crisis magazine.com

Sdr. Marciano Soarez, OFM*

Teologi biblis Kristen mengatakan secara jelas (Kej. 1:27) bahwa manusia adalah citra Allah (Imago Dei). Itu artinya manusia tak lain adalah representasi gambaran Allah Trinitas, yang secara hakiki dipahami dalam kerangka relasionalitas. Oleh karena itu, dalam teologi Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI), Allah dimaknai sebagai Being From, Being For, dan Being with. Inilah cara Ratzinger menjelaskan ciri relasional Allah. Dalam terang inilah saya akan menguraikan tulisan ini, dengan berfokus pada hakikat manusia sebagai citra Allah Trinitas, Allah yang secara intrinsik berciri relasional.

Gambar dan Rupa Allah

Refleksi antropologis Kristiani tidak terlepas dari konsep besar manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Sebagaimana ditulis dalam Alkitab: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27).”

Refleksi Ratzinger akan manusia bermula dari pendasaran biblis itu. Pertanyaannya adalah apa artinya manusia sebagai citra Allah menurut Ratzinger?

Dalam kisah penciptaan dikisahkan proses manusia diciptakan. Bahwa setelah manusia diciptakan dari tanah, ia diberi nafas oleh Tuhan (Kej. 1:26-28). Materi dasar dari manusia adalah debu tanah yang diambil dari bumi. Setelah itu, Allah memberikan nafas kehidupan kepada manusia yang sudah Ia bentuk. Ketika diberi nafas itu, manusia memperoleh kehidupan. Melalui pemberian nafas kehidupan dari Allah itu, realitas ilahi hadir dalam diri manusia (Ratzinger, 1995: 24-25).

Ratzinger menjelaskan bahwa manusia sebagai imago Dei dipahami dalam beberapa arti. Pertama, gambar adalah representasi dari sesuatu. Representasi dapat mengungkapan ciri-ciri dari yang direpresentasikan. Artinya, masih ada hal yang,  yang tidak dapat terungkap secara komprehensif oleh gambar.

Ketika manusia dipahami sebagai gambar Allah, lantas manusia itu merepresentasikan Allah. Sebagai gambar atau representasi, dalam diri manusia ada ketidaksempurnaan. Kesempurnaan ada pada Yang diperepresentasikannya, yaitu Allah. Dalam ketidaksempurnaan itu, manusia (seharusnya) selalu terbuka pada yang sempurna. Oleh karena itu, ketika manusia dikatakan sebagai citra Allah, itu berarti ia memiliki keterbukaan pada yang lain, yang melampaui dirinya.

Bagi Ratzinger, manusia sebagai citra Allah “pertama-tama berarti manusia tidak dapat tertutup pada dirinya sendiri” (Ratzinger, 1995: 26). Ia senantiasa terbuka pada pemenuhan diri yang terus-menerus. Keterbukaan itu selalu mengandaikan yang lain. Yang lain yang dimaksud dalam konteks ini adalah Allah Pencipta. Oleh karena itu, kodrat manusia sebagai gambar dan citra Allah itu menyiratkan relasionalitas dan keterbukaan pada Yang Lain. Itulah dinamika yang membuat manusia itu bergerak menuju yang lain secara penuh.

Ratzinger mengatakan, manusia mempunyai kapasitas akan relasionalitas. Manusia itu sungguh-sungguh manusia ketika ia keluar dari dirinya dan menyapa Tuhan dengan lebih ramah.

Kedua, manusia sebagai gambar dan rupa Allah juga berarti ia adalah pengada logos dan kasih. Manusia adalah ada yang bergerak menuju yang lain. Orientasinya adalah memberikan diri kepada yang lain. Menururut Ratzinger, seorang pribadi (atau manusia itu) hanya dapat menerima dirinya ketika ia sungguh-sungguh memberikan hidupnya untuk yang lain dalam kehidupan bersama dan relaitas hidupnya setiap hari.

Ketiga, manusia sebagai gambar dan rupa Allah menandakan relasi Allah Trinitas. Ratzinger menjelaskan bahwa manusia sebagai citra Allah itu tidak terlepas dari gambaran Allah Trinitas. Ketiga Pribadi itu menunjukkan tiga cara berada yang relasional. Allah Bapa adalah sumber yang disebut dengan Allah “dari”; Allah Putra adalah Allah “untuk”; dan Allah Roh Kudus adalah Allah “dengan” (Ratzinger, 2004: 248).

Artinya, Bapa adalah sumber segala sesuatu. Ia adalah Pencipta; Putra hadir untuk menyelematkan manusia (atau memberikan diri untuk keselamatan dan pemulihan relasi manusia); dan Roh Kudus senantiasa menyertai manusia. Jadi, manusia adalah being from, for dan with.

Untuk itu, kita dapat mengatakan dua hal mengenai manusia. Pertama, manusia yang diciptakan secitra dengan Allah. Kedua, manusia selalu berada dalam relasionalitas baik itu dengan Allah maupun dengan sesama ciptaan.

Pemahaman akan manusia secara utuh menurut Ratzinger dapat didalami dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Baru, orang dapat menemukan arti terdalam dari Perjanjian Lama. Atau dengan kata lain, apa yang dikatakan dalam Perjanjian Lama dipahami secara jelas dalam Perjanjian Baru.

Yesus Kristus: Gambaran Sempurna Manusia sebagai Imago Dei

Gambaran manusia sebagai citra Allah dalam Perjanjian Baru merujuk pada Kristus sebagai Adam kedua atau Adam Baru. Dalam pandangan Ratzinger, Kristus adalah Adam yang definitif sekaligus gambar Allah yang sesungguhnya (bdk. 1Korintus 15:44-48; Kolose 1:15). Dalam Yesus Kristus orang dapat menjumpai manusia yang sesungguhnya.

Kristus adalah prototype manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Ratzinger mengatakan, “… hanya dalam Dia tampak jawaban yang lengkap akan pertanyaan siapakah manusia itu. Hanya dalam Dia tampak makna yang mendalam…Ia adalah manusia definitif, dan ciptaan, sebagaimana adanya, adalah sketsa yang menunjuk pada-Nya. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa pribadi manusia adalah pengada yang dapat menjadi saudara atau saudari Yesus Kristus” (Ratzinger, 1995: 26).

Ratzinger dalam hal ini hendak mengatakan dau hal. Pertama, Kristus adalah model manusia sesungguhnya yang merepresentasikan Allah. Kedua, Kristus yang hadir sebagai pribadi manusia itu membuka atau memulihkan kembali relasi manusia dengan penciptanya. Oleh sebab itu, dengan kehadiran Kristus manusia dapat membangun kembali relasi dengan Allah. Kristus menjadi saudara dan buah sulung dari Allah bagi manusia. Pemulihan dan keterbukaan pribadi manusia pada relasi ini akan mengantar manusia pada kesatuan dengan Kristus dan kesatuan dengan Allah sendiri.

Manusia adalah pengada yang dapat bersatu dengan Kristus dan dengan demikian dapat bersatu dengan Allah. Kesatuan itu dapat terjadi dalam relasi manusia dengan Kristus yang adalah Adam baru (bdk. 1 Kor. 15:21-22; 45-49).

Kendati demikian, kesatuan manusia itu terjadi dalam proses atau dalam transisi, yaitu perubahan dari Adam pertama ke Adam kedua. Hal ini menandakan ketidaksempurnaan manusia selama di dunia dan penziarahan manusia adalah menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia itu akan terjadi dalam kesatuan dengan Kristus.

Dua model Ralasi

Sebagai citra Allah, manusia mempunyai dimensi ganda dalam relasi, yaitu relasi dengan ciptaan lain dan relasi dengan Allah. Kesanggupan manusia dalam relasi itu disebakan oleh dua hal: (1) manusia diciptakan dari debu tanah dan (2) dalam diri manusia ada roh atau nafas Allah (Ratzinger, 1995: 23-24).

Semua manusia adalah bagian dari bumi. Sebagai bagian dari bumi yang satu dan sama, manusia itu sama, karena diciptakan dari debu tanah yang diambil dari bumi yang satu dan sama. Kendatipun manusia itu berbeda secara budaya, sejarah dan latar belakang, tetapi benar bahwa pada akhirnya manusia itu sama. Kesamaan manusia itu ditentukan dari asal-usul dan akhir hidupnya. Manusia diciptakan dari bumi dan pada akhir hidupnya ia kembali ke bumi yang sama.

Bagi Ratzinger, manusia bukan hanya sekadar terlempar ke dunia, tetapi ia dikehendaki oleh Allah untuk berada di dunia. Secara faktual, manusia berada bersama dengan ciptaan-ciptaan lain di dunia ini dan sedang berada dalam proses menunju pencarian diri yang ideal. Dalam pencarian diri ini, manusia tidak terlepas dari yang lain, ia ada bersama dengan yang lain. Dengan kata lain, keberadaan manusia itu selalu ada bersama (ko-eksis) dengan dunia dalam seluruh perjalanan sejarah manusia.

Oleh karena manusia tercitpa dari debu tanah, maka dalam dirinya ada kerapuhan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan. Kendati demikian, Allah memberikan nafas hidup yang memungkinkan dia untuk berelasi dengan Allah.

Nafas adalah unsur istimewa yang dimiliki manusia. Unsur ini tidak diberikan oleh dunia. Nafas hidup ini, tidak dikembangkan oleh sains atau teknologi dunia, karena ia adalah sesuatu yang seluruhnya baru dari Allah sendiri. Nafas itulah yang memberi kehidupan pada tanah yang sudah dibentuk oleh Allah.

Singkatnya, letak keistimewaan manusia adalah: (1) ia diciptakan dari debu tanah sehingga ia dapat berelasi dengan dunia, karena ia berasal dari unsur terpenting dari bumi ini serta (2) ia dapat berelasi dengan Allah, karena ia diberi nafas kehidupan oleh Allah.

Dalam arti ini, manusia itu adalah makhluk biologis dan juga makhluk rohani. Di satu sisi manusia itu berdimensi biologis, tetapi di sisi lain, manusia itu secara langsung berasal dari dan dapat berelasi dengan Allah. Dalam dialognya dengan Peter Seewald, Ratzinger mengatakan, manusia tidak hanya sekedar produk gen dan DNA, atau tidak hanya makhluk biologis semata, tetapi juga makhluk yang secara langsung berasal dari Allah (Ratzinger, 2002: 77).

Makhluk yang Unik

Dalam diri manusia itu ada nafas dari Allah yang memampukan manusia untuk berelasi dengan Allah; ia dapat melampaui ciptaan yang lain. Manusia itu unik. Ia berdiri di hadapan Allah dan dalam arti khusus ia terarah kepada Allah. Ada nafas baru dalam diri manusia, yaitu nafas Allah.

Nafas merupakan faktor ilahi yang diintrodusir ke dalam ciptaan, yaitu manusia. Maka dari itu, penting untuk melihat bahwa manusia adalah ciptaan yang unik dan spesial. Keadaan ini yang menjadi dasar dari semua hak asasi manusia. Nafas Allah itu ada dalam dirinya. Ia memperlihatkan bahwa manusia tidak hanya kombinasi dari sebuah perangkat biologis, tetapi juga sebuah konsepsi personal Allah. Maka, sebagai citra Allah (Imago Dei), manusia itu unik, luhur, dan istimewa.

 

Sdr. Marciano Soarez, OFM, biarawan Fransiskan, tinggal di komunitas St. Antonius Padua, Jakarta

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

6 + sixteen =