Marciano Almeida Soares OFM
1. Pengantar
Tulisan menguraikan kembali makna Liturgi dan ekologi serta korelasi antara keduanya sebagai bentuk penghayatan baru atas Liturgi. Tujuannya untuk menggali dan melihat kembali refleksi teologi Liturgis dalam hubungan dengan merawat bumi rumah bersama. Semangat Liturgi harus menjiwai manusia dalam merawat bumi rumah bersama yang semakin rusak. Panggilan untuk merawat rumah bersama merupakan panggilan yang mendesak bagi semua manusia, secara khusus manusia sebagai makhluk Liturgis. Umat beriman memaknai Liturgi sebagai bentuk pelanyanan imam Agung Yesus Kristus. Imam Agung yang tidak hanya mempersembahkan kurban, tetapi mempersembahkan dirinya sebagai kurban sejati untuk keselamatan manusia dan seluruh alam ciptaan. Manusia yang berliturgis mesti sampai pada kesadaran akan pelayanan yang hakiki ini untuk merawat bumi rumah bersama.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah “mengapa Liturgi menjadi sorotan dalam hubungan dengan ekologi?” Apakah Liturgi merupakan sesuatu yang terpisah dari ekologi? Ataukah Liturgi hanya berurusan dengan hal-hal kultis transsendental semata? Atau mengapa orang-orang yang merayakan liturgi, tidak merawat alam atau bumi sebagai rumah bersama? Penulis mengajukkan pertanyaan ini, tentu berangkat dari suatu kegelisahan eksistensial, yaitu menyangkut bumi rumah kita bersama yang semakin hari-semakin hancur. Ironisnya, penyebab kehancuran oikos (yang tengah berlangsung) adalah manusia yang berliturgis. Apakah ada penghayatan yang keliru dalam berliturgi?
Ketika menelusuri secara mendalam kedua terminologi ini, yaitu Liturgi dan ekologi, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa penghayatan terhadap Liturgi yang benar tidak mengabaikan bumi sebagai rumah bersama hancur. Liturgi yang dirayakan oleh umat beriman mesti mendorong umat untuk melayani Allah, sesama dan juga alam ciptaan dengan sungguh-sungguh serta merawatnya untuk generasi yang akan datang. Selain itu, Liturgi yang merupakan bentuk pelayanan dan penyembahan terhadap Allah pencipta mesti mencakup seluruh ciptaan di dunia ini, tidak hanya urusan kultis transcendental semata.
Berhadapan dengan realitas alam atau bumi rumah kita bersama yang semakin rusak, manusia yang berliturgis dipanggil untuk melayani Allah dengan merawatnya agar tidak semakin rusak. Bumi rumah kita bersama mesti menjadi tempat yang nyaman dan aman, yang menjamin keberlangsungan hidup seluruh ciptaan. Dunia atau bumi tempat tinggal manusia sebagaimana dikatakan oleh Ratzinger adalah locus untuk merawat relasionalitas manusia dengan Allah, dengan sesama dan segenap ciptaan.[1] Ratzinger mengatakan bahwa taman eden dalam Kitab Kejadian adalah gambaran dunia yang diciptakan bagi manusia, bukan padang belantara, bukan tempat yang berbahaya, dan ancaman bagi manusia. Akan tetapi, taman eden merupakan rumah yang menampung, memelihara dan menopang hidup manusia. Itulah salah satu ekspresi dari dunia yang mengandung jejak Roh, untuk dunia yang ada sesuai dengan kehendak Pencipta. Alam atau ciptaan lain menampakkan wajah Allah (epifani Allah). Ada dua gerakan yang berinterkasi di sini. Yang satu adalah menyangkut manusia yang tidak mengeksploitasi dunia dan yang tidak mau melepaskan dunia dari pemerintahan pencipta dan membuatnya sebagai milik mereka sendiri; sebaliknya menyadarinya sebagai rahmat atau hadiah dari Allah dan membangunnya sesuai dengan maksud dunia itu diciptakan.[2] Irosnisnya adalah manusia yang berliturgis justru menjadi perusak bukan pelayan dan perawat terhadap ekologi.
Dalam rangka menjawab pertanyaan dan persoalan ini, penulis akan menguraikan beberapa hal berikut: Pertama, menggali kembali makna Liturgi dan ekologi serta melihat korelasi antara keduannya. Kedua, menelaah konsep keselamatan yang universal yang termaktub dalam tradisi Liturgi para rasul. Ketiga, menelusuri bacaan-bacaan Liturgis. Keempat, penggunaan hasil bumi atau hasil ciptaan dalam Liturgi.
2. Pengertian Liturgi dan Ekologi Serta Keterkaitan antara Keduanya
2.1 Pengertian Liturgi
Kata Liturgi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu leitourgia; akar katanya adalah ergon yang artinya karya dan leitos dari kata benda laos yang artinya bangsa.[3] Kedua kata ini (laos dan ergon) menunjukkan pada kerja nyata rakyat Yunani Kuno kepada bangsa atau Negara. Kerja nyata yang dilakukan oleh rakyat adalah membayar pajak, membela Negara ketika Negara berada dalam ancaman musuh. Selain itu, leitourgia juga menunjukkan pada pelayanan rumah tangga. Secara sederhana dan harafiah dapat disimpulkan bahwa leitourgia adalah kerja atau pelayanan masyarakat yang dibaktikan kepada negara atau bangsa.
Ketika kita melihat arti kata ini, maka kita dapat mengatakan bahwa kata leitourgia lebih berhubungan dengan kehidupan profane dan politis, yaitu hubungan rakyat dan bangsa atau negara. Dalam arti ini, leitouriga tidak berhubungan dengan tindakan kultis. Akan tetapi, leitourgia mengalami arti secara baru, yaitu pada abad ke 4 SM, kata Liturgi dipakai untuk memaknai seluruh bentuk karya pelayanan yang dilakukan oleh manusia. Kemudian pada Abad ke 2 SM, para penerjemah Kitab Suci dari Ibrani ke Yunani (Septuaginta atau LXX) memilih kata leitourgia untuk menerjemah kata abodah yang artinya pelayanan. Pelayanan yang dimaksud dengan kata abodah adalah pelayanan para imam Lewi kepada Tuhan.[4] Konsep abodah ini yang dominan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama pelayanan atau sembah bakti itu kepada Allah saja.
Pemaknaan atas Leitourgia atau Leitourgein lebih menarik lagi dalam Perjanjian Baru. Ada dinamika pemaknaan dalam Perjanjian Baru. Dalam Injil Lukas, Lietourgia masih dimaknai seperti dalam Perjanjian Lama, (bdk. Luk. 1:23) yaitu sesuai dengan terjemahan LXX, yaitu menyangkut pelayanan seorang imam kepada Allah. Sementara dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Ibrani penggunaan kata leitourgia dan leitourgein untuk menjelaskan makna imamat Yesus Kritus. Kristus adalah Imam Agung. Ia adalah imam satu-satunya Perjanjian Baru. Imamat Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru dimaknai sebagai pelayanan yang lebih Agung dan berdaya guna. Sebab Kristus adalah satu-satunya leitourgos, tempat Kudus dan kemah sejati, (bdk. Ibr. 8:2). Kristus itu pula menjadi persembahan untuk pengudusan seluruh alam ciptaan. Selain itu, dalam Perjanjian Baru makna leitourgia dihubungkan dengan pewartaan Injil, dan Paulus sebagai Pelayan Yesus Kristus (Bdk. Rm. 15:16); atau tindakan amal bagi saudara-saudara seiman, (Lihat 2Kor. 9:12 dan Rm 15:27). Secara singkat mau dikatakan bahwa kata Liturgi dalam Perjanjian Baru berhubungan dengan pelayanan terhadap Allah dan sesama yang mencakup aneka bidang kehidupan.[5]
Dewasa ini, kata Liturgi dihubungkan dengan kata ibadat orang Kristen. Kata ibadat ini dalam Bahasa Arab, yaitu ebdu atau abdu yang artinya abdi atau hamba. Kata ini lebih sejajar dengan kata Ibrani abodah, yaitu hamba dan pengabdiannya kepada Tuhan. Dalam Gereja Katolik ketika berbicara mengenai Liturgi, maka orang langsumg meghubungkannya dengan Ekaristi, yang merupakan pusat dan puncak dari semua sakramen. Persitiwa yang besar adalah kenangan (anamnesis) akan keselamatan segenap ciptaan oleh Imam Agung Yesus Kristus.[6]
Dalam arti ini, arti pelayanan Liturgi semata-mata hanya menekankan aspek kultis trasendental. Pelayanan kepada Allah itu mengalami makna baru dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam pelayanan Yesus Kristus Imam Agung kepada Allah. Ada dua hal yang dilakukan oleh Yesus Kristus, yaitu: Pertama, Yesus sebagai Imam Agung mempersembahkan kurban kepada Allah dan menguduskan manusia; kedua, Kristus sendiri mempersembahkan diri sebagai Anak Domba Allah yang sejati.
2.2 Pengertian Ekologi
Kata Ekologi berasal dari Bahasa Yunani dari akar kata oikos yang artinya habitat, rumah dan logos yang artinya ilmu atau diskursus.[7] Terminologi ini dikemukakan oleh salah seorang pengikut Darwin, Ernst Haeckel. Ekologi dalam konsep Haeckel adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai hubungan antara organisme dan habitatnya atau lingkungannya, di mana kita dapat mengenali faktor-faktor yang mendukung eksistensi organisme-organisme ita.[8]
Faktor-faktor itu mencakup organik dan kemiawi yang merupakan karakteristik habitat, iklim, kualitas air dan sifat tanah. Kendati setiap kondisi dari setip eksitensi melibatkan relasi antara organisme yang satu dengan yang lain, namun harus disadari juga bahwa antara mereka ada teman dan juga musuh di antara oranisme-organisme itu.[9] Pada tahun 1870, Haeckel berbicara mengenai relasi antara setiap organisme dengan lingkungan hidupnya. Atau dengan kata lain, kita dapat mendefinisikan bahwa ekologi adala ilmu yang berbicara mengenai relasi antara setiap organisme dan lingkungan atau habitatnya.[10]
Sebagai ilmu, ekologi mempunyai tujuan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai keadaan segenap alam semesta dan keterhubungannya dengan organisme-organisme yang berada di dalamnya (ecosphere). Ekologi juga berupaya untuk memperhatikan lapisan keadaan di bawah lapisan hidup yang dipenuhi dengan unsur-unsur abiotic dan dunia di luar planet bumi, yaitu planet lain dan budi serta pikiran manusia, yang disebut dengan noosphere.[11]
Secara singkat mau dikatakan bahwa penekanan dari ekologi adalah unsur saling keterkaitan atau ketergantungan antara oraganisme yang satu dengan yang lain dalam lingkungannya. Dalam lingkungan itu terjamin juga hubungan antara oraganisme yang satu dengan yang lain dan memungkinkan mereka mengalami kehidupan. Habitat atau lingkungan yang memungkinkan saling ketergantugan antara organisme-organisme itu adalah planet bumi rumah bersama yang sedang kita diami. Dalam arti ini ekologi adalam ilmu atau diskursus mengenai organisme dalam hubungan dengan seluruh lingkungannya.[12]
2.3 Hubungan antara Liturgi dan Ekologi
Setelah melihat arti dan makna dari kedua terminologi ini (Liturgi dan ekologi), lantas kita bertanya apa korelasi antara keduannya? Sejauh mana perayaan Liturgi dapat mencakup unsur ekologis? Benjamin M. Stwart melihat korelasi keduanya pada kata worship dalam bahasa Inggris kuno dari kata worth–ship. Worth, pertama-tama mau menekankan penyembahan dan puji-pujian manusia kepada Allah. Tetapi juga, penyembahan itu diwujudkan dengan mempersembahkan unsur-unsur alam seperti air, roti dan anggur merupakan ungkapan pujian manusia kepada Allah. Selain itu, alam atau ciptaan lain juga berharga di mata Tuhan, Yesus mengatakan bahwa burung pipit dan rambut kepala, lebih dari itu semua ciptaan dapat memuji Allah dengan lebih indah dari pada manusia. Tindakan mendasar dari Ibadah atau sembahan (worth) melampaui horizon ciptaan, yaitu dalam keterhubungannya dengan yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dalam arti ini, Liturgi berbicara mengenai relasi manusia dengan alam ciptaan dan juga seluruh ciptaan dengan Penciptannya.[13]
Ekologi berdasarkan pada arti hakiki maka dia melampau horizon dunia. Ekologi dipahami sebagai disiplin ilmu yang mengeksplorasi kesalingketergantungan antara segala sesuatu, secara khusus relasi yang mau mengekspresikan kehidupan di planet bumi ini. Kehidupan yang berkembang di bumi dalam pandangan ekologi dianggap baik adanya, bahkan sangat baik. Dengan demikian Liturgi dan ekologi keduanya mendekati kosmos dengan mencari horizon terjauh yang mengandung nilai yang melekat pada penciptaan kehidupan yang subur dan berkelimpahan.[14]
Liturgi dan kehidupan lebih dekat berhubungan dengan ortodoksi kristiani, sehingga Liturgi menjadi bagian dari hidup para pengikut Kristus. Liturgi Gereja Barat, sebagaimana dikatakan oleh Celia Diane lebih menekankan kematian daging dan dosa manusia. Lebih dari itu, Liturgi Gereja Barat menaruh penekanan yang besar pada kebangkitan badan. Yang menjadi jantung dari Liturgi adalah Ekaristi. Ekaristi memperlihatkan Misteri Agung keselamatan, yang dibuat oleh Imam Agung Yesus Kristus. Dalam ekaristi Kristus tidak hanya berperan sebagai imam yang mempersembahkan kurban pengudusan manusia, tetapi Ia Sendiri menjadi kurban penebusan. Ekaristi mengandung makna trasformasi ciptaan melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Ekaristi berbicara kepada kita mengenai peristiwa penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus. Keselamatan universal yang dibawakan oleh Kristus memulihkan segala relasi dalam kosmos ini, namun manusia cenderung untuk mengacaukan kosmos itu dengan merusak habitatnya sendiri, tetapi juga merusak organisme yang lain.[15] Hal yang terjadi adalah krisis oikos. Bumi rumah kita bersama menjadi semakin rusak, dan sedang menuju kehancuran.
Berhadapan dengan itu, maka, krisis ekologi memanggil setiap manusia untuk menaruh kesadaran yang besar akan kegagalan serta menyadari tanggung jawabnya untuk merawat ciptaan lain sebagai pemberian Allah untuk kehidupan. Krisis itu memanggil manusia akan awal yang baru, untuk membangun sebuah sikap pertobatan, atau lebih luas lagi, ialah metanoia. Perubahan sikap dan akal budi yang fundamental dapat mungkin melalui pertisipasi yang mendalam dalam kehidupan Liturgi Gereja.[16]
Narasi Yahudi-Kristen sejak semula telah menyoroti relasi integral antara manusia dengan lingkungan atau alam sekitarnya. Dalam Kitab Kejadian Allah mengatakan kepada manusia bahwa “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Selain itu dalam Kej. 2:7, Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepada manusia itu, dan manusia itu hidup. (Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup). Hal yang mau dikatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah, ia diambil dari material atau unsur yang sama dengan tanah.[17]
Hemat penulis, manusia mesti sampai pada kesadaran bahwa ia bersala dari bumi atau tanah yang diciptakan Allah itu, sehingga ia sungguh sadar bahwa dia bagian yang tak terpisahkan dari bumi. Maka dari itu panggilan untuk merawat bumi adalah hal yang hakiki dan niscaya. Merawat bumi berarti merawat dirinya sendiri, jika tidak ia akan menuju kehancuran.
3. Keselamatan universal dalam Tradisi Apostolik dan Relasinya dengan Liturgi
Dalam pewartaan para rasul sebagaimana terekam dalam Perjanjian Baru, mereka mewartakan dunia sekarang. Dunia yang dirusak oleh dosa manusia, yang ditakdirkan larut dan akan menghilang. Tetapi dalam Kristus ciptaan baru telah terbentuk, baik itu manusia dan dunia, karena Tuhan membawahi semua hal di bawah satu kepala, yaitu Kristus. Semua hal itu mencakup makhluk surgawi dan makhluk duniawi, (bdk. Ef. 1:10). Ciptaan baru itu termanifestasi pada saat pentekosta, di mana Allah mengutus Roh Kudus. Ciptaan baru atau penciptaan kembali sedang berkelanjutan dan menantikan kepenuhannya: manusia diciptakan kembali (Gal. 6:15) dan sedang menantikan penebusan tubuhnya pada masa kebangkitan, dan semua ciptaan akan bergabung dalam langit dan dunia yang baru (Rm. 8:18-23; 2Pet. 3:13; Wah. 21:1-5).
Dengan cara yang sama, narasi penderitaan menunjukkan bagaimana alam mengambil bagian dalam penderitaan dan kebangkitan Kristus: wafat Kristus memasukkan ciptaan pada kegelapan dan menghancurkan segala rintagan maut (Mat. 27:45-54). Akan tetapi, terang kebangkitan menyingkirkan batu dari liang kubur (28:2) dan sekali lagi termanifestasi dalam api pentakosta (Kis. 2:3): Yesus Tuhan berkuasa atas maut, menghancurkan pintu maut, berdasarkan Kitab Suci, dan mengutus Roh Kehidupan kepada manusia dan alam semesta.
Komunitas Gereja pada Zaman para Rasul mengintegrasikan aspek kosmik dari misteri keselamatan ke dalam Liturgi. Sebagaimana dikutip dalam madah Yahudi-Kristiani, dalam surat pertama Timotius 3:16: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.” Mereka mewartakan bahwa pertobatan dunia telah terpenuhi melalui wafat dan kebangkitan Kristus, dan memohon agar ia memenuhi seluruh bumi.[18]
4. Tradisi Liturgis
Dalam Liturgi bentuk atau konsep mengenai penciptaan baru dinyatakan. Melalui pembabtisan dan krisma Allah memulihkan hidup manusia (pria dan wanita), sementara melalui ekaristi Allah memelihara kemanusiaan baru, menjadikannya sebagai tubuh Gereja, melaluinya ia dapat menjangkau seluruh ciptaan. Pertanyaan kemudian adalah, setelah periode para rasul, sampai tingkat manakah komunitas kristen mempertahankan kesadaran akan dimensi kosmik misteri keselamatan dan mengekspresikannya dalam Liturgi mereka? Jawaban atas pertanyaan ini, mesti dimulai dari penelusuran pada perikop para rasul mengenai keselamatan yang dapat ditemukan dalam bacaan-bacaan Liturgis.
Pertama, kita dapat melihat dua perikop yang menunjukkan pada keselamatan seluruh ciptaan, yaitu dalam Rm. 8:18-23 yang terdapat dalam Minggu keempat setelah Pentakosta. Dalam perikop ini Paulus menggambarkan suatu kebangkitan semesta. Paulus mau mengatakan bahwa keselamatan itu universal bagi segenap ciptaan. Kemerdekaan kelak bukan hanya dialami oleh manusia, tetapi seluruh makhluk ciptaan.
“…..19Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. 20Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, 21tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. 22Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. 23Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.
Kelak semua akan dipersatukan dalam langit dan bumi yang baru, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu 21:1-5.[19] Suatu pembaharuan yang menyeluruh terhadap langin dan bumi. Dikatakan bahwa langit dan bumi yang lama akan berlalu atau tidak ada lagi, yang dilihat dan dihuni oleh manusia adalah langit dan bumi yang baru.
“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. 2Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. 3Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. 4Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” 5Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dan firman-Nya: “Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.”
5. Buah Ciptaan yang dimasukkan Liturgi
Dalam Liturgi selalu menggunakan hasil buah dari ciptaan dan tindakan manusia untuk pengaturan dan dekorasi. Lebih dari itu, dalam hal sakramen hasil bumi dan usaha manusia menjadi tanda rahmat dan keselamatan. Roti dan anggur digunakan dalam Ekaristi, air untuk pembabtisan dan minyak pengurapan dan lain-lain. Semua ciptaan di dalam Liturgi untuk memohon berkat dan pengudusan dari Allah.[20] Ada dua dinamika, yaitu menaikan berkat “ascending blessing” yang mencakup ucapan syukur kepada Allah untuk keselamatan yang dilimpahkan kepada seluruh alam ciptaan dan “descending blessing”, yaitu memohon berkat dari Allah untuk semua elemen ciptaan yang digunakan oleh manusia dalam liturgi dan kehidupan sehari-hari.[21]
Gereja Katolik Roma sudah sejak abad pertengahan mempunyai praktek untuk memohon berkat bagi semua objek, benda-benda dan tempat (sakramentali) yang menjadi bagian dari hidup manusia. Misalnya, praktek memberkati air suci yang campur dengan garam. Air suci dan garam digunakan untuk eksorsis, untuk mengusir setan dan pengaruh negatifnya. Eksosis dan air berkat digunakan untuk memberkati yang lain, untuk membebaskan sejumlah ciptaan yang dirasuki setan dan menguduskan mereka untuk menyembah yang Ilahi. Ritus Romawi yang baru telah memberi prioritas pada ucapan syukur pada karya Allah.[22]
6. Liturgi dan Panggilan untuk Merawat (Melayani) Bumi Rumah Bersama
Setelah melihat, menggali dan memahami kedua terminologi (Liturgi dan ekologi) di atas, maka kami dapat mengatakan bahwa sebagai makhluk berliturgi manusia tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap ekologi. Setiap manusia, khususnya manusia yang berliturgi (umat beriman) dipanggil untuk merawat bumi rumah bersama. Dalam arti ini, pemaknaan akan Liturgi tidak hanya semata pelayanan kultis transcendental, tetapi lebih luas, yaitu kembali pada makna awal dari Liturgi (leitourgia) bahwa pelayanan yang mencakup segala aspek atau “semua alam ciptaan.”[23]
Panggilan untuk merawat ini menggema ketika Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si. Paus Fransiskus dalam pengantar ensiklik ini, menyadarkan semua manusia bahwa biang dari kerusakan lingkugan hidup dan bumi rumah bersama adalah manusia. Manusia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu,[24] sehingga dengan seenaknya ia mengeksploitasi alam untuk memenuhi kerakusannya. Maka dari itu, ajakan kepada semua orang untuk berdialog dengan ibu bumi adalah hal yang hakiki. Melalui dialog itu, manusia dapat menyadari bahwa perilaku konsumptifnyalah yang menyebabkan bumi rumah bersama menuju kehancuran.[25] Dalam Laudato Si no. 13-14, Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk peduli dan bersolidaritas terhadap alam yang semakin rusak.
Pertanyaannya adalah mengapa harus merawat? Tentu secara sederhana kita akan menjawab bahwa kita harus merawat agar bumi rumah bersama tetap menjadi tempat yang nyaman bagi manusia dan seluruh oraganisme yang berdiam di dalamnya. Selain itu, agar semua ciptaan tidak hancur dan mati akibat kehancuran oikosnya. Terlepas dari alasan itu semua, mengapa harus merawat? Leonardo Boff dalam karyanya Essential Care: An Ethics of Human Nature, mengatakan bahwa:
“Merawat ada sebelum jiwa dan tubuh manusia terbentuk. Roh atau jiwa memanusiakan dirinya dan tubuh mendapat kehidupan ketika mereka dibentuk oleh perawatan. Jika tanpa merawat atau perawatan, maka roh akan kehilangan dirinya di dalam abstraksi dan tubuh akan memusingkan diri dengan materi yang tak berbentuk. Merawat memampukan roh untuk memberi bentuk pada tubuh yang konkret bersama waktu, terbuka pada sejarah dan disesuaikan dengan utopia.” [26]
Secara sederhana penulis mau mengatakan bahwa merawat adalah hal yang hakiki dan fundamental pada diri manusia. Maka dari itu panggilan kepada manusia untuk merawat bumi sebagai wujud pelayanan adalah niscaya. Spirit pelayanan yang diwujudkan dengan semangat merawat menyadarkan manusia akan keterbatasan dan kerapuhannya di hadapan ciptaan lain. Selain itu, menyadarkan manusia juga akan semangat syukur sebagaimana terpenuhi dalam Ekaristi. Dari situ manusia dapat menyadari bahwa ciptaan dan bumi adalah anugerah luhur dari Allah yang harus dirawat untuk menjamin kelangsungan hidup seluruh organisme. Merawat juga menyadarkan manusia akan tanggung jawabnya sebagai ciptaan yang menyandang citra dan rupa Allah. Liturgi sebagaimana dikatakan oleh Sean Mc Donagh, bahwa “… mentransformasi manusia dalam relasinya (pelayanannya) kepada Allah, sesama dan juga ciptaan lain.”[27] Dengan itu manusia dapat menyadari bersama bahwa ada kebutuhan yang mendesak untuk keluar dari mentalitas eksploitatif dan pandangan mekanistik akan alam kepada sikap peduli dan cara yang berkelanjutan dalam mengolah dan merawat alam.[28]
Merawat ekologi atau cosmos rumah bersama secara Liturgis pada zaman ini[29] menyadarkan manusia akan dimensi pertobatan ekologis. Fakta kerusakan alam menunjukkan bahwa manusia telah berkontribusi dalam merusak alam ini, maka mesti sadar untuk melakukan pertobatan. McDonagh mengatakan bahwa dalam berliturgi manusia yang menyembah Allah, mesti mempunyai kesadaran untuk melakukan rekonsiliasi dengan alam, secara khusus oran-orang yang tinggal di kota, yang tidak mempunya relasi yang cukup mendalam, dan kurang merasakan interdependensinya dengan alam.[30]
7. Kesimpulan
Secara teologis, Liturgi menekankan pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama dan ciptaan lain. Relasi ini menunjukkan bahwa ada interdependensi yang tak terhindarkan oleh manusia. Interdependensi terutama terjadi pada manusia dengan organisme yang lain dan hubungannya dengan lingkungan sekitar di mana ia berada. Lingkungan itu adalah planet bumi. Planet bumi adalah rumah bersama yang mesti menjamin seluruh organisme yang hidup di dalamnya. Ironisnya adalah planet bumi rumah bersama itu semakin rusak, dan organisme-organisme yang berada di dalamnya semakin punah. Maka dari itu, panggilan Litrugis bagi manusia (sebagai rupa dan citra Allah) adalah untuk bertanggung jawab terhadap bumi rumah bersama. Pertanggugjawaban itu harus diwujudkan dalam pelayanan yang terwujud dalam perawatannya terhadap oikos rumah bersama. Sebagai makhluk yang berliturgi, manusia harus melayani atau merawat bumi rumah bersama agar menjadi tempat yang aman, serta memungkinkan kehidupan bagi semua organisme.
Panggilan Liturgis bagi manusia juga adalah untuk melakukan pertobatan ekologis. Pertobatan yang dimaksud adalah kesadaran kembali akan ketergantungan manusia pada organisme lain di bumi ini. Manusia yang berliturgis mesti sadar bahwa Allah membawa keselamatan bagi seluruh alam ciptaan, bukan hanya untuk manusia. Kenangan akan seluruh persitiwa Yesus Kristus, teratama penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus membawa kehidupan baru bagi semesta. Allah dalam dan melalui Yesus Kristus telah memulihkan dunia ini, sehingga manusia dipanggil untuk menjaga alam semesta ini agar tetap berada dalam keharmonisan serta nyaman dan menjamin seluruh kehidupan manusia dan segenap ciptaan.
Hemat penulis, pemaknaan secara baru akan Liturgi adalah hal sangat penting. Artinya, Liturgi tidak hanya dimaknai sebagai pelayanan kultis transcendental, tetapi pelayanan yang lebih luas. Dalam arti ini, Liturgi kembali diletakkan pada makna asalinya, yaitu Leitourgia yang artinya pelayanan akan semua aspek kehidupan. Pelayanan yang mesti dilakukan pada saat ini adalah merawat bumi rumah bersama agar tidak semakin rusak.
Daftar Pustaka
Buku
Boff, Leonardo. Essential Care: An Ethics of Human Nature. Diterj. oleh Alexandre Guilherme, (Waco, Texas: Baylor University Press2008).
Cardinal Ratzinger, Joseph. God and The World: A conversation With Peter Swaald. (trans.) Henry Taylor, (San Francisco: Ignatius Press, 2002).
________. “Sin and Salvation,” in Essential Pope Benedict XVI His Central Writings and Speeches, (ed.) by John F. Thornton and Susan B. Varennn, (A HarperCollins E-book). Hlm. 259-268.
________. “Sanctification of The World,” in The Environment Pope Benedict XVI, Collected and Edited by Jacquelyn Lindsey (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing, 2012).
Chang,Wiliam. Moral Lingkungan Hidup. (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
F.White, James. Introduction to Christian Worship. (Nashville: Revised Edition, Abingdon Press, 1990).
Martasudjita, Emanuel. Pengantar Litrugi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi. (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
McDonagh, Sean. Green the Christian Millennium. (Dublin: Dominican Publication, 1999).
Deane _ Drummond, Celia. A Handbook in Theology and Ecology, (London: SCM Press Ltd, 1996).
Metzger, Marc. “Liturgy and Cosmos,” in Liturgy and the Body, ed. Louis Chauvet and Francois Kabasele Lumbala, (London: SCM Press, 1987).
Dokumen Gereja
Paus Fransiskus. Laudato Si: Tantangan Perawatan Rumah Kita Bersama. (Diter.) oleh Martin Harun. (Jakarta: OBOR, 2015).
Sumber Internet
- Stewart, Benjamin. “Liturgy and Ecology: Introduction” in Journal Liturgy. (Volume 27, 2012 – Issue 2: Liturgy and Ecology) https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0458063X.2012.638785?src=recsys. Diunduh pada 12 November 2018, pkl. 22:00, hlm. 1-2.
Leo Smith, Robert. “Ecology.” In Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/science/ecology, diunduh pada 11 November 2018. Pkl. 22:30).
- Johnson,Clare. “Embracing Local Ecology in Liturgical Expression,” in Journal Liturgy, (Vol. 27, 2012- Issue 2: Liturgy and Ecology), https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0458063X.2012.638788?src=recsys, diunduh pada tgl. 11 Novermber, 2018, pkl. 20:00 WIB). Hlm. 31-39.
[1] Joseph Cardinal Ratzinger, God and The World: A conversation With Peter Swaald, (trans.) by Henry Taylor, (San Francisco: Ignatius Press, 2002), hlm. 75-76.
[2] Ratzinger, “Sin and Salvation,” in Essential Pope Benedict XVI his Central Writings and Speeches, (ed.) by John F. Thornton and Susan B. Varennn, ( A HarperCollins E-book), hlm. 259-268.
[3] James F.White, Introduction to Christian Worship, (Nashville: Revised Edition, Abingdon Press, 1990), hlm. 22-23. Sebagaimana dikutip oleh Emanuel Martasudjita dalam Pengantar Litrugi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 18-19.
[4] Bdk. E. Martasudjita, Pengantar Litrugi, hlm. 19.
[5] Bdk. E. Martasudjita, Pengantar Litrugi, hlm. 20-21.
[6] Martasudjita juga menjelaskan 4 dimensi teologis Liturgi, yakni: pertama, dimensi trinitaris; kedua, Liturgi sebagai perayaan misteri paskah; ketiga, Liturgi sebagai tindakan Kristus dan Gereja; keempat, Liturgi sebagai fungsi dasar gereja. (Dalam pengatar Liturgi, hlm, 27-42).
[7] Lihat Robert Leo Smith, “ecology” in Encyclopedia Britanbica, (https://www.britannica.com/science/ecology, diunduh pada 11/12/2018. Pkl. 22:30). Atau lihat Wiliam Chang, moral lingkungan hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 14-15.
[8] Ernest Heackel, sebagaimaan dikutip oleh Christian Leveque, Ecology: From Ecosystem to Biosphere, ()
[9] Christian Leveque, Ecology, 2-3.
[10] Bdk. Christian Leveque, Ecology, hlm. 3.
[11] Lihat, Wiliam Chang, Moral Lingkungan Hidup, hlm. 13.
[12] Bdk. Wiliam Chang, moral lingkungan hidup, hlm. 14.
[13] Benjamin M. Stewart, “Liturgy and Ecology: Introduction” in Journal Liturgy, (Volume 27, 2012 – Issue 2: Liturgy and Ecology) https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0458063X.2012.638785?src=recsys. Diunduh pada 12 November 2018, pkl. 22:00, hlm. 1-2.
[14] Benjamin M. Stewart, “Liturgy and Ecology: Introduction,” hlm. 1-2.
[15] Celia Deane _ Drummond, A Handbook in Theology and Ecology, (London: SCM Press Ltd, 1996), hlm. 83-84.
[16] Celia Deane, A Handbook Theology and Ecology, hlm. 84.
[17] Clare V. Johnson, “Embracing Local Ecology in Liturgical Expression,” in Journal Liturgy , (Vol. 27, 2012- Issue 2: Liturgy and Ecology), https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0458063X.2012.638788?src=recsys, 31-39.
[18] Marc Metzger, Liturgy and Cosmos, 40-41.
[19] Kita dapat menemukan bacaan-bacaan serupa dalam Kitab Suci yang menyebar dalam bacaan-bacaan Liturgi Gereja. Dan empat yang lain dalam bacaan hari minggu sekarang, yakni Ef. 1:10, dalam minggu XV, tahun B; Rm. 8:18-23 dalam minggu XV, tahun A; 2Petrus 3:23 dalam minggu II adven, tahun B; Wahyu 21:1-5 untuk peringatan pemberkatan.
[20] Joseph Ratzinger, “Sanctification of The World,” in The Environment Pope Benedict XVI, Collected and Edited by Jacquelyn Lindsey (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing, 2012),
[21] Marc Metzger, “Liturgy and Cosmos,” hlm. 44.
[22] Marc Metzger, “Liturgy and Cosmos,” hlm. 44.
[23] Lihat, E. Martasudjita, Pengatar Liturgi, 28-30. Di sana, dijelaskan makna Litrugi yang mengalami arti yang luas pada abad ke 2 dan ke 4 SM, yaitu menyangkut pelayanan yang menyeluruh yang mencakup semua pihak dan aspek kehidupan.
[24] Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, no. 1 dan 2.
[25] Bdk. Paus Fransiskus, Laudato Si, no. 3-9.
[26] Leonardo Boff, Essential Care: An Ethics of Human Nature, (trans.) Alexandre Guilherme, (Waco, Texas: Baylor University Press2008), hlm. 142-144.
[27] Sean McDonagh, Green the Christian Millennium, (Dublin: Dominican Publication, 1999), hlm. 193.
[28] Bdk, Sean McDonagh, Green Christian Millennium, hlm. 193-194.
[29] Zaman di mana oikos rumah bersama semakin rusan dan menuju kehancuran akibat antroposentrisme yang naïf. Di mana manusia hadir bukan sebagai yang perawat tetapi penakluk.
[30] Lihat, Sean McDonagh, Green Christian Millennium, hlm. 193.