Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Abstract:
The implementation of the law starts from the ratification and enactment of law by an authoritative institution. Thus, the law has full power. Furthermore, the law is applied in people’s life. Then, law enforcement officials have the duty and responsibility to supervise and enforce the implementation of the law. Indonesia is a state of law, where Pancasila and the 1945 Constitution are used as a basis or foothold. In The Concept of Law, H.L.A. Hart formulated law as a unit of primary and secondary regulations. Based on Hart’s idea, the law is a form of secondary regulation. In Indonesia, House of Representatives as the legislative institution has the authority to make laws. However, there are problems in creating the fair law because of Indonesia consists of various kinds of tribes, languages, religions, and cultures. Therefore, people need a legal system that can represent and protect the elements of society.
Kata Kunci:
Hukum, peraturan, primer, sekunder, diwajibkan untuk, memiliki kewajiban, adil.
1. Pengantar
Setelah disusun dan mendapatkan pengesahan lembaga berwenang, pada saat itu juga hukum tersebut mempunyai kekuatan hukum.[1] Selanjutnya, hukum yang telah disepakati, diberlakukan dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, aparat penegak hukum mempunyai tugas dan wewenang mengawasi, mengatur, dan memaksakan hukum. Merujuk konsep hukum negara demokrasi, hal ini disebut prinsip legalitas.[2] Menegakkan hukum berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Terkait dengan hal ini, Indonesia merupakan negara hukum, menjadikan Pancasila[3] dan UUD 1945[4] sebagai dasar atau pijakan. Oleh karena itu, hukum dan perundang-undangan menempati posisi di atas berbagai macam aturan yang lain. Hal ini demi teraktualisasikannya penegakan hukum, di mana masyarakat majemuk tunduk di bawah supremasi hukum.
Namun, bagaimana menciptakan hukum yang adil di tengah masyarakat majemuk, seperti Indonesia? Karena Indonesia terdiri dari suku, agama, bahasa, dan budaya yang beraneka ragam. Oleh karena itu, diperlukan sistem hukum yang dapat mewadahi, mewakili, dan melindungi segenap elemen masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menawarkan pemikiran H.L.A. Hart yang merumuskan hukum sebagai kesatuan peraturan primer dan sekunder.[5] Supaya dapat memahami pemikiran Hart dan relevansinya untuk mewujudkan hukum yang adil di Indonesia, penulis menguraikan tulisan ini menjadi tiga bagian. Pertama, Sekilas Tentang H.L.A. Hart. Kedua, Hukum Menurut H.L.A. Hart. Ketiga, Hukum Menurut H.L.A. Hart dan Relevansinya untuk Mewujudkan Hukum yang Adil di Indonesia.
2. Sekilas Tentang H.L.A. Hart[6]
Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) merupakan filsuf hukum yang mempunyai peranan penting pada abad kedua puluh. Hart disebut sebagai sosok yang memulai kembali kajian filosofis tentang hukum. Memperkenalkan pendekatan filsafat bahasa dalam menghadapi berbagai macam persoalan hukum.[7] Tony Honore (filsuf bahasa dan kolega Hart di Oxford) mengungkapkan bahwa karya-karya Hart senantiasa menjadi fokus diskusi. Sejak awal diterbitkan sampai saat ini, karya-karya Hart menjadi titik pijak kajian hukum. Selain itu, Hart mempunyai keprihatinan terhadap persoalan publik. Hal ini terlihat ketika Hart aktif memberikan ceramah dan menulis berbagai macam peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Selain itu, Hart mendukung hak melakukan aborsi, menentang pelaksanaan hukuman mati, dan menentang penghukuman terhadap orang yang mempunyai orientasi seksual berbeda dari orang kebanyakan. Tetapi, siapakah Hart?[8]
Hart lahir pada tanggal 18 Juli 1907 di Harrogate Inggris dari pasangan Rose dan Simon Hart. Rose dan Simon Hart adalah pengusaha Yahudi sukses berdarah campuran Jerman dan Polandia. Pada tahun 1926, Hart menempuh pendidikan di New College, salah satu College tertua dan terbaik di Universitas Oxford. Hart lulus dengan sangat baik dalam bidang studi Classical Great (filsafat, humaniora, dan sejarah klasik) pada tahun 1929. Hart memulai kariernya sebagai pengacara. Setelah delapan tahun menjadi pengacara, Hart tidak berminat lagi dengan bidang yang digelutinya. Namun, di sisi lain, profesi tersebut memberinya banyak informasi (persoalan hukum praktis) yang dapat direnungkan secara filosofis. Hal ini terwujud setelah Hart menjadi pengajar, terutama ketika menjadi Profesor Yurisprudensi di Oxford.
Sejak Perang Dunia II, Hart berhenti sebagai pengacara. Kemudian bekerja sebagai badan intelijen Inggris bersama dua filsuf Inggris, Gilbert Ryle dan Stuart Hampshire. Bersama mereka Hart melakukan perbincangan filosofis. Hal ini membuat Hart semakin meminati filsafat. Kemudian Hart menikah dengan Jenifer Fischer Williams, ahli sejarah di St. Anne’s College dengan spesialisasi sejarah kepolisian. Hart melanjutkan kuliah dan mendapatkan gelar M.A. dari Oxford pada tahun 1942. Pada tahun 1945, Hart menerima tawaran menjadi tutor filsafat di New College, Oxford. Beberapa tahun kemudian, Hart diangkat sebagai Profesor Yurisprudensi. Selain menjabat sebagai Profesor Yurisprudensi, Hart terpilih sebagai ketua Aristotelian Society (1959-1960). Akhirnya, pada tahun 1992 Hart meninggal. Para pemikir penting di bidang filsafat hukum, moral, dan politik seperti Brian Barry, John Finnis, Kent Greenawalt, NeilCormick, Joseph Raz, Chin Liew Ten, W.J. Waluchow, dan Ronald Dworkin[9] adalah murid Hart.
3. Hukum Menurut H.L.A. Hart
Hart mengkritik teori komando Austin.[10] Terkait dengan hal ini, Hart menilai Austin tidak membedakan konsep diwajibkan untuk (was obliged) dan memiliki kewajiban (had on obligation) dengan baik.[11] Akibatnya, Austin merujuk kedaulatan individu sebagai basis validitas hukum. Basis tersebut rapuh, tidak menjamin ketahanan dan keberlangsungan hukum. Oleh karena itu, Hart menawarkan sistem hukum sebagai peraturan, primer dan sekunder. Supaya dapat memahami pemikiran Hart tentang sistem hukum sebagai peraturan primer dan sekunder dengan baik, penulis menguraikan bagian ini menjadi tiga pokok bahasan. Pertama, awal yang baru. Kedua, ide tentang kewajiban. Ketiga, elemen-elemen hukum.
3.1 Awal yang Baru
Hart menilai model hukum sebagai perintah paksaan gagal memproduksi beberapa ciri pokok sistem hukum.[12] Sebagaimana dijelaskan Hart, terdapat tiga alasan yang membuat model hukum sebagai perintah paksaan gagal.[13] Pertama, hukum hanya berlaku bagi pihak lain (bukan untuk yang memberlakukannya). Kedua, hukum tidak bisa ditafsirkan sebagai perintah yang ditopang ancaman. Karena ada ragam hukum yang tidak dapat dikategorikan ke dalam perintah paksaan. Misalnya hukum legislasi atau ajudikasi. Ketiga, ada peraturan hukum yang tidak sama dengan perintah (dari segi asal usulnya). Karena peraturan tersebut muncul tidak melalui proses tertentu. Misalnya perintah yang bersifat eksplisit. Berdasarkan analisis kegagalan tersebut, dapat dikatakan bahwa elemen pembangun teori tersebut tidak mampu menghasilkan ide tentang peraturan, tanpanya kita tidak bisa menjelaskan bentuk hukum paling mendasar.[14]
Berawal dari kritiknya terhadap Austin, Hart menyatakan bahwa ada dua tipe peraturan hukum yang berbeda, tetapi saling berkaitan. Berdasarkan tipe peraturan pertama (dasar atau primer), setiap orang dituntut melakukan atau menahan diri dari tindakan tertentu, entah menginginkannya atau tidak.[15] Tipe peraturan lainnya disebut penopang atau sekunder bagi tipe peraturan pertama. Jika setiap orang melakukan atau mengatakan sesuatu, maka memunculkan peraturan primer baru, menghapus atau memodifikasi yang lama, dan menentukan pemberlakuan serta mengontrol kinerjanya.[16] Tipe peraturan pertama membebankan kewajiban, sedangkan tipe peraturan kedua memberikan kekuasaan, publik atau pribadi. Tipe peraturan pertama berkenaan dengan tindakan yang melibatkan gerakan atau perubahan fisik, sedangkan tipe peraturan kedua mengatur kinerja yang mengarah bukan hanya pada gerakan atau perubahan fisik, melainkan penciptaan atau perubahan tugas dan kewajiban.
3.2 Ide Tentang Kewajiban
3.2.1 Perbedaan Diwajibkan Untuk dan Memiliki Kewajiban
Harus diingat bahwa teori mengenai hukum sebagai perintah paksaan, terlepas dari kekeliruannya, dan bertolak dari pengamatan, tindakan manusia dalam segi tertentu menjadi tidak bersifat pilihan (non-optional) atau bersifat wajib (obligatory).[17] Dengan demikian, dibutuhkan sesuatu yang lain untuk memahami ide kewajiban. Oleh karena itu, ada satu perbedaan yang harus dijelaskan, pernyataan seseorang diwajibkan untuk melakukan sesuatu dan pernyataan seseorang memiliki kewajiban untuk melakukannya.[18]
Yang pertama (diwajibkan untuk) merupakan pernyataan tentang keyakinan dan motif dilakukannya suatu tindakan.[19] Misalnya B dipaksa menyerahkan uang, seperti “kasus orang bersenapan”, dia yakin ada risiko atau konsekuensi tertentu yang tidak menyenangkan jika tidak menyerahkan uang. Oleh karena itu, dia menyerahkan uang untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan. Dalam kasus serupa, bayangan tentang konsekuensi yang akan terjadi pada “seorang pegawai jika tidak patuh”, hal ini membuatnya melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, kemungkinan melakukan tindakan sebaliknya (mempertahankan uang atau tidak patuh) lebih kecil.
Pernyataan seseorang diwajibkan untuk mematuhi, pada dasarnya merupakan pernyataan psikologis, mengacu pada keyakinan dan motif dilakukannya suatu tindakan. Namun, pernyataan seseorang memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu, tergolong tipe yang berbeda dan ada berbagai macam petunjuk untuk memahami perbedaan tersebut.[20] Dengan demikian, pernyataan seseorang memiliki kewajiban, misalnya berkata benar atau mengikuti wajib militer, tetap benar adanya meskipun dia yakin bahwa dia tidak akan ditangkap dan tidak mengkhawatirkan sesuatu pun bila tidak patuh. Lebih dari itu, pernyataan seseorang memiliki kewajiban pada dasarnya independen dari persoalan apakah dia faktanya mendaftar wajib militer atau tidak.[21] Pernyataan seseorang diwajibkan melakukan sesuatu, membawa implikasi dilakukannya suatu tindakan.[22]
3.2.2 Argumentasi H.L.A. Hart: Penolakan Interpretasi Tentang Kewajiban Sebagai Prediksi
Sebagian teoretisi, Austin diantaranya, tidak melihat korelasi antara keyakinan, rasa takut, dan motif seseorang melakukan suatu tindakan. Selain itu, merumuskan konsep tersebut bukan dari fakta subjektif, melainkan peluang atau kemungkinan seseorang yang mempunyai kewajiban akan dikenai hukuman atau “kesusahan” jika tidak patuh. Akibatnya, pernyataan tentang kewajiban diperlakukan bukan sebagai pernyataan psikologis, melainkan prediksi atau penilaian mengenai peluang ditimpakannya hukuman atau kesusahan.[23] Namun, sekurang-kurangnya ada dua alasan untuk menolak interpretasi kewajiban sebagai prediksi.
Pertama, interpretasi prediktif mengaburkan fakta. Di mana ada peraturan, pelanggarannya bukan hanya menjadi landasan memprediksi munculnya reaksi permusuhan atau pengadilan menerapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Namun, lebih dari itu, hal ini menjadi landasan atau justifikasi bagi reaksi yang muncul dan penerapan sanksi.[24] Bagaimana pun juga, ada penolakan kedua yang lebih sederhana terhadap interpretasi prediktif mengenai kewajiban.
Kedua, jika benar pernyataan seseorang memiliki kewajiban berkemungkinan menderita bila tidak patuh, tetapi kontradiktif jika dikatakan seseorang memiliki kewajiban (misalnya mendaftar wajib militer).[25] Padahal faktanya dia berada di daerah jurisdiksi atau berhasil menyuap polisi dan pengadilan, sehingga tidak ada peluang baginya tertangkap atau menderita. Oleh karena itu, berdasarkan fakta tidak ada kontradiksi ketika hal ini dikatakan. Karena pernyataan tersebut seringkali dilontarkan orang dan diterima. Meskipun demikian, untuk memahami ide tentang kewajiban, harus dilihat bahwa dalam kasus individu, pernyataan seseorang memiliki kewajiban menurut peraturan tertentu dan prediksi berkemungkinan menderita karena tidak patuh bisa jadi berseberangan.[26]
3.2.3 Aspek Internal dan Eksternal Peraturan
Ketika kelompok sosial memiliki peraturan perilaku tertentu, fakta tersebut bisa menghasilkan peluang munculnya berbagai macam interpretasi yang berbeda meskipun saling terkait.[27] Kita bisa mengamati peraturan tersebut, entah sekadar sebagai seorang pengamat atau anggota kelompok yang menerima dan menggunakannya sebagai pedoman. Oleh karena itu, kita bisa menamakan cara pandang tersebut sebagai sudut pandang eksternal dan sudut pandang internal.
Sudut pandang eksternal memungkinkan mereproduksi cara bagaimana peraturan berfungsi dalam kehidupan anggota kelompok tertentu, yaitu mereka yang menolak peraturan dan mengikutinya ketika mempertimbangkan konsekuensi tidak menyenangkan mengikuti pelanggaran.[28] Sudut pandang tersebut menghasilkan ekspresi seperti; “Saya diharuskan melakukannya”, “Saya mendapatkan kesulitan jika…”, “Kita kemungkinan susah jika…”, “Mereka menghukum anda jika…”. Namun, mereka tidak memerlukan ekspresi seperti; “Saya memiliki kewajiban” atau “Kita memiliki kewajiban”. Karena ekspresi ini digunakan mereka yang memandang perilakunya dan orang lain dari sudut pandang internal.[29]
Yang tidak bisa direproduksi sudut pandang eksternal, membatasi diri pada regularitas perilaku yang bisa diamati.[30] Hal ini merupakan cara bagaimana peraturan berfungsi sebagai peraturan dalam kehidupan mereka sebagai mayoritas dalam masyarakat. Mereka adalah para petugas, pengacara, atau pribadi yang menggunakannya dalam situasi tertentu sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan sosial. Sebagai landasan klaim, tuntutan, perizinan, kritik, dan hukuman dalam transaksi kehidupan sesuai peraturan. Bagi mereka, pelanggaran peraturan bukan hanya landasan memprediksi munculnya reaksi bermusuhan, melainkan alasan reaksi bermusuhan.
Kapan pun dan di mana pun, masyarakat yang hidup dengan peraturan, hukum atau bukan, berada dalam ketegangan antara mereka yang di satu sisi menerima dan bekerjasama menjaga peraturan, memandang perilakunya dan orang lain berdasarkan tinjauan peraturan. Sedangkan di sisi lain, ada yang menolak peraturan dan mengikutinya dari sudut pandang eksternal (kemungkinan dijatuhkannya hukuman).[31] Salah satu kesulitan yang menghambat teori hukum yaitu adanya dua sudut pandang, di mana dituntut tidak mendefinisikan salah satunya dan tidak menghilangkan eksistensi yang lain. Semua kritik yang disampaikan Hart terhadap teori kewajiban prediktif bisa diringkas dengan tepat sebagai klaim bahwa hal ini yang dilakukan teori tersebut pada aspek internal peraturan.[32]
3.3 Elemen-Elemen Hukum
3.3.1 Masyarakat yang Hidup dengan Peraturan Primer (Masyarakat Pra-Legal)
3.3.1.1 Masalah yang Dihadapi
Hanya komunitas kecil yang dijalin erat ikatan kekerabatan, sentimen dan keyakinan bersama, dan tinggal di lingkungan stabil, mampu hidup di bawah peraturan tidak resmi.[33] Dalam kondisi lainnya, bentuk kontrol sosial sederhana terbukti lemah dan membutuhkan topangan. Terdapat tiga kelemahan dalam masyarakat yang hidup dengan peraturan primer (masyarakat pra-legal).
Pertama, peraturan yang mengatur kelompok tidak membentuk sistem. Melainkan sekumpulan standar yang tercerai-berai tanpa ada tanda keidentikan atau kesamaan. Keculai hal itu merupakan peraturan yang diterima sekelompok orang tertentu. Dalam hal ini, mirip dengan peraturan etiket. Oleh karena itu, jika ada keraguan mengenai peraturan, tidak ada prosedur untuk menyelesaikan keraguan tersebut, entah merujuk suatu teks otoritatif atau seorang yang pernyataannya dipandang otoritatif. Dengan demikian, struktur sosial peraturan primer mengandung kelemahan berupa ketidakpastian (uncertainty).[34]
Kedua, sifat statis peraturan (static character of the rules).[35] Perlu diketahui bahwa mode perubahan peraturan masyarakat berupa proses perkembangan yang berlangsung lambat. Perilaku yang awalnya dipandang bersifat pilihan (optional) menjadi kebiasaan, setelah itu menjadi wajib, dan proses selanjutnya berupa pembusukan. Ketika penyimpangan sebelumnya dihukum dengan keras, lalu ditenggang, dan kemudian lolos begitu saja. Dalam masyarakat seperti itu, tidak ada sarana untuk menyesuaikan peraturan dengan perubahan keadaan. Entah itu dengan menghapus peraturan lama atau memperkenalkan yang baru.
Ketiga, tidak efisiennya tekanan sosial dalam menegakkan peraturan.[36] Terkait dengan hal ini, sengketa mengenai apakah suatu peraturan telah dilanggar (atau tidak) selalu muncul di masyarakat. Jika tidak ada lembaga yang secara khusus diberi kuasa untuk memastikan fakta adanya pelanggaran, maka tidak ada kepastian otoritatif yang final. Kelemahan lainnya yaitu hukuman atas pelanggaran peraturan dan bentuk tekanan sosial berupa upaya fisik atau penggunaan kekerasan yang tidak dijalankan oleh suatu lembaga khusus.[37] Melainkan diserahkan kepada individu yang terlibat atau kepada kelompok.
3.3.1.2 Cara Mengatasi Masalah
Cara mengatasi masalah berdasarkan tiga kelemahan tersebut yaitu menopang peraturan primer dengan peraturan sekunder.[38] Dikenalnya cara mengatasi masalah dari setiap kelemahan bisa dipandang sebagai langkah maju dari dunia pra-hukum menuju dunia hukum. Setiap cara yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut disertai elemen yang memenuhi syarat hukum. Tentu saja cara mengatasi masalah tersebut cukup mengubah peraturan primer menjadi sebuah sistem hukum. Ada beberapa tiga cara yang ditawarkan untuk mengatasi masalah dalam masyarakat pra-legal.
Pertama, berkaitan dengan ketidakpastian peraturan primer, yaitu memperkenalkan peraturan pengakuan (rule of recognition).[39] Peraturan pengakuan menentukan ciri suatu peraturan untuk dipandang sebagai indikasi tegas bahwa peraturan yang mengandung ciri tersebut merupakan peraturan kelompok yang harus didukung oleh tekanan sosial. Eksistensi peraturan pengakuan bisa mengambil berbagai macam bentuk, sederhana atau kompleks. Di mana ada pengakuan, berarti ada bentuk peraturan sekunder. Sebuah peraturan yang pasti dan digunakan mengidentifikasi peraturan primer.
Kedua, berkaitan dengan ciri statis peraturan primer, yaitu memperkenalkan peraturan perubahan (rule of change).[40] Memberikan kuasa kepada seorang individu atau sekelompok orang untuk memperkenalkan peraturan primer baru bagi kelompok, kelas tertentu di dalam kelompok, dan menghapuskan peraturan lama.
Ketiga, berkaitan dengan inefisiensi tekanan sosial yang tercerai-berai, yaitu berupa peraturan sekunder. Memberikan kekuasaan kepada individu untuk membuat ketetapan otoritatif, apakah peraturan primer telah dilanggar pada saat tertentu.[41] Bentuk minimal ajudikasi terwujud dalam ketetapan demikian. Peraturan yang memberikan kekuasaan disebut peratauran ajudikasi (rules of adjudication).[42] Selain mengidentifikasi individu yang harus melakukan ajudikasi, peraturan tersebut mendefinisikan prosedur yang harus diikuti.
3.3.2 Peraturan Primer dan Sekunder
Hart menyatakan bahwa hukum merupakan sistem peraturan, di mana kesatuan peraturan primer dan sekunder memadai dalam menjelaskan terbentuknya sistem hukum. Peraturan primer memiliki tipe primer (primary type), di mana setiap orang dituntut melakukan atau menahan diri dari suatu tindakan tertentu.[43] Sedangkan peraturan sekunder memiliki tipe sekunder (secunder type), menjelaskan bagaimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya dapat ditentukan secara pasti.[44] Dengan kata lain, peraturan sekunder berfungsi mengatur peraturan primer secara tegas dan pasti. Kedua tipe tersebut berbeda, tetapi saling berkaitan dan membentuk sistem positivisme hukum.
Jika mencermati struktur yang dihasilkan dari kombinasi peraturan primer dan sekunder, maka terbentuk peraturan pengakuan, peraturan perubahan, dan peraturan ajudikasi. Oleh karena itu, kita bukan hanya menemukan jantung dari sistem hukum, melainkan sarana yang paling kuat untuk menganalisis berbagai macam persoalan yang membingungkan para ahli hukum dan teoretisi politik.[45] Kombinasi dari elemen tersebut bukan hanya digunakan untuk menjelaskan konsep spesifik hukum yang ditekuni secara profesional oleh para ahli hukum. Seperti konsep kewajiban dan hak, validitas dan sumber hukum, legislasi dan jurisdiksi, dan sanksi. Tetapi juga konsep tentang negara, otoritas, dan petugas yang membutuhkan analisis serupa jika kekaburan masih mengelilingi dan ingin dihilangkan.
3.4 Kesimpulan
Hart merumuskan hukum sebagai kesatuan peraturan primer dan sekunder. Dalam The Concept of Law, dia menawarkan sistem hukum yang memungkinkan hukum tertentu dipertanggungjawabkan secara hukum juga. Sebagai penganut positivisme[46] hukum, dia menegaskan bahwa hukum pertama-tama harus dipahami sebagai sistem hukum yang dibedakan antara peraturan primer dan sekunder, tetapi keduanya saling terkait. Akhirnya, meskipun kombinasi peraturan primer dan sekunder pantas menempati kedudukan sentral, karena telah menjelaskan banyak aspek hukum. Namun, kombinasi tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjelaskan semua persoalan. Karena kesatuan peraturan primer dan sekunder berada di pusat sistem hukum.
4. Hukum Menurut H.L.A. Hart dan Relevansinya untuk Mewujudkan Hukum yang Adil di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang didasarkan atas hukum.[47] Dengan kata lain, tidak didasarkan atas kekuasaan belaka. Pernyataan tersebut ditegaskan dalam UUD 1945.[48] Oleh karena itu, hukum dan perundang-undangan berada di atas segala-galanya. Hal ini dimaksudkan demi terwujudnya masyarakat yang tunduk di bawah supremasi hukum. Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya majemuk, terdiri dari berbagai macam suku, agama, bahasa, dan budaya. Selain itu, ada berbagai macam kepentingan dan pandangan hidup. Supaya seluruh elemen masyarakat dapat hidup berdampingan, dibutuhkan penegakan hukum yang adil dan berimbang. Menurut Hart, adil berarti adanya perlakuan terhadap hal-hal serupa dengan cara serupa (keadilan komunikatif) dan perlakuan terhadap hal-hal berbeda dengan cara berbeda (keadilan distributif).
Keanekaragaman masyarakat, terutama kepentingan dan pandangan hidup yang berbeda, berpotensi memicu konflik vertikal atau pun horisontal.[49] Realitas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sampai saat ini terpecah-belah, dilatarbelakangi konflik yang mengatasnamakan perbedaan suku, agama,[50] bahasa, dan budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan hukum yang dapat merangkul semua kepentingan dan pandangan hidup. Meskipun pada akhirnya tidak dapat menjamin bahwa semua pihak merasa puas.
Hukum merupakan hasil kesepakatan bersama, harus dihormati dan ditaati setiap orang. Terkait dengan hal ini, Hart menekankan hukum tertulis. Karena tidak ada norma hukum selain norma hukum positif. Di mana semua persoalan yang terjadi di masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Dengan demikian, norma berlaku sebagai hukum tidak tergantung pada isinya. Tetapi pada pengesahannya, sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, aparat penegak hukum harus mengawasi, mengatur, dan bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, aparat kepolisian membiarkan sekelompok masa menyerang warga Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang-Banten. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 6 Februari dilatarbelakangi perbedaan keyakinan.[51] Diberitakan bahwa aparat kepolisian sebelumnya mengetahui rencana penyerangan tersebut. Karena tidak ada tindak lanjut dari aparat kepolisian, peristiwa tersebut mengakibatkan tiga orang meninggal dan lima orang mengalami luka parah. Aparat kepolisian sebenarnya mempunyai wewenang dan tanggung jawab menindak tegas sekelompok masa yang menyerang warga Ahmadiyah.[52] Hal ini demi melindungi hak hidup warga Ahmadiyah.
Selain peranan aparat kepolisian dalam memberlakukan hukum, pengakuan pada hukum tertulis juga sangat menentukan. Hukum tertulis diakui sebagai hukum resmi, memiliki wewenang mengikat. Dalam lingkup masyarakat Indonesia, hukum tertulis sangat penting. Karena hukum tertulis merupakan peraturan yang diakui bersama dan menjadi acuan aparat kepolisian dalam menegakkan hukum. Sedangkan dalam sistem hukum yang berkembang, peraturan pengakuan sifatnya lebih kompleks, tidak sekadar merujuk teks, tetapi merujuk karakteristik umum sebagaimana terdapat dalam peraturan primer.
Karakteristik hukum tertulis dapat berupa penentuan bahwa peraturan tersebut ditetapkan, kebiasaan yang dilakukan, dan berkaitan dengan keputusan yudisial. Untuk menghindari konflik, peraturan tersebut disusun berdasarkan kategori superioritas. Misalnya undang-undang dasar mempunyai posisi lebih tinggi daripada undang-undang. Selain itu, undang-undang mempunyai posisi lebih tinggi daripada peraturan daerah. Namun, sebagaimana dilaporan Kementerian Dalam Negeri, sepanjang periode 2011, terdapat 351 peraturan daerah bermasalah.[53] Bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan bersifat diskriminatif.
Di sinilah aparat pemerintahan mempunyai peranan penting, menjalankan sistem hukum. Di Indonesia, persoalan penegakan hukum dilatarbelakangi ketegangan antara hukum dan ketertiban. Meskipun kata “hukum” dan “ketertiban” seringkali diucapakan dalam satu rangkaian.[54] Seolah-olah yang satu merupakan sinonim yang lain. Berdasarkan pemahaman yang lebih jauh, muncul perbedaan yang bersifat hakiki. Berkaitan dengan hukum dan ketertiban, keduanya menghendaki kondisi tertib. Dalam hukum, ketertiban ditafsirkan dari segi terpenuhinya prosedur normatif tertentu. Sedangkan dari segi hasil, ketertiban merupakan terjalinnya relasi setiap orang dalam masyarakat.
Persoalan tersebut biasanya dihadapi polisi. Misalnya polisi tidak menindak para pengendara motor yang berhenti melewati garis batas lampu merah. Bahkan berhenti di atas zebra croos demi lancarnya lalu lintas yang padat. Diskresi polisi dijamin Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Namun, wewenang tersebut dibatasi dan dilakukan dalam keadaan mendesak dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia.
Para penganut positivisme hukum dituduh terlalu formalistik, menerapkan hukum secara deduktif. Meskipun Hart seorang positivis, Hart menerima prinsip moral hukum kodrat. Misalnya prinsip menepati janji (pacta sunt servanda), perlindungan hak milik pribadi, pemeliharaan kebutuhan jasmani, dan perlindungan kehidupan manusia. Meskipun menolak relasi mutlak antara moral dan hukum, Hart menegaskan bahwa dalam kasus tertentu, hakim dimungkinkan melakukan diskresi.[55] Karena tidak semua hukum mengatur secara tegas segala sesuatu yang diperintahkan atau pun dilarang.
Misalnya hakim melakukan diskresi ketika berhadapan dengan kasus pencurian tiga kakao oleh Minah, warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.[56] Polisi menyimpulkan bahwa perbuatan Minah memenuhi unsur Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Minah sempat menjalani tahanan rumah sampai kasusnya diadili di Pengadilan Negeri Purwokerto. Jaksa Penuntut Umum menuntut Majelis Hakim supaya Minah dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan. Dalam persidangan, Minah terbukti melakukan pencurian dan hakim mempertimbangkan hal-hal meringankan yang tidak bersifat yuridis, tetapi bersifat sosiologis dan psikologis. Terdakwa berusia lanjut dan miskin, sehingga tiga buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bibit. Kasus tersebut sebenarnya tidak layak untuk disidangkan. Polisi dengan wewenang diskresi dapat menghentikan kasus tersebut supaya tidak sampai ke pengadilan.
5. Penutup
Menurut Hart, hukum merupakan kesatuan peraturan primer dan sekunder. Peraturan primer mempunyai tipe primer, di mana setiap orang harus melakukan atau menahan diri dari tindakan tertentu. Sedangkan peraturan sekuder mempunyai tipe sekunder, di mana peraturan primer ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan menunjukkan fakta pelanggaran secara pasti. Oleh karena itu, peraturan sekunder dimaksudkan untuk mengatur peraturan primer secara tegas dan pasti. Dengan demikian, peraturan primer dan sekunder saling berkaitan, membentuk sistem positivisme hukum.[57]
Sistem hukum yang menjadi kesepakatan bersama mempunyai peranan penting, pegangan bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, bahasa, dan budaya. Melalui hukum yang disepakati dan diberlakukan, setiap orang tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan hukum. Meskipun tindakan tersebut sesuai keyakinan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, dalam hidup bersama, hukum menjadi “aturan main”.
Hukum yang tidak ditegakkan aparat penegak hukum menjadi aturan belaka. Terkait dengan hal ini, aparat penegak hukum harus menegakkan dan menjalankan hukum yang menjadi kesepakatan bersama. Selain itu, aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan cerdas serta jernih dalam mengambil keputusan. Karena aparat penegak hukum mempunyai wewenang menegakkan keadilan di tengah masyarakat majemuk, seperti bangsa Indonesia. Akhirnya, aparat penegak hukum tidak boleh ragu dalam menegakkan hukum. Tidak boleh takut dengan kelompok garis keras yang bersikap intoleran. Berdasarkan hukum yang menjadi kesepakatan bersama, aparat penegak hukum mempunyai peranan penting demi tegaknya supremasi hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka
Arna, Antarini. “Hukum, Daya Paksa dan Moral: Sebuah Analisis Tentang Konsep Hukum Menurut Hart.” Driyarkara, Thn. XXXII, No. 1/2011, 155-163.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Bello, Petrus C.K.L. Hukum dan Moralitas: Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga, 2012.
————————. “Hukum Sebagai Interpretasi.” Diskursus, Vol. 11, No.1, April 2012, 61-78.
————————. Ideologi Hukum: Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum. Bogor: Insan Merdeka, 2013.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, Sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press, 1994.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Husnan, Khudori. “Menegakkan Prinsip, Mengatasi Kasus-Kasus Sulit: Dworkin Tentang Hakikat Pembuatan Putusan Yudisial.” Driyarkara, Thn. XXXIII, No. 3/2012, 67-76.
Manullang, E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Sitanggang, Berman. “Hukum yang Adil dalam Kemajemukan Budaya Indonesia: Ditinjau dari Filsafat Hukum H.L.A. Hart.” Driyarkara, Thn. XXXIII, No. 3/2012, 23-40.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Tobing, Jacob. “Menafsirkan UUD 1945.” KOMPAS, 22 Oktober 2018, 6.
Ujan, Andre Ata. Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Widyarsono, Antonius. “Konsep Hukum Sebagai Aturan.” Driyarkara, Thn. XXXIII, No. 3/2012, 3-22.
—————————–. Pemisahan Hukum dan Moralitas: Kritik Positivisme Hukum H.L.A. Hart atas Bahaya Penyatuan Hukum dan Moralitas. Jakarta: STF Driyarkara, 2018.
[1] Hukum merupakan sistem norma yang mengatur kehidupan masyarakat. Bersama norma sopan-santun dan moral, norma hukum termasuk kelompok norma umum kelakuan manusia. Lih. Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 82.
[2] Demokrasi seharusnya mengatasi sentimentalitas. Demokrasi modern tumbuh dari rasionalitas dan programnya merupakan rasionalisasi kekuasaan. Kekuasaan dikontrol publik, sehingga kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas terwujud dalam kehidupan bersama secara politis. Salah satu sukses demokratisasi yaitu pertumbuhan penalaran publik dan berkurangnya sentimentalitas. Misalnya pemakaian isu suku, ras, dan agama dalam proses demokratis. Rasionalitas mengendap dalam berbagai macam capaian politik modern. Misalnya dalam prosedur demokratis, aturan hukum, birokrasi, mekanisme elektoral, kontrol publik atas transparansi kebijakan, dan deliberasi politis yang dilangsungkan dalam ruang publik. Lih. F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari Bangsa Setan-Setan, Radikalisme Agama, Sampai Post-Sekularisme (Yogyakarta: Kanisius, 2018), 13-14.
[3] Pancasila sebagaimana dikemukakan Soekarno, digali dalam kebudayaan asli bangsa Indonesia. Sejak awal dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjelaskan bahwa pandangan hidup yang dia kemukakan berasal dari bangsa Indonesia. Lih. Petrus C.K.L. Bello, Ideologi Hukum: Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum (Bogor: Insan merdeka, 2013), 100.
[4] UUD 1945 sebagai hukum tertinggi harus dipatuhi semua lembaga negara, organ pemerintahan, dan seluruh rakyat. Lih. Jacob Tobing, “Menafsirkan UUD 1945”, KOMPAS (22 Oktober 2018), 6.
[5] Hart, dalam The Concept of Law, menegaskan bahwa tugas utama filsafat hukum yaitu menyediakan analisis atas konsep hukum dan atas konsep yang secara esensial berkaitan erat dengan pemahaman kita tentang hukum dan sistem hukum. Hart percaya bahwa suatu analisis konseptual yang seksama atas model analisis yang menekankan konsep dan makna dapat menempatkan dasar intelektual bagi suatu pemeriksaan kritis dan rasional atas hukum yang bebas dari mitos moralitas. Lih. Petrus C.K.L. Bello, “Hukum Sebagai Interpretasi”, Diskursus Vol. 11 No. 1 (April 2012), 63-64.
[6] Pembahasan pada bagian ini disarikan dan diolah dari tiga sumber. Pertama, Antonius Widyarsono, “Konsep Hukum Sebagai Aturan”, Driyarkara Thn. XXXIII, No. 3 (2012), 4-5. Kedua, Antonius Widyarsono, Pemisahan Hukum dan Moralitas: Kritik Positivisme Hukum H.L.A. Hart atas Bahaya Penyatuan Hukum dan Moralitas (Jakarta: STF Driyarkara, 2018), 8-11. Ketiga, Petrus C.K.L. Bello, Hukum dan Moralitas: Tinjauan Filsafat Hukum (Jakarta: Erlangga, 2012), 1-2.
[7] Dengan mengintegrasikan hermeneutika dan analisis bahasa ke dalam metode analisisnya, Hart membangun struktur hukum dari dalam hukum itu sendiri, yaitu dari persepektif orang yang mengalami hukum. Dengan pendekatan internal, Hart membuktikan bahwa hukum tidak selalu merupakan perintah yang mengandung daya paksa dan berbasis sangsi. Lih. Antarini Arna, “Hukum, Daya Paksa dan Moral: Sebuah Analisis Tentang Konsep Hukum Menurut Hart”, Driyarkara Thn. XXXII, No. 1 (2011), 155.
[8] Hart adalah salah satu pemikir aliran neo-kantian. Lih. E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), 70-71.
[9] Kekhasan filsafat hukum Dworkin yaitu berupaya mendekati problematika filsafat hukum atau lebih spesifik filsafat ajudikasi dari sudut pandang internal yang mencakup para partisipannya. Lih. Khudori Husnan, “Menegakkan Prinsip, Mengatasi Kasus-Kasus Sulit: Dworkin Tentang Hakikat Pembuatan Putusan Yudisial”, Driyarkara Thn. XXXIII, No. 3 (2012), 74.
[10] John Austin adalah murid Bentham sekaligus kawan dan pengikut James Mill dan putranya yang masyur John Stuart Mill. Karya utama John Austin yaitu The Province of Jurisprudence Determined diterbitkan pada tahun 1832, tahun ketika Bentham meninggal. Lih. Petrus C.K.L. Bello, Ideologi Hukum: …, 16.
[11] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 75.
[12] H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1994), 79.
[13] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 79.
[14] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 80.
[15] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 81.
[16] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 81.
[17] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 82.
[18] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 82.
[19] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 82.
[20] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 83.
[21] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 83.
[22] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 83.
[23] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 83.
[24] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 84.
[25] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 84.
[26] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 85.
[27] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 89.
[28] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 90.
[29] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 90.
[30] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 90.
[31] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 90-91.
[32] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 91.
[33] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 92.
[34] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 92.
[35] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 92.
[36] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 93.
[37] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 93.
[38] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 94.
[39] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 94.
[40] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 95.
[41] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 96.
[42] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 97.
[43] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 94.
[44] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 94.
[45] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 98.
[46] Positivisme merupakan istilah untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, pengetahuan ilmiah. Positivisme berupaya menjabarkan pernyataan faktual pada landasan pencerapan (sensasi). Dengan kata lain, positivisme merupakan aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam (empiris) sebagai sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif studi filosofis atau metafisik. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 858.
[47] Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti, hukum dapat menjalankan fungsinya. Maka, kepastian dan keadilan bukanlah sekadar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekadar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum. Lih. Franz Magnis Suseno, Etika Politik: …, 97.
[48] Dalam negara hukum dan demokratis, UUD dibentuk secara demokratis dan menjadi hukum tertinggi, memuat prinsip konstitusionalisme yang lengkap. Sekali terbentuk, UUD “terbang sendiri” dengan aturan dan ketentuan yang melekat pada dirinya, tidak tunduk pada kemauan pembentuk, baik MPR dan konstituente. Lih. Jacob Tobing, “Menafsirkan UUD 1945”, 6.
[49] Berman Sitanggang, “Hukum yang Adil dalam Kemajemukan Budaya Indonesia: Ditinjau dari Filsafat Hukum H.L.A. Hart”, Driyarkara Thn. XXXIII No. 3 (2012), 25.
[50] Sisi kelam agama terkait pemakaiannya sebagai alat kekuasaan. Sebagian orang yang digerakkan kepentingan kekuasaan memakai agama untuk kepentingan tersebut menjadi sumber intoleransi dan brutalitas, menggerakkan naluri tribalistis manusia yang dapat dengan sengaja dimunculkan di dalam demokrasi modern. Agama menjadi tidak lebih daripada alat, seperti alat politis lainnya. Lih. F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas …”, 22-23.
[51] Berman Sitanggang, “Hukum yang Adil dalam Kemajemukan Budaya Indonesia …”, 33.
[52] Terkait penyerangan sekelompok masa terhadap warga Ahmadiyah, gagasan Hart tentang hukum sangat relevan. Hukum harus berlaku untuk setiap orang, termasuk yang membuat dan mengesahkan. Dengan demikian, setiap orang yang melanggar hukum, dalam hal ini sekelompok masa yang menyerang warga Ahmadiyah harus ditindak tegas. Aparat kepolisian tidak boleh “pilih kasih” dalam memberlakukan hukum. Karena tindakan “pilih kasih” menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok yang lain.
[53] Berman Sitanggang, “Hukum yang Adil dalam Kemajemukan Budaya Indonesia …”, 38.
[54] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Gentha Publishing, 2009), 71.
[55] Menurut Hart, “diskresi” adalah tindakan hakim dalam mengambil keputusan di dalam pengadilan tanpa mengacu pada aturan yang sudah ada, keputusan diambil berdasarkan pertimbangan lain (pertimbangan moral). Ketidakpastian aturan menjadikan diskresi sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam pengadilan. Tindakan tersebut, menurut Hart, diharapkan tidak menjadi terlalu kaku dan represif seperti sistem hukum formalistik. Lih. Antonius Widyarsono, “Konsep Hukum Sebagai Aturan”, 17.
[56] Berman Sitanggang, “Hukum yang Adil dalam Kemajemukan Budaya Indonesia …”, 36.
[57] Hukum positif (lex humana positiva) merupakan hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa, tata hukum negara. Hukum tersebut pada zaman modern dinilai sebagai hukum sejati. Lih. Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 28.