Oleh Bernadinus Steni (2020)

Tulisan ini mengambil perspektif lingkungan hidup, terutama dimensi perubahan iklim untuk mengkaji rencana tambang semen atau tambang apapun di Pulau-Pulau Kecil seperti Flores, secara khusus rencana pabrik semen di Kabupaten Manggarai Timur saat ini. Fokus pada isu lingkungan tentu tidak menafikan dimensi ekonomi maupun dimensi lainnya yang memerlukan penjelasan terpisah dengan maksud agar pertimbangan-pertimbangan  penyusunan aturan dan kebijakan daerah dibuat berbasis dimensi yang lebih komprehensif, tidak tunggal apalagi tertutup. Daripadanya diharapkan nampak informasi secara terang benderang prioritas yang patut dikerahkan dalam kebijakan dan program daerah.

Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa dimensi lingkungan hidup sangat penting. Pertama-tama, guncangan iklim global dan lokal sudah amat nyata yang bisa disaksikan dan dirasakan pada kolapsnya sejumlah ekosistem mikro seperti hilangnya mata air, suhu yang makin panas, musim yang sulit diprediksi, dan merebaknya variasi jenis penyakit baru. Lebih dari itu, perubahan iklim lebih terasa pada wilayah-wilayah yang secara alamiah rentan yakni pulau-pulau kecil dan lahan kering yang semuanya ada pada Pulau Flores. Kedua, semua analisis kebijakan saat ini menggarisbawahi bahwa kombinasi antara tekanan iklim global dan pukulan COVID-19 akan mengancam ketahanan pangan secara nasional. Hal ini telah mendorong Pemerintah Pusat berinisiatif membuka lahan-lahan sawah yang baru. Karena itu, Pemerintah Daerah seharusnya sejalan dengan Pemerintah Pusat memperkuat ketahanan pangan lokal untuk mencegah kekurangan pangan dan kelaparan. Ketiga, tidak banyak pengambil keputusan yang menyadari pentingnya menyikapi masalah iklim melalui kebijakan yang lebih “hijau” seperti restorasi kawasan yang rusak, perlindungan hutan yang tersisa, dan seterusnya. Sebaliknya, kecenderungan umum program dan rencana pembangunan adalah membuka secara ekspansif wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi dan dijaga.

Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan ke pemerintah pada semua level, terutama Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Timur untuk mempertimbangkan temuan – temuan ilmiah perubahan iklim dan kapasitas lingkungan lokal sebagai salah satu dimensi utama, melampaui faksi dan tuntutan politik jangka pendek.  Desakan ini didasari fakta ilmiah bahwa perubahan iklim bersifat lintas batas, tidak dibatasi ruang dan waktu, politik, dan budaya. Masalah itu mencakup hari esok umat manusia. Sehingga, pilihan kebijakan saat ini amat menentukan untuk generasi muda saat ini dan keturunan mereka, apakah sanggup bertahan menghadapi dampak turbulensi iklim yang demikian hebat pada 2030 dan seterusnya. Lebih dari fakta ilmiah, perubahan iklim adalah fakta iman, bahwa manusia akan menuai apa yang dia tabur. Bahwa kerakusan menggerus bumi akan berbuah bencana. Sesal pun menjadi sikap politik yang tidak dianjurkan.

 Gendang & compang Lingkololok (Dok. JPIC OFM 2015) 

 

Temuan Terbaru Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan salah satu menu utama isu global saat ini. Hampir tiap tahun Pemerintah Indonesia bersama 196 negara terlibat dalam Konferensi Para Pihak Perubahan Iklim untuk mencari cara terbaik dan efisien mengatasi perubahan iklim. Saat ini Pemerintah telah membuat kebijakan strategis yang mempengaruhi Rencana Pembangunan Nasional (2019-2024), bahkan menaruh perubahan iklim dalam satu bab, dan mengarahkan Pemerintah Daerah untuk mengelola pembangunan sejalan dengan komitmen global Pemerintah terkait pembangunan rendah emisi. Tidak hanya Indonesia, agenda menghadapi perubahan iklim pun telah dikerahkan oleh berbagai negara, tak terkecuali negara berkembang bahkan negara-negara yang amat miskin seperti Bangladesh, Angola, Gambia, Djibouti. Kecuali Amerika di era Trump dan Bush Jr, semua negara menyepakati bahwa perubahan iklim adalah salah satu persoalan utama masa depan umat manusia.

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si secara panjang lebar menggarisbawahi masalah iklim dan menempatknya sebagai salah satu persoalan utama kemanusiaan dewasa ini. Dalam bahasa Paus sendiri:

Climate change is a global problem with grave implications: environmental, social, eco­nomic, political and for the distribution of goods. It represents one of the principal chal­lenges facing humanity in our day

Paus juga menegaskan dampak perubahan iklim dialami seluruh dunia, namun dampak paling serius dirasakan oleh mereka yang miskin yang bertahan hidup secara subsisten dan struktur ekonominya sangat tergantung pada topangan alam dan jasa ekosistem seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Tahun 2014, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengeluarkan Laporan Penilaian ke-5 (AR-5) untuk mengukur kembali dampak perubahan ilkim dan meninjau dimana situasi dunia saat ini. IPCC adalah lembaga antarpemerintah di PBB yang secara khusus diminta untuk menyediakan analisis ilmiah secara objektif mengenai informasi yang relevan dengan pemahaman dasar ilmiah tentang risiko perubahan iklim, sebab-sebabnya terutama dari intervensi manusia, dampak dan risiko terhadap alam, politik, dan ekonomi, serta kemungkinan opsi mengatasinya. IPCC terdiri dari gabungan ribuan pakar dan peneliti dari berbagai dimensi di seluruh dunia dan telah mengeluarkan laporan I pada 1990, laporan I pada 1996, laporan III pada 2001, laporan IV pada 2007 bersamaan dengan konferensi perubahan iklim di Bali, dan laporan V tahun 2014. Silahkan mengunjugi situs IPCC untuk mengunduh laporan-laporan tersebut (https://www.ipcc.ch/about/)

Dalam laporan ke-5, sama halnya dengan laporan sebelumnya, para ahli mengidentifikasi dampak perubahan iklim yang mencakup semua sektor dan dimensi kehidupan manusia. Salah satu yang dipertegas dalam laporan ini adalah bahwa konfirmasi ilmiah secara meyakinkan mengenai peran manusia sebagai pelaku utama dan paling signifikan terhadap perubahan iklim. Laporan yang sama menyebutkan bahwa konsentrasi zat-zat utama yang menjadi emisi global meningkat pada level yang tidak pernah terjadi dalam 800.000 tahun terakhir (IPCC, 2014).

Selain itu, IPCC juga diminta Konferensi Perubahan Iklim mengeluarkan Special Report, salah satunya adalah mengenai proyeksi pemanasan global 1.5 °C. Laporan tersebut dipublikasikan pada 2018. Dalam sub-bab tentang Proyeksi Perubahan Iklim, Potensi Dampak dan Risiko Terkait (B. Projected Climate Change, Potential Impacts and Associated Risks), disebutkan bahwa risiko guncangan iklim terhadap kesehatan, mata pencaharian, keamanan pangan, pasokan air, keamanan manusia, dan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan meningkat pada pemanasan global 1,5°C dan jauh lebih besar pada 2 °C. Implikasi dari angka-angka ini pada kehidupan nyata sangat banyak dan sebagiannya dapat dilihat pada kutipan Special Report IPCC (2018: 7-10) di bawah ini:

B.5.1 Populasi yang sangat berisiko dari konsekuensi buruk pemanasan global 1,5 °C adalah mereka yang tidak beruntung dan rentan, beberapa masyarakat adat, dan masyarakat lokal yang bergantung pada mata pencaharian pertanian atau pesisir. Beberapa daerah secara tidak proporsional menghadapi risiko yang lebih tinggi antara lain ekosistem Kutub Utara, daerah lahan kering, negara-negara berkembang yang memiliki pulau-pulau kecil, dan negara-negara terbelakang yang paling tidak berkembang. Kemiskinan dan ketidakberuntungan diperkirakan akan meningkat di beberapa populasi karena pemanasan global meningkat; mencegah pemanasan global menuju 1,5 °C, dibandingkan dengan 2 °C, dapat mengurangi jumlah orang yang terpapar risiko terkait iklim dan tidak bertambah miskin hingga beberapa ratus juta pada tahun 2050.

B.5.2 Setiap peningkatan pemanasan global diproyeksikan mempengaruhi kesehatan manusia, dengan konsekuensi negatif. Risiko lebih rendah diproyeksikan pada pemanasan 1,5 °C daripada di 2 °C terutama untuk morbiditas dan mortalitas yang disebabkan panas dan untuk mortalitas terkait ozon jika emisi yang dibutuhkan untuk pembentukan ozon tetap tinggi. Kepulan panas dari perkotaan sering memperbesar dampak gelombang panas di kota. Risiko dari beberapa penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti malaria dan demam berdarah diproyeksikan meningkat dengan pemanasan dari 1,5 °C ke 2 °C, termasuk potensi pergeseran dalam jangkauan geografis dari penyakit-penyakit dimaksud.

B.5.5 Risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global secara agregat diproyeksikan lebih rendah pada 1,5 °C daripada di 2 °C pada akhir abad ini. Ini tidak termasuk biaya mitigasi, investasi adaptasi, dan manfaat adaptasi. Negara-negara di daerah tropis dan subtropis belahan bumi selatan diproyeksikan mengalami dampak negatif terbesar pada pertumbuhan ekonomi akibat perubahan iklim jika pemanasan global meningkat dari 1,5 °C ke 2 °C.

B.5.6 Eksposur terhadap berbagai risiko yang berhubungan dengan iklim meningkat pada pemanasan global antara 1,5 °C dan 2 °C, dengan proporsi risiko yang lebih besar pada orang-orang di Afrika dan Asia yang berada di bawah atau rentan karena kemiskinan. Risiko pemanasan global dari 1,5 °C ke 2 °C di sektor energi, makanan, dan air berlangsung bersamaan secara spasial dan temporal yang menciptakan bahaya baru dan memperburuk kerentanan dan tingkat pengaruh dari dampak saat ini, yang dapat meningkatkan jumlah popluasi dan luas wilayah yang terpengaruh perubahan iklim.

Salah satu dampak yang disebutkan berulang-ulang dalam Special Report ini adalah terkait kategori penduduk yang terkena risiko. Disebutkan bahwa dampak terbesar akan dialami kelompok masyarakat adat, mereka yang mendiami lahan kering dan pulau-pulau kecil, hidup di bawah garis kemiskinan. Dampak tersebut tidak hanya tunggal pada satu sektor tetapi dapat berlangsung secara serempak yang mencakup kekurangan energi, makanan, dan air di satu tempat dan waktu yang bersamaan.

Proyeksi sains telah mengungkap dampak-dampak ini secara gamblang bahwa dunia tidak akan bertahan seperti saat ini, tidak lebih lama dari tahun 2050, bahkan 2030. Kenaikan suhu bumi mempunyai dampak secara langsung pada tahun-tahun itu, antara lain berupa jumlah hari yang panas bertambah secara signifikan di semua wilyah dengan peningkatan yang jauh lebih tinggi di wilayah tropis seperti Indonesia. Hanya dengan kenaikan 1.5 °C, hampir 14 % penduduk dunia yang akan terpapar gelombang panas sekali dalam 5 tahun. Jika kenaikan itu mencapai 2 °C, maka diproyeksikan 37 % populasi dunia akan menderita gelombang panas setidaknya sekali dalam 5 tahun.

Beberapa tahun ini catatan tahun terpanas telah dilaporkan beberapa kali oleh lembaga-lembaga pemantau cuaca. NOAA, lembaga ilmiah Amerika yang berfokus pada kondisi lautan, jalur air utama, dan atmosfer melaporkan bahwa tahun 2016 merupakan tahun terpanas sejak 1880 yang merupakan periode awal pengukuran Gas Rumah Kaca akibat ulah manusia di muka bumi. Rata-rata temperatur global pada tahun ini mengalami peningkatan 1.78 derajat Fahrenheit atau kira-kira 0.99 °C. Tahun kedua terpanas adalah 2019, yakni mencapai 1.71 derajat Fahrenheit atau kenaikan sebesar 0.95 °C dari suhu normal di tingkat global (NOAA 2019).

Sebagian besar generasi saat ini masih akan mengalami 2030, bahkan 2050. Proyeksi dampak tersebut akan mereka alami. Namun tahun 2030 barangkali terlalu lama. Pada kenyataannya saat ini pun sebagian dampak tersebut sudah sangat jelas. Contoh paling jelas adalah cuaca panas yang lebih lama yang dirasakan oleh semua wilayah. Banyak lokasi yang dulunya sejuk, saat ini hangat dan cenderung panas. Selain itu, hama penyakit untuk pertanian terus meningkat yang implikasinya adalah makin membesarnya ongkos petani untuk membeli atau meracik pembasmi hama dan mengelola lahan menurut teknik berbiaya mahal. Budidaya kopi juga terkena dampak serius dan dijabarkan secara khusus pada bagian berikut. Risiko yang nampak secara global adalah makin sering muncul virus yang mematikan.

Pulau Kecil dan Naiknya Permukaan Air Laut

Saat ini laju peningkatan temperatur bumi sangat pesat dimana tahun 2017 dunia sudah melampaui suhu 1 °C. Dampaknya sudah amat signifikan di berbagai wilayah yang ditandai dengan banjir, kekeringan panjang, wabah penyakit, gagal panen, badai yang makin meningkat dan sejumlah wilayah pesisir telah mengalami secara langsung kenaikan permukaan air laut.

Sejumlah kajian di tingkat nasional telah memproyeksi beberapa kemungkinan dampak langsung untuk wilayah pesisir. Pada tahun 2010 Bappenas mengeluarkan laporan Analisa dan Proyeksi Peningkatan Permukaan Laut dan Kejadian Cuaca Ekstrim. Bappenas menyebutkan bahwa inundasi (tergenang) akan dihadapi oleh sejumlah wilayah pesisir termasuk selatan Jawa, Bali, Lombok, dan beberapa bagian sumatera. Sementara laut flores akan mengalami gangguan transportasi yang signifikan akibat makin seringnya cuaca buruk. Harkins Hendro Prabowo dan Muhammad Salahudin (2016) dalam Jurnal Geologi Kelautan mengidentifikasi lebih lanjut 92 pulau terluar Indonesia yang terancam tenggelam, termasuk beberapa pulau Pulau di NTT yakni: Alor, Dana, Batek dan pulau-pulau di beberapa provinsi yang selama ini sering menjadi tujuan wisata yakni Pulau Maratua (Kalimantan Timur) dan Sebatik (Kalimantan Utara). Selain itu adalah Pulau Enggano di Bengkulu dan Pulau Nusakembangan yang selama ini digunakan untuk para tahanan khusus negara.

Saat ini, laporan kenaikan permukaan air laut menjadi kerisauan yang berlangsung di banyak tempat baik karena inundasi temporer maupun kenaikan permanen. Awal 2020, WALHI melaporkan dua pulau di Sumatera, Pulau Betet dan Pulau Gundul sudah tenggelam di bawah permukaan laut. Inundasi telah dialami oleh banyak wilayah, termasuk Flores juga mengalami hal ini di beberapa tempat. Beberapa pulau lainnya pun sudah hampir tenggelam.

Dampak kenaikan permukaan air laut jelas menyempitkan ruang hidup dan meningkatkan rembesan air laut mencemari air tawar. Beberapa pemukiman di pinggir pantai sudah terendam dan dipaksa mengungsi ke tempat lain. Hal ini menimbulkan persoalan baru karena pemindahan penduduk membutuhkan lahan baru yang sebagian besar sudah dimiliki penduduk lain. Pemerintah belum siap dengan skenario pengungsi lingkungan skala besar yang menimbulkan beban anggaran dan program. Beberapa penduduk yang pindah akhirnya mengeluarkan biaya sendiri untuk mencari tempat yang lebih tinggi.

Suplai Air Bersih dan Daya Dukung Flores

Masalah ketersediaan air bersih adalah salah satu dampak perubahan iklim. Penyebab lain bisa bersifat natural dari lansekap alamiah dan intervensi manusia yang tidak mengganggu, bahkan menghilangkan daerah tangkapan dan regulator air seperti hutan, gambut, karst. Laporan Bappenas tahun 2009 terkait adaptasi perubahan iklim (ICCSR) menyebutkan bahwa suplai air bersih di Indonesia secara umum makin menurun tiap tahun. Hal ini menimbulkan beban anggaran tambahan pada belanja pemerintah untuk melayani mereka yang kekurangan air. Beban ini bertambah karena ketiadaan air juga diikuti oleh masalah ketahanan pangan yang ikut luruh akibat stok air yang terbatas atau bahkan lenyap.

Sumber: ICCSR, 2009

Jawa bagian timur, Bali dan Nusa Tenggara situasinya lebih kritis dibandingkan daerah lainnya. Pada 2009, ketika laporan pemerintah itu dibuat, suplai air di Nusa Tenggara masih lebih besar sejumlah 5,705.66 liter daripada permintaan. Namun pada 2015, daya dukung air diproyeksikan defisit sebesar 17,488.89 liter, sementara permintaan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk dan tekanan terhadap lahan. Pada 2030, penyusutan tersebut makin besar hingga mencapai 67,848.68 liter. Implikasi praktisnya jika mengikuti panduan Pemerintah (Permen LH 17/2009) bahwa jumlah kebutuhan air rata-rat tiap rumah tangga adalah 120 liter/hari/kapita, maka defisit air akan sebesar 17,488.89 liter per hari, sehingga terdapat 146 kapita yang tidak kebagian air tiap hari. Jumlah tersebut berlipat ganda dalam satu bulan, setahun dan terus meningkat seiring dengan terus merosotnya daya dukung pulau.

Peta daya dukung air dan pangan secara nasional yang dikeluarkan KLHK pada 2018 dan ditetapkan pada 2019 memperjelas duduk permasalahan yang diidentifikasi oleh laporan Bappenas sebelumnya. Informasi daya dukung secara gamblang menunjuk sejumlah lokasi dimana suplai air sudah sangat kritis dan tidak akan mampu menampung beban penduduk dan pembangunan lokal.

KLHK menyebutkan bahwa status daya dukung lingkungan hidup Air Kep. Bali dan Nusa Tenggara telah terlampaui (warna merah tua)  terutama di Pulau Bali dan Pulau Lombok. Wilayah yang terlampaui daya dukung penyediaan air tersebar di 41 kabupaten/kota seluas +2,8 juta hektar (38,4% dari total luas Kep. Bali dan Nusa Tenggara).

Penelusuran lebih lanjut pada data daya dukung itu menginformasikan bahwa suplai air di Flores masih dianggap cukup. Namun perlu dicermati pula bahwa meski secara makro suplai air nampaknya masih memadai, data yang sama telah memberikan peringatan bahwa daya dukung air di beberapa tempat telah terlampaui. Hal ini nampak jelasa pada peta, dimana warna merah tua merepresentasikan daya dukung air yang terlampaui. Di wilayah manggarai, misalnya, spot daya dukung air yang terlampaui cukup signifikan. Sebagian titik-titik itu tidak menyolok pada calon lokasi pabrik semen saat ini yang patut diduga disebabkan karena penggunaan yang terbatas mengingat jumlah penduduk masih sedikit dan tingginya kemampuan karst sebagai regulator untuk menyediakan sumber air bagi lingkungan di sekitarnya. Perubahan akan terjadi ketika pembangunan pabrik semen terjadi, selain karena menambah jumlah orang juga karena rusaknya karst sebagai regulator air.

Pertanian, Hutan Alam dan Masa Depan Kopi Flores

Pertanian

Statistik pertanian 2018 mencatat bahwa hampir 55 % penduduk NTT bekerja di sektor pertanian. Total luas lahan sawah adalah 215.796 ha yang mencakup lahan sawah yang berproduksi sekali setahun (113.124 ha), 2-3 kali setahun (71.222 ha), dan tidak dapat ditanami (31.450 ha). Dari luas itu, Manggarai Timur 15.132 ha yang mencakup 5.842 ha lahan sawah yang produktif sekali setahun, 9.191 yang berproduksi 2-3 kali setahun, dan 100 ha yang tidak ditanami (BPS NTT 2017). Meskipun luas sawah Manggarai Timur berada di urutan ke-5 dari 22 kabupaten/kota, total lahan sawah aktif yang beproduksi 2-3 setahun di Manggarai Timur adalah urutan ke-2 terbesar setelah Manggarai Barat. Sebagian besar kabupaten lainnya hanya berproduksi sekali setahun. Hal ini menunjukan bahwa suplai air untuk lahan persawahan di kabupaten ini sangat memadai sehingga bisa menopang persawahan tetap dalam setahun.

Produksi pangan di NTT dipengaruhi oleh variabilitas iklim yang tinggi sehingga luas lahan sawah produksi terbatas lebih besar dari sawah aktif. Analisis data iklim historis yang dilakukan Montgomery et al (2010) pada periode 1996-2005 menemukan bahwa di samping persawahan aktif terdapat cukup curah hujan selama empat bulan musim hujan untuk menanam tanaman pangan tradisional utama lahan kering NTT. Kebutuhan air tanaman sekitar minimum bulanan 200 mm untuk padi tadah hujan dan 100 mm per bulan untuk tanaman sekunder seperti jagung, kacang tanah, singkong dan sayuran. Total lahan pertanian NTT mencapai 4.736.984. Sementara di Kabupaten Manggarai Timur mencapai 264.293 ha. Sehingga lahan sawah di Manggarai Timur berkontribusi 5,73 % dari total luas lahan pertanian (BPS NTT 2017).

Tanaman Perkebunan dan Hutan Alam

Di samping tanaman pertanian lahan kering dan sawah, NTT pada umumnya, dan Flores khususnya dikenal sebagai penghasil kopi. Tanaman perkebunan ini bersama dengan tanaman perkebunan lainnya seperti cengkih, vanili, saat ini bersaing dengan lahan pertanian. Makin berkurangnya lahan subur, jumlah penduduk yang bertambah, dan keuntungan menggiurkan yang ditawarkan pasar kopi dunia memacu petani lokal membuka tutupan hutan primer yang tersisa.

Laporan deforestasi KLHK 2015-2019 menunjukan gangguan serius terhadap kawasan hutan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Di Manggarai, misalnya, hasil citra satelit 2015-2019 menunjukan bukaan hutan primer di beberapa tempat terus berlangsung (titik-titik merah pada peta 1) bahkan masuk ke dalam kawasan suaka alam dan pelestarian alam (warna ungu) dan kawasan lindung (warna hijau) (lihat peta 2).

Peta 1: Deforestasi di Manggarai

Semakin kuatnya tekanan pada kawasan-kawasan lindung dan konservasi (peta 2) akan meningkatkan tekanan terhadap keseluruhan ekosistem pulau yang pada saat bersamaan sedang membutuhkan upaya-upaya adaptasi yang sistemik menghadapi perubahan iklim.

Di samping itu, fungsi hutan pun secara perlahan berubah, alih-alih melindungi justru terpapar risiko perubahan iklim. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa fungsi tersebut terganggu antara lain akibat hama, patogen baru, dan cuaca ekstrim (Popkin 2019, UCSUSA 2020). Namun gangguan paling besar berasal dari aktivitas manusia. Kasus kebakaran hutan di Indonesia, dipicu pertama-tama oleh aktivitas manusia yang belakangan ini  berkorelasi dengan kekeringan yang panjang akibat perubahan iklim (Herawati dan Santoso, 2011, Brandlin 2017, NASA 2019, Austin et al, 2019, Edwards et al 2020). Sehingga fungsi konvensional hutan yang sejak lama dikenal berperan dalam hal menyerap emisi, secara perlahan bergeser menuju pelepas emisi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa hutan-hutan yang tersisa harus dilindungi dari upaya bukaan baru. Sementara area yang terlanjur dibuka perlu diatur dalam manajemen tertentu, yang dalam konsep pertanian disebut praktek pengelolaan yang baik (good agricultural practices).

Peta 2: deforestasi pada Hutan Lindung dan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Hilangnya tutupan hutan sejalan dengan krisis air yang menjadi menu utama di Kabupaten Manggarai Timur dalam beberapa tahun belakangan ini. Misalnya, lokasi di sekitar Peta 2 dimana deforestasi terjadi pada hutan lindung (Sambirampas) adalah kampung-kampung yang mengalami kekeringan panjang dan gagal panen dalam tahun-tahun terakhir. Tahun 2019, Media Indonesia melaporkan ribuan warga dari kelurahan Ulung Baras, Kampung Nongol, Wae Taso, dan Kampung Golo Ponto, Kecamatan Sambi Rampas terus mengalami krisis air bersih semenjak bergabung dengan Kabupaten Manggarai Timur (Media Indonesia 5 Oktober 2019). Pada tahun 2019, pertanian sawah di sejumlah wilayah Manggarai Timur meranggas kering. Tercatat Lingko Lanar Desa Bulan, Lingko Nugi, dan Lingko Meler 80 % lahan pertanian sawah ditinggal warga karena kekeringan (Vivanews, 6 September 2019).

Makin intensifnya kekeringan menunjukan bahwa ekosistem makro di wilayah ini telah mulai berubah. Menipisnya hutan alam dan pengaruh perubahan iklim adalah faktor-faktor utama yang diduga kuat menjadi penyebab hilangnya suplai air di wilayah-wilayah dimana kekeringan terjadi.

Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, kebijakan kolaborasi antara pertanian dan hutan sudah dikembangkan Pemerintah Pusat melalui program perhutanan sosial maupun pengakuan hak. Program-program itu memerlukan dukungan daerah melalui proses pendampingan untuk petani-petani mereka dan alokasi program untuk menggabungkan pertanian dengan kearifan lingkungan.

Pengaruh Perubahan Iklim pada Kopi

Studi-studi terbaru mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap kopi telah dikeluarkan oleh beberapa peneliti terkemuka. Salah satunya adalah Götz Schroth dkk yang pada pada 2015, menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi arabica di beberapa daerah. Arabica dapat tumbuh secara efektif pada ketinggian di atas 1000-1500 meter di atas permukaan laut. Tim  peneliti itu mengambil beberapa lokasi suplai terbesar yakni Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi, Bali, dan Flores (Götz Schroth et al 2015 dikutip kembali oleh Syakir dan Surmaini 2017).

Manggarai adalah salah satu penghasil utama kopi Arabica di Flores. Menurut para peneliti, bilamana semua wilayah produksi ini mengalami kenaikan temperatur mencapai 1.7 °C, maka akan terjadi perubahan curah hujan yang berbeda antara pulau-pulau besar bagian utara seperti Sumatera dan Sulawesi yang diperkirakan akan lebih basah antara 5-14 %, sementara di pulau-pulau yang lebih kecil sebelah selatan seperti: Jawa, Bali, Flores diproyeksikan lebih kering. Akibat pengaruh iklim tersebut maka luas areal yang secara efektif dapat ditumbuhi kopi arabica akan berkurang sangat signifikan pada 2050, dari total 360.000 ha saat ini menjadi hanya sekitar 57.000 ha pada 2050.

Sumber: Götz Schroth et al 2015

Khusus di Flores, jika saat ini total luas yang areal yang produktif mencapai 16.518 hektar dan masih dapat dinaikkan hingga 24.128 hektar dengan mengikuti kesesuaian lahan dan iklim maka pada 2050 luas itu berkurang hanya menjadi 230 hektar lahan yang efektif untuk kopi arabika dan hanya bisa ditambahkan seluas 85 hektar dari lahan yang saat ini belum ditanami arabica. Para peneliti menyimpulkan bahwa akibat perubahan iklim Flores akan menjadi pulau yang secara efektif tidak cocok untuk budidaya kopi.

Tantangan perubahan iklim terhadap produktivitas kopi telah diidentifikasi oleh beberapa ahli dalam negeri. Rekomendasi antisipasinya pun sudah sering didiskusikan. Syakir dan Surmaini (2017), misalnya, menganjurkan persiapan dini berupa introduksi budidaya kopi yang memperbanyak tanaman pelindung dan memperkuat konservasi tanah. Dua peneliti ini menegaskan bahwa berbagai teknologi budi daya kopi yang adaptif perubahan iklim sudah dikembangkan namun tingkat adopsinya oleh petani sangat lambat. Oleh karena itu, upaya percepatan adopsi teknologi perlu segera dilakukan sebagai strategi adaptasi perubahan iklim. Penerapan teknologi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan sistem usaha tani kopi yang toleran perubahan iklim. Kedua peneliti menganjurkan agar para ahli dan pengambil kebijakan harus berpacu dengan waktu untuk mengakselerasi adopsi inovasi teknologi oleh petani karena dampak perubahan iklim telah dirasakan dan akan terus berlangsung.

Di samping peluang adaptasi, perlindungan ekosistem yang menjadi rumah budi daya kopi haruslah sejalan. Dalam hal ini, makin punahnya hutan alam di Flores akan mengancam fungsi hutan sebagai salah satu penangkap utama air permukaan di wilayah itu. Hal ini menjadi beban ekstra bagi ekosistem lokal di samping masalah perubahan iklim yang sangat menyulitkan penggunaan teknologi adaptasi lokal sebagaimana dianjurkan para ahli. Selain itu, bukaan hutan yang makin lebar tanpa disertai rehabilitasi yang serius mengintensifkan longsor di beberapa wilayah yang meninggalkan struktur tanah yang tidak stabil dan curam, sehingga mempersempit ruang untuk mencari model kombinasi antara pertanian dan hutan di masa depan.

Perubahan Iklim, Pabrik Semen, Karst

Semen dan Perubahan Iklim

Semen adalah penghasil emisi terbesar ketiga di dunia (IPCC 2014) bersama dengan bahan bakar fosil, pertanian dan penggunaan lahan. Sumber utama emisi semen berasal dari klinker yang menyertai butir-butir cikal bakal semen hasil dari pembakaran berbagai bahan mentah termasuk batu gamping dan tanah liat.

Pada 2015, semen menghasilkan sekitar 2,8 miliar ton CO2, setara dengan 8% dari total emisi global. Untuk mengatasi emisi global tersebut, Perjanjian Paris disepakati semua negara pada 2015. Kesepakatan ini ditetapkan untuk mengurangi emisi global agar bisa menahan suhu global di bawah 2 °C dari level pra-industri dan untuk mengejar upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 ° C (Pasal 2.1. (A)). Di Paris, koalisi negara dengan ambisi tinggi melibatkan lebih dari 100 negara berhasil melobi perundingan iklim untuk mencapai target iklim yang ambisius ini. Jauh sebelum pembicaraan Paris, koalisi baru, yang dipimpin oleh Kepulauan Marshall, mendorong tidak hanya untuk kesepakatan emisi yang lebih rendah tetapi juga untuk perjanjian yang mengikat secara hukum, mekanisme untuk meninjau komitmen emisi negara setiap lima tahun, dan sistem untuk melacak kemajuan negara-negara dalam mencapai tujuan mitigasi mereka. Koalisi berhasil mengintegrasikan keempat hal tersebut ke dalam Perjanjian Paris.

Para Pihak Konferensi Iklim memang belum dapat menyepakati kapan emisi global harus memuncak, namun Perjanjian menyatakan bahwa puncak itu harus dicapai ‘sesegera mungkin’, dan bahwa sesudahnya yang diperkirakan pada 2030.

Semen dan Karst

Meski negara-negara telah menyepakati Perjanjian Paris, penggunaan semen diproyeksikan tetap akan meningkat karena urbanisasi dan pembangunan ekonomi yang menaikkan permintaan bahan bangunan dan infrastruktur baru. Agenda China membangun jalur sutra modern meningkatkan secara drastis permintaan semen global. Di samping pertumbuhan ekonomi yang akan diraih, hal ini juga menjadi tantangan bersama dunia menuju pengurangan emisi sebelum diharapkan memuncak pada 2030.

Peta 3: ekosistem karst di Indonesia

Sumber: Musnanda 2017

Sumber utama bahan semen Indonesia saat ini adalah pengerukan batu kapur yang mencapai 87.4 % (Nur et al, 2015). Jumlah ini tidak menunjukan pengurangan seiring dengan laju pertumbuhan industri semen yang terus bertambah pasca membesarnya investasi China pada sektor ini. Wilayah bagian timur Indonesia merupakan cadangan karst terbesar yang potensial akan menjadi target investasi semen di masa depan (lihat Peta 3). Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, jumlah produksi semen dalam negeri melampaui konsumsi nasional, sehingga meresahkan sejumlah pelaku usaha semen domestik akan perang harga.

Di dunia, ekosistem karst mencapai lebih dari 10 % ekosistem daratan (Zhao et al 2020). Karst adalah formasi geologis yang terbentuk oleh bahan kimia (peleburan batu kapur, dolomit dan gipsum) dan proses fisik (erosi air, dan disagregasi) Ford dan Williams, 2007; LeGrand, 1973 dikutip Zhao et al 2020). Daerah karst adalah daerah yang rentan terhadap degradasi lahan sebagai akibat dari berkurangnya tutupan vegetasi (Ford dan Williams, 2007; LeGrand, 1973 dikutip Zhao et al 2020). Kerentanan terhadap degradasi ini memiliki dampak penting pada populasi yang tinggal di dalamnya, terutama di negara-negara berkembang (Yan dan Cai, 2015 dikutip Zhao et al 2020). Karakteristik tunggal kawasan karst meningkatkan kerentanannya terhadap dampak aktivitas manusia, terutama dalam konteks sosial ekonomi di mana permintaan akan sumber bahan baku (antara lain semen) tumbuh pesat, sementara dampak degradasi lahan terlihat jelas. Daerah-daerah ini sangat rentan terhadap bencana iklim dan yang berhubungan dengan manusia (LeGrand, 1973; Wang et al., 2004; Yue et al., 2012).

Perubahan iklim mempunyai dampak yang serius terhadap ekosistem karst. Sejumlah studi menyebutkan bahwa meskipun dampak iklim tidak berkontribusi signifikan terhadap 58,24 % vegetasi wilayah kart di dunia, namun terdapat 7,45 % wilayah karst dunia yang vegetasinya sangat terpengaruh oleh faktor iklim yang mencakup wilayah ekuator (Zhao et al 2020). Singkatnya, berbeda dengan sebagian besar wilayah karst lainnya, faktor iklim justru sangat berpengaruh terhadap vegetasi karst di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh studi lainnya dari Wu dkk (2020), bahwa perubahan iklim melemahkan efek positif ekosistem karst terhadap produktivitas vegetasi di wilayah-wilayah yang disebutkan dalam penelitian Zhao dkk. Para ahli ini mengemukakan bahwa identifikasi demikian itu sepatutnya memberikan panduan untuk implementasi lebih lanjut dari proyek perlindungan ekologi (Wu et al, 2020).

Dampak perubahan iklim juga berpengaruh pada daya dukung danau karst maupun sistem penopang air lainnya. Dalam studi kasus yang dilakukan Chen dkk baru-baru ini (2020) di Danau Baixian, sebuah danau dalam ekosistem karst di Provinsi Guizhou China dan telah ditetapkan sebagai World Heritage oleh UNESCO, perubahan iklim mempengaruhi sediman pada danau jauh lebih cepat daripada proses alamiah sebelumnya. Studi itu membuat model simulasi variasi sedimentasi danau selama 6000 tahun pada tiga tahap dan menunjukan bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi agroekosistem seperti ekosistem hutan di kawasan karst. Simulasi menunjukan bahwa iklim kering yang terus-menerus, menghasilkan kerusakan ekosistem hutan yang luar biasa yang tercermin dari berkurangnya tanaman herbal, meningkatnya pakis dan berkurangnya produktivitas primer tangkapan air daratan yang merupakan peran utama karst. Mereka menyimpulkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak besar dan berlangsung lama pada ekosistem karst. Begitu degradasi terjadi, ekosistem karst tidak mungkin pulih dalam jangka pendek dengan sendirinya.

Hadirnya pabrik semen pada kawasan karst tentu menambah beban tambahan pada ekosistem dimaksud yang masih bergulat dengan ancaman nyata perubahan iklim. Studi di beberapa karst di China maupun yang terjadi baru-baru di Jawa Tengah menunjukan daya dukung karst untuk aspek hidrologi (tata air) semakin goyah ketika intervensi manusia cenderung merusak (Keller and Klute 2016).

Semen dan Upaya Keberlanjutan

Menyadari dampak perubahan iklim dan tekanan lingkungan pada ekosistem karst, sejumlah studi telah berusaha mendorong agar industri semen mempertimbangkan emisi dalam siklus produksinya. Dalam hal ini, beberapa penelitian telah mengidentifikasi alternatif bahan baku semen. Salah satunya adalah penggunaan limbah industri paper sludge ash yang dihasilkan dari industri pulp dan kertas. Paper sludge ash yang adalah hasil dari lumpur yang mengendap dalam sistem instalasi pengolah air limbah (IPAL) yang kemudian dilewatkan ke dalam belt press dan dibakar sehingga menghasilkan ash. Sampai saat ini paper sludge ash yang merupakan sampah belum dimanfaatkan secara optimal sehingga menjadi masalah bagi industri pulp dan kertas (Nur et al, 2015). Selain itu, bahan baku lain dapat berupa pozolan, debu dari asap pembangkit batu bara yang diharapkan dapat mengurangi kadar CO2 pada klinker (Schneider, 2011).

 Kinerja Perusahaan Semen

Beberapa perusahaan raksasa semen seperti Holcim telah berusaha mencari cara terbaik untuk mendapatkan bahan yang mengurangi emisi sekaligus tetap memproduksi semen dengan kualitas yang memadai (Schneider 2011). Penggunaan bahan baku alternatif itu, selain mengurangi emisi juga barangkali menurunkan beban penggunaan bahan baku konvensional semen yang diperoleh dari pengerukan batu kapur.

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negara barat, perusahaan-perusahaan Tiongkok tidak cukup terbuka terhadap kebijakan mereka. Memang perubahan pada kebijakan investasi Tiongkok terkait dimensi sosial dan lingkungan di negara tuan rumah sudah mulai terjadi. Pada 2014, misalnya, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok mengeluarkan Pedoman Bersama untuk Perlindungan Lingkungan dalam Investasi dan Kerjasama Asing (IDI, 2019). Pedoman ini berlaku untuk semua perusahaan Tiongkok yang beroperasi di luar negeri dan mencakup masalah-masalah penting, termasuk penilaian dampak lingkungan, pemantauan polusi, komunikasi dengan masyarakat setempat dan konsultasi publik.

Namun penerapan standar ini melekat dengan sejumlah persoalan. Pertama-tama, persyaratan mendasar dari semua investasi Tiongkok adalah perusahaan harus menghormati hukum dan peraturan lingkungan setempat. Artinya, jika aturan setempat membolehkan tetap beroperasinya investasi, di samping tekanan publik terhadap persoalan lingkungan atau masalah lainnya, investasi itu tetap berjalan. Selain itu, kekhawatiran umum yang muncul mengenai perusahaan Tiongkok adalah bahwa mereka tidak berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat setempat. Beberapa perusahaan tidak melihat ini sebagai peran mereka, sementara yang lain tidak memiliki kapasitas untuk berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat lokal karena kurangnya pengalaman, serta kendala bahasa dan budaya. Namun, pedoman menjelaskan bahwa perusahaan perlu terlibat dan berkonsultasi dengan masyarakat setempat, dan menawarkan saran-saran prinsipil tentang cara melakukannya (IDI, 2017). Walau demikian, pedoman itu tidak memasukkan mekanisme penegakan hukum, yang berarti penerapan dan implikasinya tidak mengikat, sehingga amat mungkin untuk diabaikan (IDI, 2017).

Studi lain menunjukan bahwa jangankan penerapan standar lingkungan hidup di luar negeri, dalam hal kinerja domestik pun, perusahaan-perusahaan Tiongkok sendiri tidak sepenuhnya taat asas lingkungan. Dalam perbandingan kinerja di lingkup internal Tiongkok sendiri pada 2004, Huang dan Chang (2019) menyebutkan bahwa secara keseluruhan kinerja lingkungan dari perusahaan-perusahaan dari luar China masih jauh lebih baik daripada perusahaan-perusahaan Tiongkok, baik Perusahaan Negara maupun Swasta. Disebutkan bahwa perusahaan luar cenderung memiliki biaya polusi yang relatif rendah di sebagian besar industri, sedangkan perusahaan-perusahaan Tiongkok memiliki biaya polusi yang relatif tinggi di semua industri. Selain itu, keterampilan tenaga kerja terhadap upaya mengatasi polusi, menunjukkan tingkat keterampilan yang lebih tinggi pada perusahaan-perusahaan asing daripada BUMN dan swasta Tiongkok. Hal itu menyiratkan bahwa perusahaan asing lebih efisien dalam keterampilan dan lebih sedikit mencemari lingkungan daripada BUMN dan swasta Tikongkok. Teknologi canggih yang dikembangkan perusahaan-perusahaan asing mengurangi pencemaran lingkungan di Tiongkok. Sementara perusahaan-perusahaan BUMN Tiongkok justru memproduksi teknologi yang sarat polusi jauh lebih tinggi daripada swasta mereka.

Semen Manggarai Timur

Peta 4: semen, hutan lindung dan karst

Lokasi pabrik semen seperti digambarkan pada Peta 4 direncanakan berada di kawasan ekosistem karst flores yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018. Sebagaimana diutarakan di atas bahwa ekosistem karst sudah demikian rentan menghadapi perubahan iklim, meskipun saat yang bersamaan ekosistem itu pula yang telah berjasa menopang lahan pertanian sawah di calon lokasi pabrik semen melalui fungsinya sebagai regulator air.

Peta 5: calon lokasi pabrik semen dan lahan pertanian warga

Selain itu, rencana kehadiran pabrik semen juga beririsan dengan pertanian sawah masyarakat yang secara alamiah didukung oleh kawasan ekosistem kars sebagai penyedia air (Peta 5). Rencana ini sangat perlu untuk dipertimbangkan kembali mengingat trajektori historis kekeringan panjang yang telah berlangsung di kabupaten ini dengan ritme yang makin intensif. Tanpa memerlukan analisis canggih, tekanan ini akan makin bertambah jika ekosistem karst sebagai regulator utama di wilayah itu secara perlahan digerus untuk semen dan peruntukan lain.

Kebijakan Daerah Terhadap Perubahan Iklim  

Krisis ekosistem akibat tekanan perubahan iklim seharusnya terefleksi dalam kebijakan Pemerintah Daerah. Namun pilihan pembangunan yang diambil di wilayah-wilayah kritis belum menunjukan sikap menghadapi krisis air, misalnya merestorasi ekosistem yang rusak, melakukan penanaman rutin dengan spesies asli, mengerahkan kegiatan pembangunan yang minim penggunaan air, dan upaya-upaya lingkungan lainnya. Banyak daerah di NTT memilih tambang sebagai pilihan kebijakan jangka pendek untuk menggali pendapatan daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Namun umur kebijakan tambang yang berlangsung maksimum 50 tahun belum dihitung dengan umur ekologis yang terbentuk jutaan tahun. Hal ini mengakibatkan arahan kebijakan daerah hanya dapat menutup kebutuhan ekonomi jangka pendek, tetapi amat bermasalah untuk lingkungan jangka panjang.

Di samping itu, Pemda belum mempertimbangkan persoalan lingkungan secara serius dan barangkali belum memasukannya dalam dimensi perencanaan yang sistemik. Hal ini dapat dibuktikan dari porsi anggaran untuk kegiatan perlindungan ekosistem sangat tidak signifikan dibandingkan dengan anggaran lainnya, bahkan kalaupun ada justru digunakan untuk alokasi lain. Studi Kementerian Keuangan yang didukung UNDP dkk tahun 2015 mengkonfirmasi hal ini. Disebutkan oleh laporan itu bahwa porsi anggaran perubahan iklim yang dialokasikan ke NTT mencapai lebih dari 20 % dari total Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DekonTP). Tahun 2012, total dana iklim DekonTP ke NTT mencapai Rp. 249 Milyar dan 2013 meningkat Rp. 731 Milyar. Penggunaannya dirancang untuk pembelian barang dan modal untuk mendukung tindakan mitigasi atau adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun dalam prakteknya, 35-50 % anggaran ini digunakan Provinsi untuk personel. Studi itu lebih lanjut mengidentifikasi penggunaan anggaran DekonTP yang ditransfer ke kabupaten pada periode 2010-2012 (lihat diagram). Ada tiga kabupaten yang dipilih yakni Sumba Timur, Manggarai, dan Sabu Raijua. Dari analisis alokasi budget nampak jelas bahwa penggunaan anggaran dominan tidak terkait (unrelated) dengan isu perubahan ilkim (warna ungu). Ada sebagian yang dianggap berkaitan (warna merah) dan sebagian kecil lainnya mempunyai kaitan yang rendah (hijau). Tetapi secara keseluruhan hampir tidak ada penggunaan yang secara persis mempunyai dampak tinggi dan langsung terhadap perubahan iklim (warna biru).

Selain memang ada persoalan pada skema teknis pembiayaan oleh pemerintah pusat yang membingungkan daerah, NTT dan tiga kabupaten yang dijadikan contoh dalam studi itu belum mempunyai kesadaran sistemik terhadap risiko iklim di wilayahnya.

Studi anggaran untuk kabupaten lain, termasuk Manggarai Timur memang belum dilakukan. Studi serupa sepatutnya dikembangkan lebih lanjut di kabupaten-kabupaten lainnya. Namun patut dicermati dalam konteks konteks regional kebijakan iklim, kecenderungan yang berlangsung di kabupaten lain sebagaimana ditunjukan oleh tiga kabupaten dalam studi kasus Kementerian Keuangan kurang lebih mewakili kebijakan NTT secara keseluruhan. Singkatnya, belum ada kabupaten yang secara menonjol memiliki desain kebijakan sendiri terhadap perubahan iklim.

Kesimpulan

Perubahan iklim telah mengancam NTT baik air, pangan, pertanian, dan daya dukung pulau secara keseluruhan. Studi-studi yang diuraikan di atas menunjukan bahwa pada 2030 dan selanjutnya Flores akan kesulitan beradaptasi jika tekanan terhadap pulau itu masih mengikuti pola saat ini dan tidak ada upaya ekstra untuk melakukan upaya pencegahan. Sejauh ini belum nampak upaya masif untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari ekosistem yang tersisa. Sebaliknya, trend menunjukan bahwa upaya pembukaan hutan dan ekosistem karst terus berlangsung.

Mempertimbangkan ketahanan pulau dan wilayah NTT terhadap guncangan iklim, upaya provinsi mendorong pabrik semen di Manggarai Timur menimbulkan pertanyaan serius, akan kemanakah Pemerintah Daerah menjawab persoalan-persoalan ril saat ini seperti hilangnya mata air, tutupan hutan, berkurangnya hasil panen, longsor, dan ancaman berikutnya yang lebih serius akibat memburuknya krisis iklim global seperti denudasi pemukiman kawasan pantai dan gagalnya sejumlah komoditas, serta barangkali meningkatnya pengungsi lokal akibat bencana meteorologis.

Pembukaan pabrik semen, alih-alih mendongkrak ketahanan lokal terhadap dampak perubahan iklim, justru membuka jalan terhadap rusaknya ekosistem karst sebagai satu-satunya pengatur air yang masih utuh di tengah makin menipisnya tutupan hutan alam di daratan Flores. Kehadiran investor Tiongkok (Singa Merah) sebagai penopang modal utama utama pabrik semen juga patut diantisipasi secara hati-hati dengan mempertimbangkan kinerja buruk perusahaan-perusahaan Tiongkok dalam aspek lingkungan hidup.

Berbagai studi ilmiah yang dipaparkan di atas harusnya lebih dari cukup menjadi pertimbangan untuk pemerintah mulai memikirkan nasib dari generasi saat ini agar menikmati kualitas lingkungan dan daya dukung alam yang sama di kemudian hari. Sejalan dengan hal ini, pemerintah pusat telah mencanangkan agenda ketahanan pangan sebagai antisipasi nasional terhadap ancaman kekurangan pangan. Dalam hal ini, membangun pabrik semen dengan mengkonversi persawahan aktif tentu saja berbahaya untuk menopang ekosistem lokal, di samping secara politik juga berseberangan dengan kecenderungan agenda nasional dan trajektori kesepakatan global.

Perlu dicatat pula bahwa studi perubahan iklim tidak pernah meleset dalam memperhitungkan dampak global maupun skala mikro pada tingkat pulau maupun ekosistem kecil seperti karst. Memang diperlukan studi lain untuk memproyeksikan dampak perubahan iklim pada pulau-pulau kering seperti Flores dan sekitarnya. Hal itu sepatutnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjadikan mereka sebagai dasar perencanaan.

Namun sembari mendorong studi-studi ilmiah lainnya, yang perlu diambil segera saat ini adalah kebijakan pembangunan Pemerintah tidak boleh dibuat atas dasar pertimbangan politik semata. Dimensi lain sangat penting, bahkan seringkali lebih penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan publik. Isu krisis air dan pangan telah nyata untuk Flores. Isu-isu itulah yang semestinya digarap saat ini, melalui upaya pencarian teknologi dan pendampingan yang kuat bagi komunitas di kampung-kampung. Sejalan dengan itu, upaya memulihkan ekosistem yang rusak, terutama bukaan hutan patut menjadi prioritas dengan berbagai intervensi kebijakan kolaboratif agar petani-petani yang terlanjur membuka hutan mempunyai pilihan kerja sama yang lebih berkelanjutan.

Karena, Pulau Flores tidak punya cadangan B untuk mengungsi. Tuhan menciptakannya hanya satu. Merusaknya sama dengan menyiapkan skenario minggat. Selain hal itu merupakan pilihan yang sangat sulit, barangkali di luar sana tidak ada lagi lahan yang tersisa, kecuali tentu saja berenang ke laut yang dalam.

 

Bibliografi

Anne-Sophie Brandlin, (2017) “How Climate Change is Increasing Forest Fires Around the World” (https://p.dw.com/p/1JfrW)

Anett Keller and Marianne Klute, Dirty Cement: The Case Study of Indonesia (https://th.boell.org/en/2016/12/09/dirty-cement-case-indonesia)

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, Statistik Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur 2017, BPS

Bappenas, 2009, Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR

Bappenas. (2010). Indonesia climate change sectoral roadmap.

Center for Climate Finance and Multilateral Policy Fiscal Policy Agency Ministry of Finance, Republic of Indonesia, (2105), Provincial Climate Public Expenditure and Institutional Review (CPEIR) East Nusa Tenggara of Indonesia, UNDP, SIDA dan UNEP

Chen, J., Yu, J., Bai, X., Zeng, Y., & Wang, J. (2020). Fragility of karst ecosystem and environment: Long-term evidence from lake sediments. Agriculture, Ecosystems & Environment294, 106862.

Climatefocus, (2015), The Paris agreement summary. Client brief on the Paris Agreement28.

CNN Indonesia | Selasa, 14/01/2020 17:31 WIB, Walhi: Air Laut Naik, 2 Pulau di Sumsel Tenggelam 4 Terancam (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200114165804-20-465289/walhi-air-laut-naik-2-pulau-di-sumsel-tenggelam-4-terancam)

Edwards, R. B., Naylor, R. L., Higgins, M. M., & Falcon, W. P. (2020). Causes of Indonesia’s forest fires. World Development127, 104717.

Herawati, H., & Santoso, H. (2011). Tropical forest susceptibility to and risk of fire under changing climate: A review of fire nature, policy and institutions in Indonesia. Forest Policy and Economics13(4), 227-233.

Huang, C. H., & Chang, H. F. (2019). Ownership and environmental pollution: Firm-level evidence in China. Asia Pacific Management Review24(1), 37-43.

Inclusive Development International, (2019)Safeguarding People and the Environment in Chinese Investments: A Reference Guide for Advocates (https://www.inclusivedevelopment.net/idi-releases-revised-edition-of-safeguarding-people-and-the-environment-in-chinese-investments/)

IPCC, 2018: Summary for Policymakers. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty [Masson-Delmotte, V., P. Zhai, H.-O. P.rtner, D. Roberts, J. Skea, P.R. Shukla, A. Pirani, W. Moufouma-Okia, C. P.an, R. Pidcock, S. Connors, J.B.R. Matthews, Y. Chen, X. Zhou, M.I. Gomis, E. Lonnoy, T. Maycock, M. Tignor, and T. Waterfield (eds.)]. In Press.

IPCC, 2014: Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer (eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland, 151 pp.

Jocelyn Timperley, Q&A: Why cement emissions matter for climate change, Carbon Brief 13 September 2018, (https://www.carbonbrief.org/qa-why-cement-emissions-matter-for-climate-change)

John Lewar, 2019, Tiga Kampung di Manggarai Timur, NTT, Dilanda Krisis Air Terparah (https://mediaindonesia.com/read/detail/263554-tiga-kampung-di-manggarai-timur-ntt-dilanda-krisis-air-terparah, Sabtu 05 Oktober 2019)

Kemen G Austin et al 2019, “What Causes Deforestation in Indonesia”, Environ. Res. Lett. 14 024007

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Wilayah Ekoregion Indonesia (http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-cetak/59-peta-cetak/328-peta-ekoregion-indonesia)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Penutupan Lahan Indonesia, (http://webgis.menlhk.go.id:8080/pl/pl.htm)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Deforestasi Tahun Periode 2016-2017 (http://webgis.menlhk.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-cetak/59-peta-cetak/327-peta-deforestasi-tahun-periode-2016-2017)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peta Interaktif (http://webgis.menlhk.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/peta-interaktif)

Kirilenko, A. P., & Sedjo, R. A. (2007). Climate change impacts on forestry. Proceedings of the National Academy of Sciences104(50), 19697-19702.

Lucy Rodgers, Climate change: The massive CO2 emitter you may not know about, BBC News 17 Desember 2018, (https://www.bbc.com/news/science-environment-46455844)

Musnanda Satar, 2017, Ancaman Kerusakan Lingkungan Ekosistem Karst di Kalimantan Timur, (https://musnanda.com/2017/01/18/ancaman-kerusakan-lingkungan-ekosistem-karst-di-kalimantan-timur/)

NOAA, NASA, NOAA Data Show 2016 Warmest Year on Record Globally, Release 17-006, 18 January 2017 (https://www.nasa.gov/press-release/nasa-noaa-data-show-2016-warmest-year-on-record-globally)

NOAA, 2019 was 2nd hottest year on record for Earth say NOAA, NASA (https://www.noaa.gov/news/2019-was-2nd-hottest-year-on-record-for-earth-say-noaa-nasa)

NASA, September 10, 2019, “Satellite Data Record Shows Climate Change’s Impact on Fires” (https://climate.nasa.gov/news/2912/satellite-data-record-shows-climate-changes-impact-on-fires/)

NOAA, Assessing the Global Climate in 2019 (https://www.ncei.noaa.gov/news/global-climate-201912)

Nur, R. R., Hartanti, F. D., & Sutikno, J. P. (2016). Studi Awal Desain Pabrik Semen Portland dengan Waste Paper Sludge Ash Sebagai Bahan Baku Alternatif. Jurnal Teknik ITS4(2), F164-F168.

Popkin, Gabriel, (2019), How much can forests fight climate change?, Nature 565 (7739):280-282 · January 2019

Renne R.A. Kawilarang, Petani di Manggarai NTT Menjerit, Kekeringan Parah Bikin Gagal Panen (https://www.vivanews.com/berita/nasional/5710-petani-di-manggarai-ntt-menjerit-kekeringan-parah-bikin-gagal-panen?medium=autonext, 6 Septembe 2019)

Schneider, M., Romer, M., Tschudin, M., & Bolio, H. (2011). Sustainable cement production—present and future. Cement and concrete research41(7), 642-650.

Schroth, G., Läderach, P., Cuero, D. S. B., Neilson, J., & Bunn, C. (2015). Winner or loser of climate change? A modeling study of current and future climatic suitability of Arabica coffee in Indonesia. Regional Environmental Change15(7), 1473-1482.

Syakir, M., & Surmaini, E. (2017). Perubahan Iklim Dalam Konteks Sistem Produksi Dan Pengembangan Kopi Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian36(2), 77-90.

UCSUSA, The Connection Between Climate Change and Wildfires, (https://www.ucsusa.org/resources/climate-change-and-wildfires)

Wu, L., Wang, S., Bai, X., Tian, Y., Luo, G., Wang, J., … & Hu, Z. (2020). Climate change weakens the positive effect of human activities on karst vegetation productivity restoration in southern China. Ecological Indicators115, 106392.

Zhao, S., Pereira, P., Wu, X., Zhou, J., Cao, J., & Zhang, W. (2020). Global karst vegetation regime and its response to climate change and human activities. Ecological Indicators113, 106208.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here