Setelah sekian lama, ia datang kembali. Masih seperti dulu, ia datang dengan tatapan genit dan rayuan menggoda. Tampilannya juga berubah. Busana hitam ditinggalkan, berganti putih abu-abu. Maaf, putih abu-abu bukan seragam siswa SMA yang dimaksud. Walau mungkin memakai frasa itu untuk menunjukkan kesan muda dan menawan. Di depan cermin ia mematut diri sambil bergumam, “aku bukan si hitam-tua mangan yang kelam dalam ingatanmu! Sungguh, aku adalah putih abu-abu semen. Ayo, mari kita bermitra! Mengapa menolak? Bukankah kalian butuh semen untuk pembangunan?”
Ia tampil anggun sebagai penafsir mimpi tentang kemajuan dan hidup sejahtera. Rumah hunian khas perkotaan, berada satu kompleks dengan rumah adat dan rumah ibadah bikinan perusahaan semen. Belum lagi jalanan mulus dan sejumlah instalasi lainnya. Modern sekali bukan? Kesan udik akan perlahan-lahan hilang Tapi itu masih janji, belum terealisasi. Ia menyembunyikan cakar-cakar ganas di balik pesona kuteks[1] merah delima.
Ia menata bibirnya agar taring-taring mematikan tak nampak. Dalam balutan busana putih abu-abu, ia merayu dengan santun. “Kita masih butuh semen lho!” Padahal dalam hati ia mengerti, negara ini kekebihan produksi semen sebanyak 4,2 juta ton. Ia seolah-olah tidak tahu sedang ada moratorium pembangunan pabrik semen di negeri ini. Dengan semua tampilan ini, siapa berani menjamin ia bukan monster? Ingat, penampilan bisa menipu. Kata-kata tidak selalu mencakup seluruh maksud, ia sembunyikan niat dibalik rayu!
Ia hadir seperti segitiga yang setiap sudutnya saling berhubungan: perusahaan, pemerintah, dan perizinan. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dari Gubernur NTT sudah dikantongi. Lahan seluas 505 hektar di Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, akan dikeruk batu gampingnya sebagai salah satu bahan baku pembuatan semen. Di Luwuk, kampung tetangga Lingko Lolok, akan dibuka Pabrik Semen di atas lahan seluas 120 hektar. Adalah PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) bekerja sama dengan PT Semen Singa Merah NTT akan melakukan aktivitas eksplorasi itu. Seperti biasa, ada pro dan kontra. “Itu biasa dalam demokrasi” kata Bupati Manggarai Timur dalam lewat kanal TV Berita Satu.
Nama (busana) perusahan boleh saja kelihatan baru, PT Istindo Mitra Manggarai. Tetapi adakah yang menyadari kalau nama itu hanya istilah teknis untuk PT Istindo Mitra Perdana (IMP) yang puluhan tahun mengeruk mangan di Serise dan Lingko Lolok? Memang IUP-nya berakhir Oktober 2017, tetapi gairah mengeruk mangan di wilayah ini belum tuntas. Pada tahun yang sama PT IMP kembali mengantongi izin usaha pertambangan eksplorasi mangan. Berganti strategi, ia hadir dengan cara baru dan kisah baru: batu gamping dan pabrik semen. Tetapi siapa bisa memastikan, di Lingko Lolok dia akan mengabaikan mangan demi batu gamping? Ataukah ini strategi saja: melalui pintu batu gamping dan pabrik semen menuju ke mangan?
Istindo rupanya beradaptasi agar tidak ditolak. Ia mau jadi Mitra Manggarai. Nama lengkapnya yang baru PT Istindo Mitra Manggarai. Sangat dekat, bersahabat! Namun ini semacam totalisasi dan bisa berujung gagal total. Mengapa? Tentu investasinya merusak banyak aspek penting kehidupan masyarakat; banyak (orang) Manggarai yang melihatnya sebagai Singa Buas mematikan! Barang kali satu dua ‘Manggarai’ mau kompromi untuk menjilat untung dengan bermitra. Itu tidak merangkum semua Manggarai. Hanya mau mengatakan, ada hal yang mengganggu dan sulit diterima dengan frasa ‘Mitra Manggarai’.
Bukankah anda tersinggung dan geram jika nama anda dicatut sebagai pelaku pencurian padahal anda tidak melakukannya? Nah, ketika Manggarai lebih dari sekadar kata benda tetapi merupakan identitas kultural bersifat personal dan historis dipakai untuk menamai sesuatu yang potensial menghancurkan tatanan sosio-kultural bernama Lengkololok dan Luwuk, bukankah wajar jika anda tersinggung? Bagaimana mungkin Manggarai bermitra dengan suatu kekuatan yang menghancurkan dirinya sendiri?
Dalam cara berpikir seperti ini barangkali kita bisa memahami mengapa banyak orang Manggarai peduli, lepas dari ada-tidaknya ikatan batin dengan Luwuk atau Lingko Lolok. Dipakainya kata Manggarai untuk suatu perusahan yang menjalankan investasi yang potensial menghancurkan Manggarai, sudah cukup kuat memicu resistensi! Siapa yang mau menghancurkan kampung halaman, tana bate dading[2], dan warisan leluhurnya sendiri? Jika ada yang mau, itu keterlaluan!!
Seperti diketahui, janji-janji kesejahteraan pihak perusahaan selalu lebih ngegas membuat warga kepincut dan jatuh hati. Sampai pada titik tertentu bahkan ada semacam kebencian untuk segala omongan tentang cinta lingkungan. “Kami terima tambang semen ini. Itu hak kami!” Mereka membutuhkan peningkatan kesejahteraan secara ekonomi (mungkin juga secara spiritual), bukan segala macam omongan saleh cinta lingkungan.
Benar, semua orang memang punya hak dasar untuk hidup layak. Sah-sah saja orang mengimpikan masa depan yang lebih sejahtera. Tetapi cara untuk mewujudkannya soal lain. Ada yang membangun harapan itu lewat peternakan dan usaha pertanian. Lantas, tanah adalah segala-galanya. Nilainya tidak bisa ditukar dengan uang. Sama seperti masa depan anak cucu yang tidak bisa ditukar demi uang. Tanah sejengkal, ketika dipertahankan, akan terus diwariskan kepada anak cucu.
Memang harus diakui, terasa ada yang getir dan suram pada wajah pertanian di Lingko Lolok dan Luwuk ketika dikatakan “Mente dan jual kayu tidak lagi mencukupi kebutuhan kami.” Ini menjadi pintu masuk untuk berpikir dan menjadi bagian dari solusi. Membangun kesejahteraan tanpa harus menggadaikan modal utama untuk dirusak pihak lain.
Celakanya, ini justru jadi pintu masuk yang efektif bagi rayuan tambang. Kenyataan ini masih begitu susah untuk dibantah, “Kesulitan warga di areal pertambangan untuk mendapatkan uang dimanfaatkan oleh investor tambang untuk memberikan segepok uang tutup mulut kepada rakyat disertai provokasi palsu bahwa sector pertanian tak lebih menjanjikan dari “surga” tambang.” (Fredy Hasiman, Monster Tambang, hlm.92)
Pemerintah yang mendapat mandat dari rakyat cenderung loyal kepada korporasi. Meneruskan kebiasaan bupati sebelumnya yang digelari Fredy Hasiman sebagai Bupati Korporasi Raksasa (Monster Tambang, 92), bupati Manggarai Timur saat ini, Andreas Agas, menampilkan diri sebagai fasilitator yang ramah dengan mempertemukan warga dengan pihak perusahan. Setali tiga uang, Gubernur NTT juga membangun logika kebutuhan untuk meyakinkan publik: bahwa kita butuh semen.
Demikianlah kisah kala tambang makin genit: investor menggandeng pejabat pemerintah guna merangkul (menggoda) rakyat yang sekali lagi mau membangun mimpi bersama tambang. Sebelum kegenitan itu menciptakan cinta buta yang melahirkan anak haram bencana sosial-kultural dan ekologis, mari kita bertanya betapapun jawabannya juga sudah jelas: Adakah rakyat pernah benar-benar sejahtera karena tambang di negeri ini, khususnya di Manggarai (Luwuk dan Lingko Lolok)?
Saat ini, boleh saja orang percaya pada nikmat janji perusahan tambang batu gamping dan pabrik semen. Namun, kepercayaan itu berarti pengkhianatan terhadap tangisan dan penderitaan para korban tambang, baik tambang mangan di Serise maupun berbagai tambang di tempat lain. Selain itu, menghianati alam itu sendiri yang secara turun-temurun telah memberi penghidupan dengan menganggapnya tidak lagi memadai untuk saat ini. Atau mungkinkah karena terlena oleh janji-janji manis kita telah lupa akan kenyataan pahit tentang tambang? Mengapa? (Bersambung)
Sdr. Hans Surya
[1] Cat kuku tangan atau kaki yang biasa digunakan untuk mempercantik tampilan lempeng kuku.
[2] Tanah kelahiran.
[…] Tulisan pertama Demi urusan perut, kenikmatan dan kemakmuran, orang mudah mengalami disorientasi. Konteks pernyataan ini adalah situasi penindasan. Perlawanan dan perjuangan mencapai visi kebebasan bisa dilemahkan hanya dengan tiga tawaran itu. Pengalaman pahit ditindas akan terlupakan begitu saja jika kenikmatan sudah di depan mata. Tetapi bisa saja kenikmatan itu semu, instan, dan dangkal. Sejarah peradaban sedikit menunjukkan sikap lupa itu. Bangsa Israel yang digiring keluar dari penindasan Mesir menuju tanah terjanji dalam proyek pembebasan di bawah pimpinan Musa mengalami disorientasi serupa. Kemerdekaan hanya dimaknai sebagai urusan ketersediaan makanan dan minuman. Di sinilah letak disorientasi, ketika kemerdekaan hanya dimaknai dengan urusan makan, lupa pada kondisi-kondisi yang memungkinkan kemerdekaan sejati bisa hadir. […]