Oleh: Rolansius Lantur OFM

1. Pengantar

Agama (Kristen), dalam bentuk yang paling padat, adalah sebuah interupsi. Demikian J. B. Metz menulis dalam bukunya “Faith in History and Society: Toward a Fundamental Practical Theolog. Metz menulisnya demikian sebagai awasan bagi kaum beriman terhadap godaan menjadi ‘agama borjuis’. Agama borjuis dapat dikatakan sebagai perilaku kaum beriman (beragama) kristiani yang cenderung terisolasi atau mengurung diri dalam kenyamanan dan serentak menutup mata terhadap kesusahan dan derita sesama. Agama sebagai oase yang menjanjikan pembebasan justru tidak berdampak atau membawa perubahan nyata dalam hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, ‘agama borjuis’ ini mengacu pada fenomena privatisasi iman. Iman direduksi atau dibatasi dalam ruang lingkup privat.

2. Situasi Krisis

Metz melihat fenomena privatisasi iman, ketidakpedulian, apatisme sosial sebagai krisis dalam hidup beriman (beragama) kristiani. Fenomena hidup beriman (beragama) yang demikian sangat berbahaya. Sebab masing-masing orang tenggelam dalam kemapanan, kenyamanan dan kesuksesan tanpa sedikitpun rasa empati terhadap sesama. Mereka menjadi abai terhadap persoalan aktual dalam lingkungan masyarakat.

Kalau demikian adanya, maka agama (secara khusus kristiani) tidak tidak mempunyai daya mengubah situasi dunia. Alhasil, gap antara orang kaya dan orang miskin, antara negara-negara maju dengan negara-negara dunia ketiga (negara berkembang) semakin melebar. Sebab tidak ada lagi ruang untuk solidaritas, kepedulian, gerakan emansipatif, dan tanggung jawab sosial.

3. Mistik sekaligus Politik

Berhadapan dengan situasi krisis ini, Metz menawarkan praktik beriman (beragama) yang terlibat. Praksis iman kristiani pada dasarnya memiliki struktur ganda, yakni mistik sekaligus politik. Dimensi mistik menganimasi atau menggerakkan orang untuk terlibat dalam persoalan sosial-politik. Istilah “politik” sama sekali tidak berkaitan dengan kekuasan politik, atau dimaksudkan sebagai keterlibatan dalam politik praktis, tetapi hendak menegaskan dimensi sosial dari iman kristiani.

Keduanya (mistik dan politik) merupakan dua dimensi dari satu realitas kehidupan kaum beriman (beragama) kristiani. Kasih kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari praksis sosial melalui kasih kepada sesama. Doa tidak hanya berupa lantunan pujian, tetapi juga menjadi sumber kekuatan bagi seseorang untuk menerima tanggung jawab sosial. Karena itu, agama (kristiani) pada dasarnya bukan agama yang menekankan dimensi mistik semata, melainkan juga agama yang mempunyai keprihatinan terhadap masalah sosial.

Itu artinya beriman (beragama) kristiani itu bukan untuk mencari aman. Beriman (beragama) kristiani berarti harus terlibat, terjun ke dalam dunia.  Iman disertai juga komitmen tanpa kenal lelah untuk terus menyiasati dan mengubah kenyataan sosial menjadi lebih baik. Iman itu menjelma dalam ruang publik dan membawa transformasi dalam kehidupan sosial-masyarakat. Identitas sebagai orang beriman (beragama) mesti nyata dalam tindakan membangun dunia.

Karena itu, sebuah komunitas beriman (beragama) tidak boleh bersikap diam di hadapan persoalan-persoalan dunia. Menurut Metz, tugas agama (kaum beriman) adalah membela semua orang yang berada dalam penderitaan karena penindasan yang kejam. Sebab persoalan atau masalah sosial sekarang ini telah melahirkan banyak korban. Ada banyak korban harus menanggung penderitaan karena ketidakadilan. Para korban tidak berdaya di hadapan sistem yang menindas.

4. Memoria Passionis: Gerakan Melawan Apatisme Sosial

Bagi Metz, fakta adanya begitu banyak korban yang menderita di dunia ini disebabkan oleh ketidakpedulian. Adanya sikap apatis atau pembiaran terhadap fenomena penderitaan para korban. Di tengah situasi masyarakat seperti ini, beriman (beragama) kristiani dimaknai sebagai panggilan untuk merawat momori. Secara khusus, Metz menekankan pentingnya memoria passionis (ingatan akan penderitaan orang lain). Memoria passionis mencegah adanya privatisasi dan reduksi dimensi sosial-politik iman sehingga membiarkan segala penderitaan itu terus terjadi.

Diskursus tentang memori penderitaan tidak berarti membuat terhanyut dalam nostalgia, tetapi membangkitkan sikap kritis, menumbuhkan kepedulian sosial dan gerakan untuk terlibat dalam persoalan sosial-politik. Sebab memori peneritaan justru membuka mata kita pada penderitaan orang lain, terutama mereka yang tidak bersalah. Memori ini terus menerus membuka mata kita pada penderitaan orang lain di masa lalu atau masa sekarang.

Memori penderitaan ini justru memperkuat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan; perlawanan terhadap sikap acuh tak acuh atau apatisme sosial terhadap komunitas global di mana nilai-nilai kemanusiaan itu semakin tergerus dan tercerabut di tengah sistem ekonomi, teknologi, budaya, dan komunikasi industri yang cenderung egoistis. Sebab memori penderitaan ini membuat orang peka dan kritis terhadap realitas sosial-politik yang terjadi.

5. Dari Memoria Passionis  Menuju Interruptive Memory

Dari memoria passionis ini kemudian muncul interruptive memory. Memoria passionis ini menjadi sebuah interruptive memory dalam diri seorang kaum beriman (beragama kristiani). Kenapa? Karena memoria passionis atau ingatan akan penderitaan para korban ini pada dasarnya bukan sebuah pengamatan yang pasif. Memori atau ingatan akan penderitaan orang lain ‘menginterupsi’ penghayatan hidup kaum beriman (beragama) Kristen. Bahkan lebih jauh, memoria passionis ini menjadi dangerous memory atau memori berbahaya.

Ingatan ini menjadi memori berbahaya karena para korban menginterupsi hidup kaum beriman (beragama) kristiani untuk menyingkapkan bahaya-bahaya yang terjadi sekarang ini. Atas dasar ini, Metz mendefinisikan agama sebagai sebuah interupsi. Agama menurut Metz bukan menyajikan jawaban-jawaban, tetapi lebih sebagai upaya untuk merumuskan pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan dan ditanggapi secara serius oleh kaum beriman (beragama) kristiani. Artinya agama sungguh-sungguh bergerak aktif dalam menelusuri pelbagai gejala atau fenomena yang mengakibatkan masyarakat menderita.

Ingatan akan penderitaan ini menuntut, menginterupsi dan juga menantang kaum beriman (beragama) kristiani sekarang ini untuk menciptakan suatu peradaban yang lebih manusiawi. Karena ingatan akan penderitaan para korban dibawa masuk  ke dalam pusat kesadaran kaum beriman (beragama) Kristen. Pengalaman penderitaan orang lain selalu menginterupsi dan menuntut tanggung jawab untuk membawa transformasi atau perubahan sosial. Situasi penderitaan orang lain menggerakkan hati kaum beriman (beragama) kristiani untuk bertindak dan berpihak pada mereka serta berjuang bersama mereka untuk keluar dari kemelut penderitaan yang sedang dialami.

‘Memori berbahaya’ inilah yang terus mengganggu kenyamanan, menggelitik hati dan batin. Memori ini memanggil dan mendesak kaum beriman untuk keluar dari zona aman dan berkomitmen untuk terlibat. Memori ini menyelamatkan kaum beriman (beragama) kristiani dari sikap cinta diri yang berlebihan, dari kegemaran menimbun kekayaan, dari sikap takut dan acuh tak acuh terhadap tantangan atau gerakan sosial kemanusiaan. ‘Memori berbahaya’ bermakna pembebasan; tidak hanya bebas dari penderitaan, tetapi juga bebas dari dari sikap apatis, individualis, dominasi atau eksploitasi yang berlebihan. Dengan konsep memori ini, kaum beriman (beragama) kristiani selalu mengutamakan yang menderita, tertindas dan tak berdaya.  Sehingga para korban yang menderita sungguh-sungguh diperhatikan, dibawa keluar dari belenggu penderitaannya.

6. Penutup

Kiranya konsep beriman (beragama) yang demikian, dapat menginterupsi pemahaman dominan kalangan umat beriman (beragama) sekarang ini. Sehingga kalangan beriman (beragama) kristiani tidak bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan sesama. Agama yang dibentuk bukan lagi agama borjuis, agama yang mengagungkan kemapanan dan mencari kenyamanan, melainkan agama yang senantiasa mau diinterupsi oleh tantangan atau bahaya keterlibatan dalam situasi sosial kemasyarakatan. Sebab dengan demikian, agama (terutama kristiani) telah menjalankan tugas dan perannya, yakni berjuang mengatasi penderitaan yang secara tidak adil ditimpakan pada orang-orang yang tidak bersalah. Karena sistem ekonomi dan politik dominan yang bekerja hanya demi kepentingan mereka yang kuat dan sehat, lantas mengabaikan atau mengorbankan orang-orang kecil dan tak berdaya.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here