Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
1. Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali manusia melupakan filosofi. Melupakan nalar dan disiplin yang seharusnya ditegakkan pada diri sendiri. Akibatnya, berbagai macam persoalan muncul. Misalnya emosi negatif, opini dan pertimbangan yang keliru, dan relasi antar manusia yang tidak harmonis. Pada situasi dan kondisi tersebut manusia harus mengambil jeda, kembali pada filsafat untuk menyegarkan ingatan mengenai prinsip-prinsip yang baik.[1]
Perlu diketahui bahwa kehidupan manusia di dunia bersifat imanen (berada di dalamnya) dan transenden (mengatasinya).[2] Oleh karena itu, manusia senantiasa berhadapan dengan berbagai macam persoalan di mana ia bisa tenggelam di dalamnya. Terkait dengan hal ini, manusia dapat mengatasinya dengan berpikir kemudian mengambil suatu tindakan. Perlu diketahui bahwa filsafat berada dalam ranah berpikir, menemukan dasar segala sesuatu. Melalui filsafat manusia lebih cermat melihat persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Karena cara berpikir filsafat melatih manusia memandang dunia secara luas dan tidak mudah ikut arus. Menghindarkan manusia dari kepicikan, yaitu egoisme.[3]
Berdasarkan isi, filsafat memberi dasar pengetahuan.[4] Sehingga manusia memperoleh pandangan yang komprehensif, bukan parsial. Karena filsafat menggali dasar segala sesuatu, mengantar manusia masuk pada kebenaran fundamental. Sedangkan bagi para pendidik, filsafat membantu dan memberi dasar pedagogi.[5] Terkait dengan hal ini, pedagogi mempunyai kapasitas berkata mengenai manusia sempurna, manusia harmonis. Selanjutnya, untuk dapat memahami peran filsafat dalam membangun perdamaian, kemanusiaan universal, dan nalar masyarakat Indonesia, penulis menguraikan tulisan ini menjadi empat pokok gagasan. Pertama, sekilas tentang filsafat. Kedua, menciptakan iklim perdamaian. Ketiga, mengejawantahkan cita-cita kemanusiaan universal. Keempat, membangkitkan nalar masyarakat.
2. Sekilas Tentang Filsafat
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan”.[6] Seorang filsuf adalah pecinta dan pencari (philos) hikmat atau pengetahuan (shopia).[7] Pemikir Yunani seperti Pythagoras (582-496 SM) dan Plato (428-348 SM) mengejek para sofis (sophistes) yang berpendapat bahwa mereka mengetahui jawaban untuk semua jawaban. Oleh karena itu, Pythagoras menegaskan bahwa hanya Tuhan yang mempunyai hikmat sesungguhnya. Sedangkan manusia harus puas dengan tugasnya di dunia, yaitu mencari hikmat atau pengetahuan. Ada tiga alasan yang mendorong manusia berfilsafat.
Pertama, keheranan. Banyak filsuf menunjuk rasa heran (thaumasia) sebagai asal filsafat.[8] Terkait dengan hal ini, Plato menegaskan bahwa mata kita memberi pengamatan pada bintang, matahari, dan langit. Oleh karena itu, pengamatan tersebut mendorong manusia melakukan penyelidikan. Melalui penyelidikan tersebut berasal filsafat. Pada kuburan Immanuel Kant (1724-1804) tertulis coelom stellatum supra me, lex moralis intra me. Menurut Kant, dua gejala yang paling mengherankan yaitu langit berbintang di atasnya dan hukum moral dalam hatinya.
Kedua, kesangsian.[9] Agustinus (354-430) dan Descartes (1596-1650) menunjuk kesangsian sebagai sumber pemikiran. Manusia merasa heran, lantas ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh panca indera kalau ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat sesuatu yang ingin kita lihat? Di mana ditemukan kepastian? Karena dunia penuh dengan berbagai macam pendapat, keyakinan, dan interpretasi yang beragam. Sikap tersebut merupakan sikap skeptis (skepsis, penyelidikan) yang berguna menemukan titik pangkal yang tidak diragukan lagi, yaitu dasar pengetahuan.
Ketiga, kesadaran akan keterbatasan.[10] Para filsuf lainnya menegaskan bahwa manusia mulai berfilsafat ketika menyadari betapa kecil dan lemah dirinya apabila dibandingkan dengan alam semesta. Ketika terpukau pada ketakberhinggaan alam semesta, manusia heran akan eksistensinya. Dengan demikian, manusia meyakini bahwa harus ada sesuatu yang tidak terbatas, yaitu ketakberhinggaan yang membatasi segala sesuatu.
3. Menciptakan Iklim Perdamaian
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menandakan kemajuan pendidikan.[11] Oleh karena itu, memperoleh penghargaan dalam berbagai macam kompetisi sains dan teknologi menjadi tanda keberhasilan institusi pendidikan di Indonesia. Torehan keberhasilan tersebut menggambarkan bahwa institusi pendidikan yang bersangkutan berkualitas. Dengan demikian, jika masyarakat Indonesia menyenyam pendidikan yang memadai, maka berbagai macam kasus seperti pertikaian antar pelajar, kekerasan, dan korupsi semestinya berkurang.[12] Namun, realitas menunjukkan bahwa kejahatan publik semakin meluas. Mempertimbangkan realitas tersebut, setiap orang harus memahami hakikat hidup manusia, yaitu pribadi berakal budi dan sosial. Mempunyai kemampuan menghayati hidup secara rasional dan menghormati “yang lain”.
Berfilsafat (mencintai kebijaksanaan) merupakan perjuangan mengembangkan kualitas hidup di tengah konteks kehidupan dan persoalan sehari-hari.[13] Karena mencintai kebijaksanaan (hidup berkualitas) pada dasarnya merupakan potensi, tanggung jawab, dan upaya yang harus dilakukan setiap orang. Oleh karena itu, berfilsafat merupakan proses hidup di tengah dunia. Hidup dalam relasi dengan “yang lain”, yaitu sesama manusia dan alam semesta.[14] Hal ini mempertegas bahwa filsafat merupakan gerakan sosial untuk mengembangkan hidup berkualitas dan mengatasi berbagai macam persoalan melalui pertimbangan, sikap, dan perilaku yang selaras dengan hakikat manusia. Salah satu tolok ukur untuk menilai kualitas pemikiran atau berfilsafat adalah peranannya dalam mencerdaskan masyarakat dan mendorong teraktualisasikannya perdamaian.[15]
Dengan memahami filsafat sebagai proses dialog (mengejawantahkan hidup damai), problem filosofis dan moral pada dasarnya bukan kecemasan terhadap sesat pikir atau kekeliruan. Karena sesat pikir atau kekeliruan tidak boleh diabaikan dalam berfilsafat. Perlu diketahui bahwa sesuatu yang mendasar dari proses berfilsafat yaitu pembaruan komitmen, mengupayakan dialog kritis demi terwujudnya hidup bersama yang damai. Dengan demikian, kebenaran sebuah pemikiran filosofis tampak dalam peranannya memotivasi hidup manusia, memperjuangkan hidup yang rasional, saling menghormati, dan kerja sama dialogis yang memungkinkan perdamaian.
Filsafat dan hidup damai bersumber serta bermuara pada hakikat manusia. Sebagai pribadi berakal budi, manusia mampu memahami bahwa hidup damai bernilai dan layak diperjuangkan. Dengan demikian, memperjuangkan dan mencintai perdamaian merupakan pilihan hidup bijaksana. Selain itu, sebagai pribadi sosial, manusia harus memahami bahwa hidup damai hanya dimungkinkan jika terdapat sikap saling menghargai, saling membantu, dan kerja sama dialogis.[16] Mengingat setiap pribadi mempunyai potensi, karakter, kepentingan, dan cita-cita, hidup damai membutuhkan komitmen, kesadaran, dan ketetapan hati setiap pribadi. Oleh karena itu, berbagai macam usaha dan tindakan konkret untuk memperjuangkan hidup damai merupakan pilihan yang bijaksana. Harapannya filsafat menjadi gerakan nyata untuk memperjuangkan dan membela martabat manusia.
Supaya filsafat berperan mengembangan kualitas hidup manusia, proses berfilsafat seharusnya tidak hanya sampai pada tataran membuat penilaian kritis (“benar atau salah” dan “baik atau buruk”) terhadap suatu pemikiran, sikap, dan tindakan. Melainkan harus membangun iklim keterbukaan, kerja sama, dan dialog dalam memperjuangkan kebaikan bersama.[17] Hal ini harus diupayakan, dilestarikan, dan dikembangkan terus-menerus sebagaimana proses berfilsafat tidak pernah berhenti.[18] Dengan demikian, rasa lelah, bosan, dan malas memperjuangkan nilai-nilai hidup bersama merupakan penyakit gerakan berfilsafat. Karena ketika kelelahan, kebosanan, dan kemalasan mendominasi kehidupan bersama, kekerasan akan berkembang dan fondasi hidup bersama mengalami kehancuran.[19]
Merosotnya semangat dan tanggung jawab memperjuangkan nilai-nilai kehidupan merupakan gejala rapuhnya fondasi serta pilar hidup bersama.[20] Di mana solidaritas (kepedulian sosial) dan kerja sama diganti gaya hidup individualistis. Selain itu, iklim saling membantu diganti semangat mencari keuntungan pribadi. Dengan demikian, budaya persaingan dan memperalat orang lain melahirkan pertentangan, perang, penindasan, perbudakan, dan korupsi.[21]
Sikap menindas dan memperbudak orang lain merupakan pelecehan terhadap martabat manusia. Karena secara hakiki martabat manusia dimiliki setiap orang dan tidak ditentukan oleh harta, status, dan kedudukan. Kekerasan dan perang merupakan tindakan merampas hak hidup sesama. Sedangkan korupsi adalah kejahatan kemanusiaan, memperkaya diri dengan cara merampas hak orang lain. Perlu diketahui bahwa kekerasan dan kejahatan kemanusiaan tidak dapat dilawan dengan kekerasan serta kejahatan. Meningkatnya jumlah kejahatan merupakan tantangan bagi setiap orang untuk menumbuhkan kecerdasan dan tanggung jawab sosial. Selain itu, membarui hidup bersama tidak mungkin terjadi tanpa adanya upaya menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap orang bahwa dirinya senantiasa ada bersama “yang lain”.[22] Dengan demikian, meningkatkan kecerdasan, tanggung jawab, dan komitmen sosial merupakan salah satu tugas penting filsafat.
Filsafat bukan sekadar teori spekulatif, melainkan pemikiran logis yang membentuk sikap dan memotivasi perilaku hidup manusia di tengah situasi serta persoalan aktual.[23] Hidup yang dihayati dalam kerja sama, saling membantu, kritis, dan dialogis memungkinkan setiap orang berkembang secara utuh. Perlu diketahui bahwa hidup bersama merupakan gerakan berfilsafat yang humanis, yaitu sikap peka, peduli, dan tanggap dalam memberi pencerahan di tengah masyarakat. Dengan demikian, hidup bermasyarakat menjadi medan berfilsafat, yaitu mengasah kecerdasan intelektual, sosial, religius, dan moral.
Kecerdasan intelektual ditandai kesadaran manusia akan hakikat dirinya sebagai pribadi berakal budi. Kecerdasan sosial ditandai tanggung jawab mengembangkan sikap dan perilaku saling menghormati, peduli, menolong, dan kerja sama. Kecerdasan religius tampak dalam kemampuan memahami nilai universal hidup manusia dan horizon masa depan kehidupan. Kecerdasan moral tampak dalam pelaksanaan tanggung jawab memperjuangkan nilai hidup bersama.[24]
4. Mengejawantahkan Cita-Cita Kemanusiaan Universal
Indonesia dalam proses pembangunan membutuhkan filsafat, karena tanpa filsafat kehidupan intelektual bangsa Indonesia menjadi tawar dan kurang kreatif.[25] Karena filsafat merupakan pembela akal budi kehidupan masyarakat. Filsafat memungkinkan masyarakat memikirkan persoalan hidup secara rasional melalui bahasa, wawasan, dan argumentasi universal.[26] Dengan demikian, filsafat membuka cakrawala diskursus mengenai berbagai macam persoalan yang hadapi manusia. Selain itu, filsafat membuat manusia peka terhadap penyempitan ideologi.
Di Indonesia filsafat membantu masyarakat mengambil jarak terhadap klaim ideologis ilmu-ilmu empiris, di mana dalam budaya modern ilmu-ilmu empiris mempunyai peran mendefinisikan arti kemanusiaan dan tujuan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, filsafat membantu mengambil sikap terbuka dan kritis terhadap dampak modernisasi. Memungkinkan masyarakat berhadapan dengan kehadiran budaya modern yang tidak terbendung. Mengambil sikap dan menjadi pelaku aktif, mempertahankan identitas serta mengarahkan perkembangan masyarakat sesuai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Filsafat membantu menggali kekayaan budaya dan tradisi secara terbuka, kritis, dan kreatif. Mendeteksi kedok ideologis, ketidakadilan sosial, pelanggaran terhadap martabat dan hak asasi manusia. Memungkinkan setiap orang dari pandangan dunia dan agama yang berbeda membahas tantangan yang dihadapi bangsa, mencari jalan keluar yang berorientasi pada martabat manusia. Selain itu, filsafat menjadi dasar dialog antar agama.[27] Dengan demikian, filsafat bersikeras mempertahankan perannya sebagai penjaga rasionalitas, sebuah peran yang membuatnya dibenci dan tidak memberikan privelese dalam bentuk apa pun.[28]
Meskipun filsafat tidak berdaya banyak, tanpa filsafat sulit mempertahankan cita-cita pencerahan ketika berhadapan dengan ancaman obskurantisme,[29] totalitarianisme,[30] fanatisme,[31] dan sikap picik-egois yang pada periode abad kedua puluh menampilkan sisi buruk modernisasi. Perlu diketahui bahwa filsafat pada periode pasca-tradisional tidak lagi memberikan pandangan dunia dan nilai-nilai material. Meskipun filsafat dapat meneliti nilai-nilai dan pendasarannya, filsafat tidak dapat menggantikan agama dan tidak boleh menjadi ideologi. Karena filsafat bukan kebijaksanaan hidup sebagaimana diharapkan Plato. Dengan demikian, filsafat adalah ilmu kritis dan sebuah refleksi, berpegang pada rasionalitas serta prinsip universal.[32] Rasionalitas dalam arti menuntut pertanggungjawaban terhadap klaim pada bidang kognitif, normatif, dan estetik.
Filsafat mempunyai tempat dalam kehidupan rohani dan lingkungan akademik masyarakat, secara khusus di antara ilmu-ilmu lain. Dalam kehidupan rohani masyarakat, filsafat membantu menjernihkan duduk permasalahan, menyingkirkan tawaran ideologis yang palsu, dan tidak membiarkan prasangka memantapkan diri. Filsafat menantang para penawar makna (termasuk agama) dan senantiasa menjernihkan usaha mereka. Filsafat menghubungkan kerja sama antara bidang kognitif-instrumental, moral-praktis, dan estetik-ekspresif. Sedangkan dalam lingkungan akademis, filsafat membantu orang berpikir mandiri, mendalam, kritis, dan berani.[33] Filsafat mencegah terbentuknya kantong-kantong yang lolos dari kritik. Mempertanyakan pendasaran metode dan wawasan mereka, menganalisis secara kritis penyempitan ideologi. Dengan demikian, filsafat menjadi garam dalam kehidupan intelektual masyarakat Indonesia.
5. Membangkitkan Nalar Masyarakat
Impian para pendiri bangsa memiliki bangsa yang utuh semakin sirna. Diskriminasi agama dan konflik horizontal terus berlangsung. Karakter Indonesia sebagai negara-bangsa tengah diuji. Sejarah menunjukkan bahwa ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, terdapat beragam suku, agama, budaya, dan bahasa.[34] Hal ini disadari para pendiri bangsa sejak awal. Sebagai negara yang mempunyai asal-usul dan identitas beragam, pengikat eksistensi bangsa Indonesia adalah negara. Negara merupakan pemersatu bangsa dan berperan menampung cita-cita hidup bersama, mengatasi kesalahpahaman golongan serta perseorangan.
Perlu diketahui bahwa dalam kurun waktu tiga periode pemerintahan (orde lama, orde baru, dan era reformasi), eksistensi negara semakin hilang dan penghargaan terhadap keberagaman memudar. Negara begitu lemah, tidak ada reaksi ketika kelompok tertentu mengambil alih peran negara. Terjadi pembiaran, tidak peduli terhadap korban yang mengalami penganiayaan, tidak peduli terhadap perusakan rumah ibadat, dan tidak peduli terhadap konflik horizontal.
Meskipun terlihat suram, Indonesia pernah mengalami periode keemasan. Di mana politik etis membuka pintu pendidikan bagi anak-anak pribumi dan menumbuhkan kekuatan kultural dengan Sumpah Pemuda sebagai puncaknya. Terkait dengan hal ini, sistem pendidikan Barat yang berlangsung di pusat pendidikan domestik atau pun yang diikuti pelajar Indonesia di Eropa, membuka nalar dan hati para pemuda Indonesia mengenai makna nasionalisme[35] serta kemerdekaan.
Semua yang awalnya bergerak dalam konteks kedaerahan melebur dalam Sumpah Pemuda 1928.[36] Hal ini merupakan periode keemasan, yaitu ketika bangsa Batak, bangsa Jawa, bangsa Bugis, dan bangsa Ambon menjadi satu bangsa Indonesia. Sebutan bangsa yang bersifat kedaerahan berubah menjadi suku atau subkultur. Oleh karena itu, organisasi berbasis ideologi dan nasionalisme muncul pada periode tersebut, misalnya Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Namun, upaya penjabaran gagasan nasionalisme dan demokrasi[37] mengalami pasang surut. Perlu diketahui bahwa pengalaman pahit berbangsa dan bernegara muncul pada Era Reformasi. Di mana jaminan kebebasan tidak disertai keterwakilan aspirasi masyarakat dan penerapan hukum. Negara bahkan tidak mampu menunaikan tugasnya, yaitu melindungi masyarakat.
Pada waktu itu Kiai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) bisa bergaul dengan Semaun, Alimin, dan Darsono (orang-orang beraliran kiri), dewasa ini banyak orang gagap menghadapi relasi semacam itu. Bahkan pada tingkat komunitas yang paling rendah (RT/RW), mengucapkan selamat kepada tetangga yang merayakan peringatan keagamaan mulai memudar. Selain itu, segala sesuatu yang berbau Barat dipermasalahkan, misalnya peringatan Hari Valentine.
Globalisasi merupakan salah satu pemicu yang membuat gamang masyarakat. Terjadi benturan frontal antara ranah komunitas komunal dan modernitas. Identitas komunal yang mengutamakan kelompok bertemu dengan kemandirian dan negara sekuler yang dihasilkan modernitas. Oleh karena itu, ketika ada perbedaan, yang muncul adalah kecurigaan dan kekerasan. Akibatnya, negara dan rasa kebangsaan yang dirajut dari berbagai macam suku serta subkultur mudah retak. Selain itu, nilai-nilai luhur Pancasila ditinggalkan. Terkait dengan hal ini, perlu menumbuhkan nalar dan kepekaan nurani.
Pulihnya akal sehat dan hati nurani akan berbuah pada kedewasaan masyarakat. Menghasilkan sistem nilai untuk memaknai kehidupan berbangsa yang dewasa ini kehilangan orientasi. Selain itu, perlu mengembalikan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan mengembangkan sistem nilai dalam pembentukan karakter. Sistem nilai tersebut sudah disarikan dalam Pancasila, termasuk hak dan kewajiban setiap warga.[38] Hal ini harus senantiasa diinternalisasikan.
Pengembangan sistem nilai terkait dengan pola pikir terbentuk dari empat unsur, yaitu fakta empiris, mitologi dan religiositas, ide politik dan etnis, dan generalisasi ilmiah. Berdasarkan keempat unsur tersebut, hanya generalisasi ilmiah yang bersifat konvergen (menyatukan). Sedangkan yang lainnya bersifat divergen (memisahkan). Oleh karena itu, generalisasi ilmiah harus mendapatkan penguatan. Data empiris menunjukkan bahwa masyarakat yang sintas adalah masyarakat yang unsur keempatnya senantiasa diasah.
Jalan keluar yang dapat ditempuh yaitu mengembangkan filsafat, merangsang otak dengan berbagai macam kerja intelektual. Misalnya membaca, berpikir, dan berefleksi, supaya setiap orang mampu mengolah pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh kemudian dilengkapi dengan humanisme baru, yaitu nilai kemanusiaan yang sudah diperkaya.[39] Pikiran yang terbuka mempermudah internalisasi sistem nilai. Membiasakan diri mengenal, memahami, menghargai, dan menguasai nilai-nilai yang disepakati bersama. Dengan demikian, bangsa Indonesia kembali bernalar sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan kearifan bangsa. Hal ini akan berdampak pada tidak mudahnya masyarakat diprovokasi unsur-unsur komunal yang dipelintir untuk kepentingan tertentu.
6. Penutup
Sikap kritis merupakan langkah praktis untuk mengembangkan cara berpikir filsafat di Indonesia. Karena filsafat merupakan usaha manusia menafsirkan atau merefleksikan realitas sedalam-dalamnya. Usaha tersebut tidak terlepas dari pengalaman manusia yang hidup dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk jasmani-rohani menangkap sesuatu tidak terbatas pada yang indrawi, melainkan juga sesuatu yang lebih dalam. Oleh karena itu, titik tolak filsafat adalah eksistensi manusia yang bertumbuh di dunia. Dengan demikian, cara berpikir filsafat mengajak setiap orang memasuki diri sendiri dalam realitas kehidupan, tanpa meniadakan realitas atau mengebawahkannya pada subjek-yang-sadar.
Dorongan berfilsafat muncul dari kodrat manusia. Oleh karena itu, manusia harus berani memasuki alam berpikir sendiri. Karena setiap orang pada dasarnya menginginkan kebahagiaan, memahami arah dan tujuan hidupnya di dunia. Perlu diketahui bahwa dasar dari filsafat adalah akal budi, bukan wahyu. Dengan demikian, filsafat bukan agama. Filsafat terbuka terhadap wahyu, tetapi ia tidak dapat begitu saja menyerahkan diri pada apa yang dikatakan wahyu, karena ia harus mempertanggungjawabkannya secara rasional. Dengan kata lain, ia harus bersikap kritis terhadap gambaran semu mengenai wahyu. Begitu juga dengan sikap kritisnya terhadap gambaran semu “totalitas” manusia atau pun tindakan yang ingin meniadakan manusia.
Daftar Pustaka
Adisusila, Sutarjo. “Gambaran Manusia Indonesia Menurut Pancasila.” Dalam Dick Hartoko (editor). Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bertens, K. dkk. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Garot, Eugenita. Pergumulan Individu dan Kebatiniahan Menurut Soren Kierkegaard. Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Haboddin, Muhtar. Memahami Kekuasaan Politik. Malang: UB Press, 2017.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Harari, Yuval Noah. Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Penerj. Yanto Musthofa. Tangerang: Pustaka Alvabet, 2018.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Lanur, Alex. Filsafat Manusia. Jakarta: STF Driyarkara, 2002.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Manampiring, Henry. Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019.
Martiam, Najiyah. “Fanatisme, Ekstremisme, dan Penyingkiran Ciri Antropologis Pengetahuan.” Kawistara Vol. 3 No. 2 (17 Agustus 2013), 220-223.
Moedjanto, G. “Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tan Malaka.” Dalam Mudji Sutrisno (editor). Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia. Yogyakarta: Galang Press, 2005, 37-46.
Mulyatno, C.B. Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Nihaya, H. “Demokrasi dan Problematikanya di Indonesia.” Sulesana Vol. 6 No. 2 (2011), 15-25.
Oxford English Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 2004.
Rahmat. “Sumpah Pemuda: Antara Idealisme dan Realisme Pendidikan Politik.” Kependidikan Islam Vol. 1 No. 1 (Februari-Juli 2003), 58-69.
Riyanto, E. Armada. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Sulistiyono, Singgih Tri. “Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia: Masih Perlukah?” Jurnal Sejarah Citra Lekha Vol. 3 No. 1 (2018), 3-12.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016.
—————————-. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Tjaya, Thomas Hidya. Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Triyudo, Christian. “Driyarkara dan Filsafat Sebagai Cara Manusia Menyelami Realitas Sedalam-Dalamnya”. Driyarkara No. 2 (2003), 7-26.
Wattimena, Reza Antonius Alexander. “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux Tentang Pendidikan dan Relevansinya untuk Indonesia.” Jurnal Filsafat Vol. 28 No. 2 (2018), 180-199.
[1] Henry Manampiring, Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019), 300.
[2] Christian Triyudo, “Driyarkara dan Filsafat Sebagai Cara Manusia Menyelami Realitas Sedalam-Dalamnya”, Driyarkara No. 2 (2003), 20.
[3] Egoisme adalah doktrin bahwa semua tindakan seseorang terarah atau harus terarah kepada diri sendiri. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 180.
[4] Christian Triyudo, “Driyarkara dan Filsafat …”, 20.
[5] Selama ini, pedagogi dipahami sebagai metode pengajaran. Di dalamnya terkandung berbagai teori tentang pendidikan, pengajaran serta beragam pandangan tentang manusia dan hubungan antar manusia. Lih. Reza Antonius Alexander Wattimena, “Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux Tentang Pendidikan dan Relevansinya untuk Indonesia”, Jurnal Filsafat Vol. 28 No. 2 (2018), 181.
[6] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 11.
[7] Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 18.
[8] K. Bertens, dkk., Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2018), 39.
[9] K. Bertens, dkk., Pengantar Filsafat, 41.
[10] Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 6.
[11] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 57.
[12] E. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 194.
[13] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 58.
[14] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), 64.
[15] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 59.
[16] Sutarjo Adisusila, “Gambaran Manusia Indonesia Menurut Pancasila” dalam Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, diedit oleh Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1985), 26.
[17] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 60.
[18] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 18.
[19] Eugenita Garot, Pergumulan Individu dan Kebatiniahan Menurut Soren Kierkegaard (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 156.
[20] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 61.
[21] Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan pribadi. Lih. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), 123.
[22] Alex Lanur, Filsafat Manusia (Jakarta: STF Driyarkara, 2002), 41.
[23] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 62.
[24] C.B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian: …, 63.
[25] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 255.
[26] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 242.
[27] Keyakinan akan dasar berpijak ini memungkinkan keterbukaan terhadap “yang lain, yang berbeda”, karena memberikan perangkat atau kategori untuk memahami kebenaran, juga kebenaran yang terungkap di luar agamanya. Lih. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, 71.
[28] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 256.
[29] Obskurantisme adalah tindakan yang dengan sengaja menyajikan informasi dengan cara yang berkesan kabur dan sukar dimengerti dengan tujuan agar tidak ada yang mencoba bertanya atau memahami lebih lanjut. Lih. Oxford English Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 2004).
[30] Totalitarianisme adalah sebuah sistem kekuasaan politik yang menyeluruh, secara khas ditegakkan dengan manipulasi ideologis, dan teror-teror terbuka. Lih. Muhtar Haboddin, Memahami Kekuasaan Politik (Malang: UB Press, 2017), 51.
[31] Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Lih. Najiyah Martiam, “Fanatisme, Ekstremisme, dan Penyingkiran Ciri Antropologis Pengetahuan”, Kawistara Vol. 3 No. 2 (17 Agustus 2013), 220.
[32] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 242.
[33] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 254.
[34] G. Moedjanto, “Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tan Malaka” dalam Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia, diedit oleh Mudji Sutrisno (Yogyakarta: Galang Press, 2005), 39.
[35] Nasionalisme Indonesia menggambarkan ikatan budaya yang menyatukan dan mengikat rakyat Indonesia yang majemuk menjadi satu bangsa dalam ikatan negara-bangsa (nation state). Dalam upaya menyatukan pada sebuah ikatan itu, maka diperlukan ikatan budaya sebagai pendorong hidup bangsa. Berkembangnya nasionalisme Indonseia sangat bergantung pada kohesivitas dalam bentuk ketahanan budaya yang bertumpu pada ikatan budaya tersebut. Ikatan ini mampu menjadi daya tahan yang kuat dalam menghadapi arus globalisasi yang cenderung berdampak pada peniadaan batas-batas teritorial dan kedaulatan bangsa. Lih. Singgih Tri Sulistiyono, “Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia: Masih Perlukah?”, Jurnal Sejarah Citra Lekha Vol. 3 No. 1 (2018), 5.
[36] Rahmat, “Sumpah Pemuda: Antara Idealisme dan Realisme Pendidikan Politik”, Kependidikan Islam Vol. 1 No. 1 (Februari-Juli 2003), 58.
[37] Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lih. H. Nihaya, “Demokrasi dan Problematikanya di Indonesia”, Sulesana Vol. 6 No. 2 (2011), 15.
[38] Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran. Lih. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 2.
[39] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, penerj. Yanto Musthofa (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2018), 255.