Ketika tiba di depan istana Keuskupan Ruteng, Gubernut NTT, Viktor Laiskodat, mengenakan topi songke dan selendang dengan warna dasar hitam dipadu motif tenunan indah berwarna-warni. Salah satu motif menonjol di topi tersebut adalah motif biawak raksasa varanus commodoensis yang disulam menggunakan benang warna emas.

Ia berdiri dengan tenang dan wajah menunduk. Sesekali mengangkat muka dan mengarahkan pandangan kepada tim ritual penyambutan secara adat, tuak curu dan manuk kapu. Pihak Keuskupan Ruteng dengan senang hati menyambut kedatangan Bapak Gubernur. Penyambutan itu ditandai dengan pemberian selendang dan pemberian topi baru untuk dikenakan.

Selendang dan topi lama dengan dasar warna warna hitam diganti dengan yang baru berwarna cerah, paduan cantik warna merah, pink, dan krem. Selendangnya juga memiliki tema warna yang sama. Namun, pesan penting bukan terletak pada paduan warna cerah itu melainkan pada tulisan Omnia in Caritate pada topi baru. Itulah moto sekaligus spirit penggembalaan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat. Beliau ingin segala bentuk pelayanan dilakukan atas dasar kasih. Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!

Dua Topi untuk Satu Pesan

Dua topi yang dipakai bergantian oleh Gubernur NTT sebelum dan sesudah acara memiliki pesan kuat. Pada topi hitam tersulam motif komodo. Komodo sebagai hewan endemik ditafsirkan sebagai simbol fisik perkasa dan karakter kokoh. Kerja untuk melayani rakyat hanya bisa dilakukan ketika orang memiki mental dan fisik kuat. Ketangguhan fisik dan mental yang menopang kerja demi kebaikan bersama (bonum commune) adalah harta berharga laksana emas. Ketika hal itu dimiliki seorang pemimpin, maka ia sangat bernenan di hati rakyat bahkan Tuhan.

Ketangguhan fisik orang-orang NTT dikagumi Gubernur dalam sambutannya sore itu.

“Di Jakarta sana, [kalau orang pergi] ke rumah sakit, [dan memiliki kadar hemoglobin] tujuh, [dia] harus diam di tempat. Karena kalau orang [dengan kadar hemoglobin] tujuh bersin-bersin, akan mengucurkan darah. Tidak ada lagi oksigen dalam darahnya. Di NTT saya temukan orang dengan kadar hemoglobin 2 jalan-jalan.…ini menunjukkan orang NTT luar biasa,” ungkap Gubernur berapi-api. Tentu saja pernyataan Gubernur tersebut adalah suatu hiperbola namun arti dari pernyataan ini juga bisa ditangkap dengan jelas. Orang NTT itu kuat dan mampu untuk berdikari dalam keadaan apapun.

Namun, ketangguhan fisik tanpa kejernihan hati dan budi akan mudah menyeret orang menjadi menjadi munafik. Sikap munafik sangat dibenci Gubernur ntt sebagaimana diungkapkan dalam sambutannya. Ia membenci kemunafikan, menampilkan diri seolah-olah kita baik, seolah-olah pintar. “Orang baik itu tidak usah kasih tunjuk. Kerja saja!” ungkapnya. Kemunafikan baginya menjadi salah satu hambatan dalam membangun NTT. Ia sangat mengagumi ketulusan hati dan pelayanan kasih yang dilakukan para suster sebagai agen yang cukup diperhitungkan dalam pembangunan masyarakat NTT. Mereka tidak banyak bicara tapi bekerja!

Demikian juga, pekerjaan tanpa kasih dan spirit pengabdian dapat terjerumus pada kerja yang membawa celaka bagi orang lain. Orang akan menjadi serigala yang memangsa sesamanya (homo homini lupus). Atau, katakanlah homo homini komodo. Manusia menjadi komodo yang memangsa sesamanya. Bukan saja sesama manusia tetapi juga alam dan segala makhluk lain dengan tujuan akumulasi dan penumpukkan kekayaan demi diri sendiri dan kroni-kroninya.

Kasih Sebagai Paradigma Pembangunan

Menarik, Gubernur menundukkan ketika topi bertuliskan Omnia in Caritate hendak dikenakan pada kepalanya. Topi lama tentu saja tidak dibuang tetapi diserahkan kepada asistennya untuk disimpan. Gubernur tidak menolak topi baru. Ia menerima dengan tulus. Topi yang satu menggantikan topi yang lain namun tetap saling melengkapi secara makna. Simbol ketangguhan dan kegagahan dilengkapi oleh spirit kasih dan pengabdian. Menundukan kepala memiliki arti tersendiri:  membiarkan diri untuk dikenakan topi baru. Apapun yang akan dilakukan oleh Gubernur dalam pengabdiannya, berbagai kebijakan pembangunan yang diambil; semuanya mesti dilakukan dalam kasih murni. Artinya, dilakukan bagi masyarakat NTT seluruhnya dan bagi alam-lingkungan tempat masyarakat NTT hidup.

 Tanpa cinta kasih, kebijakan pembangunan—yang hanya menekankan aspek ekonomi—akan cenderung menjadi buas, ganas, memangsa alam, rakyat dan budayaOleh karena itu, Uskup Ruteng, dalam presentasinya sore itu mengusulkan paradigma pembangunan holistik dan integral. “Kami mengusulkan pembangunan ekonomi kawasan pantai utara yang integral berbasis ekologi, kultur, geografi, demografi setempat.” Lengkololok dan Luwuk, lokasi tambang dan pabrik semen itu, ada di wilayah Pantai Utara wilayah Keuskupan Ruteng.

Sebagaimana dikutip banyak media, Gubernur NTT masih memiliki keinginan berjuang untuk tidak menghasilkan kebijakan pembangunan yang buas dan menghancurkan masa depan NTT. Terhadap kebijakan tambang batu gamping dan perusahan semen, ia mau mengkajinya lagi dan menghitungnya secara cermat dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan. Rakyat sekali lagi menanti janji ditepati. Janji ini menjadi pertaruhan, baik integritas Viktor Laiskodat sebagai pemimpin masyarakat NTT dan masa depan kehidupan masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-hak dasarnya di Luwuk dan Lengkololok.)***

 

Sdr. Johni Dohut, OFM
Staff JPIC-OFM berdomisili di Flores

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × five =