Latar Belakang
Sejak dimulainya proyek developmantalisme (pembangunanisme) di Negara Dunia Ketiga, politik kebijakan telah diarahkan untuk memfasilitasi kepentingan pemilik pemodal yang terus-menerus mengembangkan strategi untuk mengekstrasi sumber-sumber alam maupun manusia. Politik energi adalah salah satu sarana mengeruk keuntungan ekonomi dari berbagai jenis sumber energi yang diekstraksi dari perut bumi pertiwi. Berbagai jenis sumber energi fosil maupun non-fosil terus diambil dan dikonversikan menjadi energi. Namun demikian semuanya ini bukan untuk kepentingan rakyat dan pemenuhan kesejahteraannya, tapi pertama dan terutama untuk kepentingan dan tujuan para modal (capital).
Panas bumi (geothermal) adalah primadona baru dari politik energi tersebut. Silang sengkurat kepentingan dari putaran modal telah memaksa Negara untuk mau tidak mau menerima proyek-proyek tersebut sebagai sesuatu yang niscaya. Bahkan kepentingan tersebut telah membentuk istilah yang seakan harus diterima (energi berkelanjutan, energi terbarukan, dll.) dan telah menyerupai istilah “pembangunan” di masa pemerintahan Soeharto. Walaupun dalam kenyataannya politik tersebut justru menguatkan dan memperlebar ketimpangan struktural. Ekspansi modal besar dalam kepentingan energi dalam banyak kasus telah memperparah tingkat ketimpangan (ekosob dll) sekaligus memicu dan meningkatkan konflik. Masalah lain adalah terciptanya beragam krisis ekologis. Salah satu yang tampak nyata adalah meningkatnya bencana hidrologis. Banjir, kekeringan, pencemaran, longsor, amblesan tanah, adalah berbagai fenomena yang acapkali memberikan dampak buruk bagi warga sekitar pembangunan proyek-proyek tersebut.
Di tengah pandemi global dan beragam krisis yang ada, negara (Indonesia) telah mengeluarkan kebijakan terbaru, yakni Rancangan UU Omnibus Law. Undang-undang Cipta Kerja ini tidak lain dapat dibaca sebagai inisiasi dari ekspansi modal. Secara gamblang dan terbuka dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan politik pemerintah, di mana pemerintah sedang menyiapkan seluruh perangkat untuk memfasilitasi masuknya investasi dalam koridor-koridor yang sudah disiapkan. Sebuah kebijakan yang tentu saja akan melahirkan tsunami investasi, dan belum tentu akan berdampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Ada beragam pengalaman membuktikan bahwa ada banyak kebijakan yang merupakan akar dan hulu represivitas, kekerasan, kriminalisasi, pembungkaman suara kritis, penangkapan aktivis/petani/masyarakat adat, serta pendekatan keamanan lainnya yang kian marak belakangan ini. Jadi dalam konteks tertentu UU Ominibus Law sengaja diadakan demi melanggengkan rangkaian krisis yang kini telah ada dan akan ada lagi menimpa rakyat di mana proyek-poyek tersebut dilangsungkan.
Isu – isu krusial ini akan dibahas melalui paparan umum, studi kasus dan diskusi, yang akan dilaksanakan pada
Hari/Tgl : Selasa, 14 Juni 2020
Waktu : Pkl. 19.00 – 22.00 WIB
Metode : Online melalui zoom dan streaming Facebook serta Youtube
Penyelenggara : Kelompok Belajar Panas Bumi
Pemantik
- Hendro Sangkoyo
- Era Purnama Sari
- Ki Bagus Hadikusumo
- Perwakilan Komunitas
- Wae Sano
- Gunung Talang
- Gunung Slamet
- Kawah Ijen
- Sarulla
- Padarincang
- Arjuno Welirang
- Komunitas Sadar Kawasan
- Mataloko