Tulisan pertama
Demi urusan perut, kenikmatan dan kemakmuran, orang mudah mengalami disorientasi. Konteks pernyataan ini adalah situasi penindasan. Perlawanan dan perjuangan mencapai visi kebebasan bisa dilemahkan hanya dengan tiga tawaran itu. Pengalaman pahit ditindas akan terlupakan begitu saja jika kenikmatan sudah di depan mata. Tetapi bisa saja kenikmatan itu semu, instan, dan dangkal. Sejarah peradaban sedikit menunjukkan sikap lupa itu. Bangsa Israel yang digiring keluar dari penindasan Mesir menuju tanah terjanji dalam proyek pembebasan di bawah pimpinan Musa mengalami disorientasi serupa. Kemerdekaan hanya dimaknai sebagai urusan ketersediaan makanan dan minuman. Di sinilah letak disorientasi, ketika kemerdekaan hanya dimaknai dengan urusan makan, lupa pada kondisi-kondisi yang memungkinkan kemerdekaan sejati bisa hadir.

 Di Mara dan Elim, bangsa Israel bersungut-sungut. “Apakah yang akan kami minum? (Kel 15:24) “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan Ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh Jemaah ini dengan kelaparan” (Kel 16:3)

Dalam situasi perut meronta mereka menghidupkan imajinasi “kuali berisi daging”. Jalan menuju kebebasan masih jauh jauh dan dikelilingi berbagai kesulitan. Rupanya mereka tidak tahan. Mereka bermimpi untuk kembali ke Mesir, pada kuali penuh daging, lengkap dengan penderitaan penindasan setelah urusan kuali selesai. Mereka bermimpi kembali menikmati ketidakadilan yang lezat.

Kisah dalam kitab Keluaran ini setali tiga uang dengan prahara di Lengkololok. Janji-janji kesejahteraan dari pihak perusahaan bisa jadi membuat orang Lengkololok dan Luwuk lupa akan ketidakadilan beberapa tahun silam akibat kehadiran industri ekstraktf (tambang mangan) di wilayahnya. Ingatan akan kerusakan lingkungan sosial-ekologi dan budaya mungkin tidak begitu penting untuk keputusan saat ini. Apakah dulu hidup terasa lebih makmur bersama tambang? Sangat mungkin, sehingga warga ingin mengeksplorasi lagi kenangan itu, menyambut datangnya tambang batu gamping dan perusahan semen. Kegenitan tambang sepertinya tetap menarik bagi mereka.

Akan tetapi, masa lalu yang terpatri dalam ingatan menjadi kenangan yang tetap terawat, bukan hanya manisnya tetapi kepahitannya. Ingatan akan ketidakadilan akan tetap terawat dan menjadi narasi yang terus diceritakan. Memori ketidakadilan tersebut menjadi alasan mendasar bagi beberapa orang dalam menolak kehadiran kembali tambang. Bonefasius Yudent (66), satu dari dua kepala keluarga di Lengkololok sejak awal menolak rencana eksplorasi tambang batu gamping dan pabrik semen. Bone pernah mengabdi selama lima belas tahun sebagai satpam di perusahaan tambang. Hingga kini, ketika ditanya apakah keadaannya lebih makmur, ia menggeleng!

Dulu Bone begitu yakin pada janji kesejahteraan rakyat melalui kehadiran perusahaan tambang. “Saya dulu setuju (dukung tambang) karena pemerintah sudah setuju.” Apa yang dipropagandakan baik oleh pemerintah diterimanya juga sebagai kebaikan, jalan menuju kesejahteraan. Kali ini Bone mengambil sikap berbeda dengan pemerintah. Pengalaman mengajarkan bahwa niat tidak selalu tulus. Pemerintah bisa saja menipu rakyatnya sendiri. Pemerintah tidak selalu layak dipercaya karena nuraninya bisa ditelikung oleh kekuatan uang!

Berbeda pendapat dan memori ketidakadilan lalu mengantar Bone pada jalan sunyi penolakan ketika banyak orang beramai-ramai menyambut kembali dewa kemakmuran dengan baju barunya ‘tambang batu gamping dan pabrik semen’. Meskipun lebih dari 80 kepala keluarga di Lingko Lolok saat ini setuju terhadap investasi tambang batu gamping dan pabrik semen, Bone tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau bernegosiasi. Tambang dalam pengalamannya tidak menyejahterakan. Sebaliknya, malah sarat akan ketidakadilan.

Isfridus Sota, alumni pekerja tambang senada dengan Bone. Sikap yang diambil juga serupa. Isfridus tulus ketika menyatakan penolakannya terhadap kehadiran kembali perusahaan tambang. “Toe kanang pikir weki aku. Aku jaga keseluruhan. Toe pikir pribadi kanang.” Isfridus tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Ia menempatkan diri dalam pemikiran besar dan berkelanjutan tentang penolakan tambang.

Tersirat adanya masa lalu dengan cara pandang parsial nan egois. Isfridus di masa lalu ikut menikmati remah-remah tambang. Ia pernah bersoal-jawab dengan Bupati dalam salah satu pertemuan di Luwuk. Kini ia melampaui cara berpikir egois. Ia paham cara berpikir demikian membawa kehancuran untuk dirinya sendiri dan anak cucu kelak. Selain itu, jejak kerusakan akibat tambang nyata di kebun miliknya di lingko Bohor-Wani. Lubang-lubang tambang ditinggalkan tanpa reklamasi sebagaimana diamanatkan undang-undang. Pencemaran udara yang berakibat pada infeksi saluran pernafasan, kematian buruh tambang, pencemaran air, tanah pertanian, ladang sayur, tidak bisa diabaikan hanya oleh janji-janji baru. Tambang dan wataknya yang menghancurkan tidak boleh hadir kembali di Lengkololok.

Isfridus melihat kehadiran tambang sebagai singa buas yang mengancam dirinya dan kampung sebagai warisan leluhur. Ide untuk relokasi kampung Lengkololok tidak bisa diterima akal sehat. Menerima eksplorasi tambang batu gamping dan pabrik semen baginya tidak selaras dengan tuntutan etis-kultural untuk menjaga kampung sebagai warisan leluhur. Kampung pertama-tama dialami sebagai sesuatu yang diterima, terberikan, warisan leluhur. Oleh karena itu, kampung harus dijaga dan dirawat serta diteruskan bagi anak cucu. Tidak mungkin bagi Isfridus menjadikan anak cucunya kelak sebagai orang asing dan pengungsi.

Betapa penting menjaga kampung sebagai warisan leluhur! Bagi Bone itu adalah perkara hidup dan mati. Ia mengatakan “Kalau saya buat dosa, Tuhan Allah (yang berbelas kasih) masih bisa memaafkan! Tetapi nenek moyang saya tidak bisa memaafkan (kalau saya menggadaikan kampung)! Saya takut dengan leluhur!”

Di Luwuk, Konstantinus Esa mengisahkan kerugian yang dialaminya akibat tambang. Longsoran material galian tambang berupa batu-batu dan pasir pernah menumpuk di lahan miliknya. Saat itu, perusahaan membangun tanggul untuk menahan pasir dan batu yang terbawa banjir dari penggalian di lingko Bohor Wani. Perusahaan hanya memberinya janji ganti rugi tanpa realisasi nyata.

Inilah suara-suara warga yang merawat ingatan akan ketidakadilan dan secara tegas menolak kehadiran kembali tambang. Mereka tidak mau bernegosiasi ataupun membuka diri untuk ditelikung uang. Mereka tampaknya jauh dari sikap pragmatis: menunggu waktu untuk akhirnya juga mendukung. Di antaranya memang pernah menerima tambang tetapi akhirnya berputar balik ketika menyadari dampak buruk tambang. Mereka tetap optimis masa depan yang lebih baik tanpa tambang.

Penolakan mereka terhadap tambang batu gamping dan pabrik semen saat ini itu bukan suara lantang yang berjarak dari realitas dan pengalaman. Mereka berbicara tentang pengalaman penderitaan dan ketidakadilan yang dialami. Mereka tidak terbuai oleh kegenitan dan rayuan tambang. Mereka juga tidak mau menjadi pelaku masokisme tambang, menikmati berulangnya disakiti oleh tambang  ataupun janji-janji manis pemerintah (baca: penderitaan karena tambang). Mereka memilih jalan panjang pembebasan, walaupun jalan itu sunyi dan penuh rintangan. Satu hal yang pasti, mereka hendak memutuskan mata rantai ketidakadilan menahun di tanah mereka.

Sikap setuju atau tidak setuju atas kehadiran kembali tambang mesti lahir dari kejernihan menilai dan mengevaluasi pengalaman masa lalu. Semua keputusan dan usaha untuk meraih masa depan yang lebih baik tidak dapat dibuat dengan mengabaikan “ketidakadilan dan penderitaan di masa lalu”. Sekali mengabaikannya, kita jatuh pada ilusi kenikmatan yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan dibaliknya. Sisi kejamnya adalah pengabaian terhadap memori ketidakadilan dan penderitaan masa lalu menjadikan para korban ketidakadilan sebagai tumbal.  Bukan hanya mereka yang menderita tetapi juga alam dan kampung warisan leluhur serta generasi yang akan datang sebagai tumbal yang dikorbankan. (Bersambung)

Sdr. Hans Surya

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

seven − six =