Salah satu persoalan ekologis yang diangkat oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ adalah perubahan iklim (LS art. 18-21). Persoalan ekologis yang berdampak secara global ini terjadi karena peningkatan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia yang melepaskan karbodioksida, metana, dan nitrogen oksida ke atmosfer. Salah satu aktivitas tersebut adalah deforestasi atau penggudulan hutan.
Kerakusan manusia atas alam dituding telah menjadi penyebab terjadinya deforestasi secara masif. Keserakahan itu kemudian menjadi semakin ganas ketika dikendalikan oleh monster bisnis korporasi-korporasi besar. Kepentingan bisnis yang berorientasi pada keuntungan ekonomi mengabaikan dampak kerusakan hutan. Fakta menunjukkan, kekuatan kapitalis telah “menyulap” berjuta-juta hektar hutan di Pegunungan Meratus menjadi lahan industri kayu, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan.
Tulisan singkat ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, penulis hendak menunjukkan adanya relasi kuat antara penebangan hutan dengan perubahan iklim. Kedua, penulis menunjukkan paham antoposentrisme modern yang menjadi “biang kerok” dari penebangan hutan secara masif. Paham ini menegaskan bahwa alam dipandang semata-mata sebagai instrument untuk melayani semua kebutuhan manusia. Paham ini kemudian menjadi semakin ‘barbar’ ketika digiring oleh kekuatan bisnis kaum kapitalis. Mereka bekerja menebang hutan melalui korporasi-korporasi besar sehingga kekuatannya sulit dilawan. Apalagi mereka bersekutu dengan pemerintah yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata.
Ketiga, pengalaman hidup bersama masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan mendorong penulis menjelaskan kearifan lokal masyarakat Meratus dalam berelasi dengan hutan. Cara pandang masyarakat Meratus yang menganggap hutan sebagai ibu menjadi contoh unggul bagi kita dalam merawat alam ciptaan ini. Mereka menganggap hutan sebagai ibu pemberi kehidupan yang patut dijaga dan diwariskan kepada anak cucu.
Deforestasi: Hilangnya Penyerap Karbondioksida
Setiap hari bumi kita ini disinari cahaya matahari. Radiasi yang dipancarkan matahari melewati lapisan atmosfer dan akhirnya sampai ke bumi. Radiasi yang masuk ke bumi berbentuk gelombang pendek, menembus atmosfer, kemudian berubah menjadi gelombang panjang ketika sudah mencapai bumi. Begitu mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Akan tetapi, sangat disayangkan ternyata tidak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi itu dapat menembus atmosfer menuju luar angkasa. Hal itu terjadi karena sebagian gelombang tersebut dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer. Gas-gas ini sering disebut gas rumah kaca (GRK).[1]
Dampak dari penyerapan gas rumah kaca ini ialah terperangkapnya radiasi matahari di atmosfer. Lantaran peristiwa ini terjadi berulang-ulang maka kemudian terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer. Akumulasi inilah yang kemudian menyebabkan kenaikan suhu di permukaan. Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca.[2]
Gas rumah kaca yang menyerap radiasi matahari di atmoster sebagian besar merupakan hasil aktivitas manusia. Penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pada kendaraan bermotor dan alat-alat elektronik berkontribusi menghasilkan gas tersebut. Selain itu, penebangan pohon, penggundulan dan kebakaran hutan juga merupakan sumber emisi gas rumah kaca.[3]
Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi mengakibatkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia. Peristiwa inilah yang kita kenal sebagai perubahan iklim.[4]
Lantas, apa hubungan kerusakan hutan dengan perubahan iklim? Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi gas rumah kaca yang biasa juga disebut emisi karbon. Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis gas rumah kaca, menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Sebab, pada dasarnya hutan dalam biomasanya menyimpan sekitar 289 gigaton karbon.[5]
Hutan mengambil karbon yang ada di atmosfer dan menyimpannya. Sebaliknya, hutan akan menjadi sumber emisi karbon dan penyebab perubahan iklim apabila ditebang. Penebangan hutan dalam jumlah yang sangat besar menyebabkan perubahan yang besar pada sistem iklim. Mempertahankan hutan secara utuh mampu mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer dan juga memperlambat efek perubahan iklim. Hal itu berarti bahwa hutan Indonesia yang cukup luas, yaknisekitar 144 juta ha (tahun 2002), dapat menyerap emisi karbon dalam jumlah besar sehingga laju pemanasan global dan perubahan iklim dapat dihambat.[6]
Penyerapan emisi karbon itu tidak akan terjadi apabila hutan ditebang tiada henti. Setiap tahun deforestasi melepaskan sekitar 4.4 gigaton karbondioksida (CO2) ke atmosfer.[7] Jika hutan ditebang secara semena-mena, bukan hanya fungsi penyerapan hutan yang akan hilang tetapi juga karbon yang telah disimpan di dalam tanah dan tumbuhan dilepaskan ke atmosfer lagi. Tentu saja hal ini memperparah perubahan iklim.
Deforestasi dan Monster Bisnis
Sumber utama persoalan lingkungan hidup adalah antroposentrisme modern. Paham ini menegaskan segala sesuatu yang ada di dunia ini dipakai untuk melayani kebutuhan manusia. Oleh karena itu, sesuatu dianggap bernilai jika memiliki kegunaan. Hutan bernilai jika secara ekonomis membawa manfaat bagi manusia.
Dengan perspektif demikian manusia memandang alam sebagai obyek yang dapat dimanipulasi, secara serakah dan destruktif mengeksploitasinya. Alam dilihat sebagai sarana pemuas kebutuhan manusia yang harus dipakai semaksimal mungkin. Perkembangan teknologi memungkinkan eksplotasi alam secara masif dan melampaui batas-batas kodratiah alam. Tindakan itu menjadikan manusia sebagai perusak, bukan penjaga dan pelindung bumi.
Cara berpikir yang mengagungkan manusia kemudian diboncengi oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme menganjurkan supaya manusia untuk mengakumulasi modal dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sumber daya alam adalah sarana untuk mendapatkan modal yang banyak tersebut. Oleh karena itu, kapitalisme mendorong kita untuk mengeruk kekayaanalam sebanyak-banyaknya demi mendapatkan keuntungan ekonomi secara maksimal. Orientasi kapitalisme dalam mendulang keuntungan secara maksimal sama sekali tidak mempertimbangkan dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan.
Bagi kaum kapitalis, nilai ekonomis hutan lebih penting daripada nilai ekologisnya.[8] Hutan ditebang demi pertanian modern yang menghasilkan keuntungan besar. Oleh karena itu, dengan kekuatan korporasi raksasa mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan hutan luas. Dengan menebang hutan luas, mereka mendapatkan kayu dalam jumlah yang sangat banyak lalu dijual. Keuntungan ekonomisnya berlipat ganda.
Pola demikian sangat nyata terjadi di sekitar pegunungan Meratus, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang dipenuhi dengan perusahaan kelapa sawit dan pertambangan. Di sekitar pegunungan Meratus terdapat banyak sekali perusahaan sawit, misalnya PT. Alamraya Kencana Mas, PT. Sinarmas, PT. Minamas, PT. Skip Senakin, dan kebun sawit masyarakat pendatang. Korporasi-korporasi ini telah menelanjangi sebagian daerah pegunungan Meratus dan menyulapnya menjadi kebun sawit yang sangat luas.
Kelapa sawit menyisakan persoalan ekologis yang besar. Penanaman sawit harus bersifat monokultur, bebas dari tanaman lain. Oleh karena itu, kalau menanam sawit hutan harus digundulkan. Luas hutan yang ditebang pun bisa mencapai berjuta-juta hektar. Mengerikan lagi, tumbuhan kelapa sawit menyedot air dalam jumlah yang sangat banyak sehingga menyebabkan kekeringan.
Berhadapan dengan masalah ekologis ini Pemerintah seperti tidak berdaya. Justru, mereka sangat mendukung kehadiran perusahaan-perusahaan yang menumbangkan hutan berjuta-juta hektar dengan alasan meningkatkan pendapatan daerah.[9] Pemerintah tidak memikirkan dampak ekologis. Persekongkolan kaum kapitalis dan pemerintah telah mendatangkan musibah ekologis. Dukungan pemerintah atas penggudulan hutan Meratus sudah secara dirancang dalam skema pembangunan nasional sejak zaman orde baru. Bagi pemerintah hutan adalah uang.
Sejarah menunjukkan intensi pemerintah yang sejak awal menginginkan penggundulan hutan Meratus. Penggundulan hutan dimulai sejak zaman orde baru dengan penggalakkan ekspor kayu dari pegunungan Meratus. Menurut perspektif industri penebangan hutan dan pejabat pemerintah, hutan Meratus memiliki nilai komersial karena memenuhi kebutuhan pasar kayu tripleks dunia.[10]
Pada tahun 1970 hingga 1990-an terdapat perusahaan dari Korea yang mengantongi hak pengusahaan hutan (HPH) di daerah Meratus Timur Kotabaru.[11] Perusahaan orang asing ini telah mengambil kayu-kayu unggul kalimantan, seperti kayu ulin dalam jumlah yang sangat besar. Hutan yang tersisa sekarang adalah hutan sekunder setelah semua kayu berkualitas diambil orang asing. Selain itu, perusahaan tambang asing dari Swiss yang sampai sekarang masih beroperasi, yaitu PT Kalimantan Energi Lestari (KEL) telah melenyapkan beratus-ratus hektar hutan masyarakat Dayak. Perusahaan ini dari ke hari menggundulkan hutan demi memperluas ekspansi pertambangan.
Dampak yang dirasakan sejauh ini dari tumbangnya hutan Meratus adalah suhu udara semakin panas. Masyarakat setempat mengakui bahwa suhu udara sekarang jauh lebih panas jika dibandingkan dengan dulu. Dampak lainnya juga ialah periode musim hujan dan musim kemarau menjadi semakin tidak jelas.
Perubahan ini menyusahkan petani Dayak yang bekerja sesuai dengan pergantian musim. Mereka mengalami gagal panen lantaran curah hujan menurun dan sumber air semakin berkurang karena disedot berjuta-juta pohon sawit. Keadaan ini menimbulkan kemiskinan bagi masyarakat Dayak yang menggantungkan hidup pada alam.
Hutan Sebagai Ibu
Masyarakat adat Dayak Meratus memiliki rasa hormat luar biasa pada alam. Mereka meyakini bahwa alam dihuni dan dijaga oleh arwah leluhur. Bagi masyarakat yang hidup dalam rahim hutan ini, semua elemen kehidupan, seperti air, api, tanah, udara, kayu, besi, dan batu dikuasai oleh dewa. Oleh karena itu, setiap usaha yang berhubungan dengan menggunaan elemen-elemen tersebut harus dilakukan dengan penghormatan dan permintaan izin terlebih dahulu kepada dewa.
Masyarakat yang dianggap primitif ini juga sama sekali tidak memiliki orientasi materialisme. Mereka mengambil sumber daya alam secukupnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan penggunaan. Mereka meyakini bahwa kebutuhan mereka sudah dipenuhi oleh alam. Dalam konteks kesadaran seperti itulah mereka memandang hutan sebagai ibu yang melahirkan dan memberikan kehidupan.[12] Hutan memberi mereka makanan, obat-obatan, dan segala kebutuhan mereka. Mustahil memikiran kehidupan tanpa hutan. Hutan menjadi landasan ideologis, sosial, dan penunjang perekonomian mereka.[13]
Kedudukan hutan sebagai napas kehidupan masyarakat Dayak Meratus berbanding lurus dengan kesadaran mereka dalam menjaga dan merawat hutan. Untuk merawat komitmen ekologis, mereka mengelola hutan berdasarkan hukum adat. Hukum adat mengatur supaya berladang hanya boleh dilakukan di hutan kelola saja. Mereka tidak diperbolehkan menebang hutan di wilayah yang keramat, sebab jika hutan hilang maka dengan sendirinya kehidupan juga akan hilang.
Masyarakat yang mayoritas memeluk kepercayaan Kaharingan ini meyakini bahwa Duwata atau Jubata (Tuhan) akan mengutuk mereka yang menghancurkan hutan. Setiap bentuk pelanggaran dalam penebangan hutan akan diberi sanksi. Misalnya, menebang hutan keramat bisa dituntut hak waris dan ketua adat.[14]
Orang Meratus menggunakan hutan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Mereka menyukai keanekaragamannya dan mempelajari variasi-variasinya. Penggunaan sumber daya hutan dan bentuk-bentuk pengetahuan ekologi lokal mereka jauh lebih rinci dan kompleks dibandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan ekologi pemerintah atau perusahaan penebangan kayu.[15]
Ketika membuka lahan dengan membakar, orang Meratus tidak menebang semua pohon. Biasanya mereka mempertahankan dan melindungi pohon-pohon yang berguna. Pohon-pohon ini tetap terawat apabila ladang tumbuh kembali menjadi hutan. Sebagian pohon berasal dari tunas-tunas yang tumbuh di tunggul-tunggul lalu dibiarkan berkembang di lahan tebang bakar. Pohon-pohonan lain ikut tumbuh subur di celah-celah sempit lahan tebang-bakar tanpa campur tangan manusia. Selanjutnya tanpa membersihkan lahan mereka memengaruhi komposisi hutan. Mereka membersihkan tanaman yang merambat pertumbuhan pohon yang ada. Beberapa tanaman dipanen dengan cara sedemikian rupa sehingga tetap memberi peluang untuk pertumbuhan kembali.[16]
Secara turun-temurun masyarakat Dayak Meratus ini melakukan kegiatan berladang dengan pola gilir-balik. Artinya, pahumaan (ladang) digunakan maksimal dua tahun dan setelahnya diistirahatkan. Hal itu dimaksudkan selain untuk mengembalikan kesuburan tanah, tetapi juga memberi kesempatan kepada tanah untuk beristirahat. Lahan yang ditidurkan ini kemudian akan digunakan lagi minimal setelah enam tahun ditinggalkan.[17]
Masyarakat Meratus, membagi lingkungan mereka menjadi enam bagian yang terdiri dari, perkampungan, balukar anum (belukar muda, 1–7 tahun), jurungan (hutan muda, 7–12 tahun), pahumaan (lahan perladangan), perkebunan, dan daerah kayuan atau hutan primer yang harus dilindungi. Daerah kayuan tidak boleh ditebang karena diyakini bisa mendatangkan kutukan dari dewa.[18]
Kearifan lokal masyrakat Meratus di atas dalam merawat hutan kiranya menjadi contoh unggul bagi kita dalam berelasi dengan alam. Cara pandang mereka berhadapan dengan hutan tidak memakai kacamata eksploitatif tetapi perspektif merawat. Perspektif ekologis masyarakat Dayak Meratus yang hidup dalam kesederhanaan itu hemat saya sangat relevan umat di manusia di seluruh dunia. Bagi kita, hutan adalah kehidupan, sebab ia adalah “paru-paru” dunia. Manusia tanpa paru-paru pasti mati. Demikian juga, dunia tanpa hutan adalah kematian. Tanda-tanda kematian karena rusaknya paru-paru dunia itu kini sudah mulai terasa dengan adanya fenomena perubahan iklim.
Kearifan lokal masyarakat Dayak Meratus berkontribusi dalam “menyembuhkan” luka pada paru-paru dunia itu. Oleh karena itu, jika umat manusia ingin bersama-sama memulihkan hutan sebagai paru-paru dunia maka memang harus melakukan pertobatan ekologis yang dimulai dari merubah cara berpikir tentang alam. Alam bukan obyek yang bisa dimanipulasi dan dieksploitasi tanpa batas tetapi merupakan entitas utama penyokong segala bentuk kehidupan yang ada di dalamnya, termasuk manusia.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kearifan lokal Meratus dalam merawat hutan memberikan kontribusi untuk menekan laju pergerakan perubahan iklim. Hutan menjadi penyerap karbondioksida dari atmoster dan mengubahnya menjadi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh sekalian makhluk hidup, termasuk manusia. Oleh karena itu, kesadaran dan tindakan masyarakat Meratus merawat hutan dengan bijak menjadi contoh unggul dalam melestarikan alam.
Untuk memiliki keutamaan ekologis seperti orang Meratus kita mesti melakukan pertobatan ekologis yang bermula dari perubahan paradigma atau cara pandang terhadap alam. Paradigma ekologis Meratus mengajak kita untuk melakukan ‘tiga M’. Pertama, melepaskan konsep antroposentrisme barbar yang melihat alam sebagai objek pemuas kebutuhan manusia. Kedua, meninggalkan kaca mata eksploitatif yang memandang alam sebagai lahan bisnis. Ketiga, menunggalkan cara hidup yang ramah terhadap lingkungan. Penulis meyakini kalau ketiga cara tadi (tiga M) kita aplikasikan bersama-sama laju perubahan iklim bisa ditekan.
(Wilfridus Papin, OFM)
[1] Armeli Meiviana, dkk., Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2004), 2.
[2] Ibid.
[3] Bum Armeli Meiviana, dkk., Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, 2.
[4] Armeli Meiviana, dkk., Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, 3.
[5]Joyeeta Gupta, Nicolien Van der Grijp, dan Onno Kuik, (ed), Climate Change, Forests, and REDD: Lessons for Institutional Design, 7.
[6] Armeli Meiviana, dkk., Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, 10.
[7] Joyeeta Gupta, Nicolien Van der Grijp, dan Onno Kuik, (ed), Climate Change, Forests, and REDD: Lessons for Institutional Design, 9.
[8] Joyeeta Gupta, Nicolien Van der Grijp, dan Onno Kuik, (ed), Climate Change, Forests, and REDD: Lessons for Institutional Design, 9.
[9] Devi Danayanti, MERATUS:Nyanyi Sunyi di Pegunungan Borneo (Yogyakarta: Lamalera, 2016), 135.
[10] Anna Lowenhaupt Tsing, In The Realm Of The Diamond Queen (New Jersey: Princeton University Press, 1993), 166.
[11] Devi Danayanti, MERATUS:Nyanyi Sunyi di Pegunungan Borneo, 130.
[12] Andy Syahruji dan Balai Kiyu, “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus: Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Dayak Kiyu,” 121. Diunduh dari https://www.downtoearth-indonesia.org/sites/downtoearth-indonesia.org/files/R-5-Meratus.pdf, pada 18 Mei 2020.
[13] Yasir Al Fatah dan Betty Tio, “Menggali Kearifan di Kaki Pegunungan Meratus,” INTIP HUTAN, Februari, 2004, 4. Diunduh dari http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2004/02/Menggali.pdf, pada 18 Mei 2020.
[14] Andy Syahruji dan Balai Kiyu, “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus: Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Dayak Kiyu’,” 129. Diunduh dari https://www.downtoearth-indonesia.org/sites/downtoearth-indonesia.org/files/R-5-Meratus.pdf, diunduh pada n18 Mei 2020.
[15] Anna Lowenhaupt Tsing, In The Realm Of The Diamond Queen, 167.
[16] Anna Lowenhaupt Tsing, In The Realm Of The Diamond Queen, , 168.
[17] Andy Syahruji, Balai Kiyu, “Masyarakat Adat Dayak Kiyu Meratus: Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Dayak Kiyu,”, 124.
[18] Ibid.