dapat memberikan fasilitas koneksi dengan efektif. Namun, tetap tak dapat menjamin sebuah “good relationship”. Komunikasi yang baik tak hanya ditentukan oleh dimensi teknis namun dimensi antropologis juga harus diperhatikan. Kepenuhan dalam kehidupan sosial tidak ditentukan dari berapa banyak panggilan dan pesan yang terkirim atau yang diterima. Sebuah riset di Amerika mengatakan bahwa jumlah orang-orang yang memiliki sahabat dekat menurun dari tiga menjadi dua dalam kurun waktu hanya 15 tahun (M.E. Brashears, Social Networks: 2011). Banyak orang mengalami kebingungan antara sesuatu yang terlihat dengan sesuatu yang diketahui. Kecepatan dan kemudahan koneksi membuat orang “terjebak” dalam situasi seolah-olah telah mengetahui, padahal hanya melihat. Anda hanya melihat tanpa mengetahuinya. Karena itu, banyak orang kesulitan melihat sesuatu yang melampaui apa yang kelihatan. Di media sosial, keberhasilan komunikasi diukur dari berapa banyak teman yang dimiliki di facebook, berapa banyak like atau love yang saya dapat untuk foto yang saya tampilkan di Instagram, berapa banyak follower saya di Tweeter atau Instagram dan sebagainya.
Memang, media sosial mempermudah Anda untuk berhubungan tetapi tak bisa mencegah terjadinya kesendirian, terisolasi, bahkan keterasingan. Di antara ribuan teman virtual yang Anda miliki, bukankah dapat segera terasa sebuah ketidakberartian karena menjadi seorang anonimous diantara banyak orang? Apa yang Anda rasakan ketika suatu hari Anda menulis status di facebook lalu begitu banyak teman mengomentari status Anda. Anda begitu sibuk membalas komentar-komentar itu, Anda merasa begitu banyak yang peduli dengan Anda, menghargai gagasan Anda, tapi faktanya, bukankah Anda sedang duduk sendirian dengan ponsel Anda? Ketika Anda sedang terhubung secara online dengan banyak teman virtual Anda, bukankah sebenarnya Anda sedang berada sendiri di sebuah kamar tertutup tanpa memperhatikan orang lain di sekitar? Coba perhatikan, ketika Anda berada dalam sebuah perjalanan, berapa banyak orang yang menghabiskan waktunya hanya dengan ponselnya dan berapa banyak mereka yang berusaha membangun komunikasi dengan teman seperjalanan mereka? Berapa banyak orang yang Anda kenal selama melakukan perjalanan?
Simulacrum dan Narsisme
Media sosial menawarkan kepada para penggunanya sebuah jendela untuk menunjukan, memublikasikan atau memamerkan sesuatu. Dalam sebuah artikel berjudul On Facebook Intimacy and Extimacy, Zygmunt Bauman (1925-2017) -seorang sosiologis asal Polandia- menggarisbawahi berbagai macam perilaku yang akan membawa orang pada sebuah extimacy, yaitu sebuah cara memproyeksikan intimitas sebuah hubungan dalam dinding digital. Sebuah gejala dimana seorang berusaha menjadi pusat perhatian. Namun, sekaligus tak peduli dengan orang lain yang telah memberikan perhatian itu padanya. Dalam hal ini dapatlah disebut orang ini mengalami apa yang disebut narsisme yang akan terus membuat ia mengidentifikasi dirinya pada profil publik yang ia ciptakan dan tak akan pernah menemukan identitasnya. Seorang yang terobsesi pada bayangan dirinya sendiri dalam cermin orang lain. Reaksi emosional orang lain terhadap citra ideal yang diciptakannya, akan mengondisikan harga diri dan persepsi identitasnya.
Pernah mendengar sebuah aplikasi media sosial bernama Second life? Secara eksplisit aplikasi ini mempromosikan penciptaan identitas diri (avatar) yang berbeda untuk berinteraksi secara bebas dalam sebuah ruang digital yang paralel dengan dunia nyata dan sepenuhnya otonom. Jadi amatlah mudah untuk berkomunikasi dengan pihak lain, menampilkan diri dengan sebuah profil yang menurut persepsi saya adalah ideal. Dalam kenyataannya, saya adalah seorang imam Katolik yang miskin. Namun, saya dapat memilih avatar sebagai seorang bos mafia yang kaya raya. Dalam Second life, Anda dapat menjadi apapun sesuai dengan yang diinginkan.
Hyper-connected dan Hyper-accelerated
Hyper-connected dapat dijelaskan demikian. Kemajuan teknologi informasi komunikasi yang baru memungkinkan orang saat ini untuk selalu terhubung dengan dunia. Dengan smartphone dalam genggaman, dimana saja dan kapan saja Anda dapat menerima atau mengirimkan informasi. Dalam kondisi seperti ini dapatlah terjadi sebuah gejala yang disebut continous partial attention, yaitu persetujuan untuk hadir secara simultan di tempat yang berbeda. Namun, hal ini justru akan membuat pengambilan keputusan dan pertemuan personal menjadi jauh lebih sulit. Bayangkan seorang yang berbicara lewat Skype, pada saat yang bersamaan melakukan aktivitas pencarian di google, sehingga menunjukan bahwa orang yang sedang ia ajak bicara bukan menjadi pusat perhatiannya. Bukankah hal ini sering Anda alami? Ketika Anda sedang berbicara dengan seseorang, tiba-tiba Anda harus menerima telpon atau menerima pesan atau menulis pesan. Sebuah perilaku yang pada beberapa waktu lalu disadari sebagai sesuatu yang tidak sopan, tetapi toh norma moral sosial seperti tak kuasa mengatur.
Sementara itu, hyper-accelerated dapat diuraikan demikian. Karena keadaan yang terbentuk begitu terkoneksi dan begitu cepat, banyak orang tak berpikir lagi tentang ruang dan waktu. Konsep tentang ruang dan waktu perlahan hilang. Atas nama pekerjaan, atas nama sebuah persoalan yang lebih mendesak, seorang dengan mudah dapat meninggalkan “dunia nyata” dan beralih segera ke “dunia maya”. Disadari atau tidak, hal ini memengaruhi cara hidup manusia zaman kini. Misalnya, untuk mengetahui informasi mengenai kemartiran -misalnya- dalam dokumen Veritatis Splendor, saya cukup masuk ke situs vatican.org, mencari dokumen yang dimaksud lalu menekan tombol ctrl F, lalu mengetik kata kemartiran. Dan, saya akan segera menemukan penjelasan mengenai kemartiran tanpa harus membaca keseluruhan dokumen. Di satu pihak, saya sedang menghemat waktu. Namun, di lain pihak, saya tidak sungguh berproses dalam membaca. Konsekuensi cara membaca demikian paling riskan dialami oleh anak-anak generasi Z (lahir setelah 1996) atau Alpha (yang lahir setelah tahun 2010). Perhatikan kebiasaan membaca anak-anak zaman ini. Dibutuhkan waktu untuk membaca sebuah buku. Namun, agaknya mereka tak memiliki kemampuan untuk berproses dalam membaca.
Depersonalizing Superficiality
Berbagai macam rangsangan dan kurangnya refleksi dalam menggunakan media sosial, menuntun banyak orang pada sebuah superfisialitas. Social network misalnya, benar-benar memprovokasi para penggunanya, memberanikan mereka secara instingtif mewujudkan reaksi emosial mereka dalam sebuah postingan. Anda memiliki facebook bukan? Baiklah diperhatikan ketika Anda membukanya, segera muncul pertanyaan yang seolah menanti jawaban, “What’s on your mind?” Pertanyaan yang muncul memprovokasi setiap kali Anda membuka facebook, untuk menuliskan sesuatu yang ada dipikiran. Sebuah studi pada 2012 mengatakan bahwa diantara 700.000 pengguna facebook, mereka menunjukan kecenderungan emosional tersebut dan tidak reflektif (A.D.I. Kramer, dkk, Proceedings of the national Academy of Sciences of the USA: 2014).
Komunikasi instan menciptakan perilaku ketidakmampuan menganalisis dan mengasimilasi pengalaman-pengalaman personal. Seringkali para pengguna facebook membagikan begitu saja apa yang mereka terima tanpa menganalisa, apakah yang ia bagikan berguna atau tidak, baik atau jahat dan sebagainya. Ada rasa cemas yang muncul, ketika menerima sebuah informasi namun tidak langsung direspons. Banyak orang kehilangan kemampuan menganalisa, merefleksikan informasi yang diterima, karena sistem komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk segera membagikannya tanpa perlu mencernanya, memeriksanya, merefleksikannya. Yang penting, bagaimana pesan yang saya terima dapat tersebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia dengan hanya sekali click.
Begitu Burukkah Semua yang Dipersembahkan Media Sosial?
Pertanyaan ini yang mungkin muncul segera di benak Anda setelah membaca beberapa persembahan media sosial bagi para penggunanya. Tentu saja tidak seburuk itu, namun saya sekadar hendak memberikan highlight pada bagian-bagian yang mesti diwaspadai yang justru dapat dilihat sebagai tantangan zaman kini dalam menggunakan media sosial. Gereja dalam hal ini berpAndangan bahwa media sosial merupakan salah satu dari: “Anugerah-anugerah Allah yang sesuai dengan rencana Penyelenggaraan Ilahi yang dimaksudkan untuk menyatukan manusia dalam ikatan persaudaraan, agar menjadi teman sekerja dalam rencana penyelamatan-Nya” (Communio et Progressio, 2). Media sosial tentu dapat digunakan sebagai: “Salah satu sarana untuk mewartakan “dari atas atap-atap rumah” (Lih. Mat 10:27; Luk 12:3) pesan yang diserahkan kepada Gereja untuk dijaga” (Evangelii Nuntiandi: 45). Dalam penggunaan media sosial, Gereja diharapkan menemukan sebuah gaya dan cara yang efektif untuk mewartakan kabar sukacita Injil yang berhasil menyentuh semakin banyak orang. Karena itu, aneka perangkat media sosial tetap dapat diandalkan.
Persembahan Media Sosial: Ditolak atau Diterima?
Membenturkan pandangan Gereja dengan beberapa persembahan dari media sosial membuat Gereja sendiri harus piawai dalam melakukan discernment, sehingga tak membuat tersedak para penggunanya. Konsep dan pemahaman yang cukup, latihan serta praktik yang memadai dalam mempelajari dan menggunakan media sosial akan menjadi sebuah fundamen kokoh bagi terciptanya penggunaan media sosial yang bertanggung jawab. Karena itu, dilema sesungguhnya bukan terletak pada keputusan bahwa seorang frater atau suster yunior, atau seorang novis atau seorang anak kelas 4 SD, boleh menggunakan smartphone atau tidak. Namun, bagaimana dengan sungguh, pihak-pihak terkait mempersiapkan mereka untuk dapat menggunakan media sosial secara bertanggungjawab.
Dunia tengah berada dalam sebuah budaya yang baru, sebuah cara berpikir dan cara berada yang baru. Hal ini mengandaikan, tiap insan memiliki sebuah kapasitas representasi mental yang siap pula untuk menghadapinya. Kehadiran media sosial telah mengubah dunia dan hal ini tak dapat dihindari karena telah membentuk presepsi manusia mengenai realitas dan pemahaman simbolis manusia tentang dunia. Maka inilah saatnya untuk sungguh mempersiapkan diri, membekali diri dengan berbagai macam pengetahuan dan kemampuan agar dapat menggunakannya sebagai sarana utama pendidikan dan membuat manusia semakin beriman. Menolak atau mengabaikan keberadaannya, tak mau belajar untuk dapat menaklukannya, hanya akan semakin menambah deretan netizen bodoh di dunia.
Melanius Jordan Sesar OFM
Dosen Teologi Moral di Studium Theologicum Jerosolymitanum, Israel.
Ket. istilah:
Simulacrum: Berasal dari kata Bahasa Latin yang berarti gambaran, bayangan, penampilan atau representasi. Kata ini menunjukan sebuah penampilan yang tak merujuk pada realitas yang mendasarinya namun memberikan klaim valid pada penampilan itu.
Narsisme: Sebuah kecenderungan dan sikap psikologis manusia yang menjadikan diri pribadi, kualitas fisik dan intelektual mereka, pusat perhatian ekslusif dan unggul. Hal-hal tersebut adalah objek kekaguman bagi diri mereka sendiri sementara acuh tak acuh dengan realitas lain di luar dirinya.
Daftar Bacaan
- D. I. Kramer – J. E. Guillory – J. T. Hancock, «Experimental evidence of massive-scale emotional contagion trough social networks», dalam Proceedings of the national Academy of Sciences of the USA 111/24 (17-06-2014), hal. 8788-8790.
- Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Communio et progressio; Instruksi Pastoral tentang alat-alat Komunikasi Sosial yang diterbitkan sesuai arahan Konsili Ekumenis Vatikan II, Dokpen KWI, 2019.
- E. Brashears, «Small networks and high isolation? A reexamination of American discussion networks», dalam Social Networks, 33/4 (2011), hal. 331-341.
- Martin Carbajo Nunez, «Digital Age challenges and Consecrated Life»,dalam Studia Moralia, 53/2 (2015), hal. 269 – 291.
- Paulus VI, Evangelii Nuntiandi; Imbauan apostolik tentang pewartaan Injil zaman modern, Dokpen KWI, 2005.