Surat Nasib
Kutulis surat ini dengan butir butir nasi
dalam sebilah piring yang hampir kosong
kepada pencari nasi demi sesuap nasib.
Di negeri yang kau sangka bisa menolong
kepada ibu-bapak di kampung
kepada saudara-saudari di kebun
sajak-sajak pamit dan asa kau lambung
bahwa bulir nasi di negeri seberang lebih tambun
Beribu mimpi kau seberangkan
lewati ombak dan badai kelaparan.
Sejuta asa kau pahatkan
pada langit kemenangan
Setahun dua tahun di perantauan
Pondok bambu kau sulap jadi rumah tembok
Ibu bapak sumringah menebar bangga
kakak adik berjingkrak di tengah kebun.
Orang sekampung turut senang.
Makan sirih di rumah baru lebih nikmat
kata mereka; pinangnya lebih muda, sirihnya lebih sedap.
Kapurnya lebih halus
ludahnya lebih merah.
Bahkan cat rumah yang baru
adalah cinta segitiga antara pinang, sirih dan kapur
Tahun-tahun beranjak pergi
kabar semakin jarak bahkan sunyi
Di sudut jalan suara loper koran berkibar
membelah angin yang riuh di siang bolong.
Koran…koran…..satu lagi TKI dipulangkan.
Angin berlalu meninggalkan jejak kemenyan.
Panas terik mengucurkan keringat hidup makin deras.
Kabar burungnya kau mati terkapar
terjun bebas dari lantai tujuh belas
Mengejutkan,
di kampung kau labur rumah dengan ludah sirih pinang,
di perantauan kau labur dengan darah sendiri.
Wairpelit 2015
Fr. Andi Saup, SVD