(Ketika korona melayangkan inginnya)
Di ruangan isolasi seorang dokter membuka percakapan.
Koro, begitu sapaan dokter kepadanya sejak mereka merengkuh persahabatan dibalik seragam APD.
Apa yang sedang kau cari di dunia yang kian kelam?
Semenjak datangmu nyawa-nyawa jatuh di kaki nisan
tanpa mengucap selamat tinggal pun mendengar selamat jalan
Sekian juta nafas terengah-engah, gelisah kalau-kalau mereka menjemput giliran.
Koro, yang diajak bicara sontak menghentikan aktivitas.
Ia sedang menggerogoti tubuh pasien yang batuk dan sesak nafas,
menghela nafas sedalam rasa yang kian lama terpendam,
kemudian berang.
Aku ingin menyusu dari bukit perawan yang tak pernah diperkosa kapitalis setelah menyumpal mulut pemerintah,
Aku ingin memuaskan dahaga dengan air dari pegunungan rimbun sebab janji-janji politikus tak pernah memuaskan,
Aku ingin mendirikan kemah dalam hati bersih setelah sekian lama orang mencuci tangan terhadap ketidakadilan,
Aku ingin mengumpulkan emas dari rotan bapak ibuku sebab bapak ibu guru sudah gugup memegang rotan,
Aku ingin menyumpal mulut-mulut yang pandai berbicara selumbar di rumah tetangga sedang balok di rumah sendiri berantakan,
Aku ingin menjadi ubi di atas meja makan dan menyaksikan canda tawa Orangtua anak yang selalu memanjat syukur,
Aku ingin mengajarkan sepasang kekasih yang sedang kasmaran tentang arti cinta antara rindu dan setia,
Aku ingin duduk di sudut ruangan bersahabatkan lilin yang rela mengorbankan diri untuk sebuah nyala dan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci,
Aku ingin….
Litani itu terhenti ketika hembusan nafas pasien itu pergi menembus tembok.
Ia pulang keabadian membawa kenangan radang paru-paru dari pabrik semen sebelah rumahnya.
Konon itu buah perselingkuhan orang tuanya dengan anak gadis seorang konglomerat.
Fr. Andi Saup, SVD
20 Mei 2020