Daun-daun berguguran dalam sepi, memberi kesempatan pada angin untuk menerbangkannya kian kemari. Malam itu sunyi dan udara terasa amat sejuk, berbeda dari biasanya. Jangkrik-jangkrik terus bernyanyi, sahut-sahutan antara yang satu dan lainnya. Sayangnya, pekikkan mereka dihalangi oleh suara air yang mengalir pada sebuah sungai bernama Sungai Ciliwung. Jauh di langit sana, sang purnamasidhi kian terang temaram. dia begitu cemerlang, bak seorang ratu malam yang menguasai malam. Di tepi sungai itu, dua remaja menghabiskan waktu mereka untuk bertukar cerita. Sesekali mereka tertawa melihat paras mereka yang diterangi malam dan terpancar di sungai. Mereka adalah Kevin dan Syntia. Dalam gurauan mereka, ada suatu hal penting yang berulang kali dibicarakan. Kevinlah yang selalu memulai pembicaraan.
“Mungkinkah kita akan terus begini? Hidup miskin, sesuap nasi saja sulit didapat.”
“Hmm, aku tak tahu. Tapi mungkin ini sementara. Kita tak bisa terus begini.”
“Apa yang akan kamu lakukan Tia?”
“Aku harus terus bersekolah, dan jadi orang sukses untuk menepati janjiku pada almarhum ayahku,” tangannya menunjuk pada pusara ayahnya yang tak jauh dari situ. Matanya mulai memerah, seolah-olah seberkas kenangan manis kembali terkenang dalam benaknya.
Kevin mulai mengatur duduknya lebih baik lagi.
“Aku tak mungkin bersekolah dan membiarkan ayahku berbaring lemah di balik gubuk yang sudah reyot. Apalagi sepeninggal ibu, kesehatannya perlahan memburuk. Namun, jika kamu suatu saat jadi orang sukses, mungkinkah kita akan bertemu dan bersenda gurau kembali seperti ini lagi?” Kevin tak sanggup mengatakan kalimat terakhir itu. Sebab itu menandakan isyarat sebuah perpisahan.
Syntia menundukkan kepala mendengar perkataan Kevin. Ia tak langsung menjawab. Ia hanya menyodorkan jari kelingking sebagai jalan yang terbaik untuk menyelamatkan harapan. Itulah sebuah isyarat janji yang kuno dan masih laris dipakai. Sulit untuk meramalkan hal yang belum pasti. Tetapi mereka tetap teguh menguatkan harapan itu dengan semakin eratnya jari kelingking itu bertemu. Sinar Purnamasidhi kian terang, siap jadi saksi terjadinya pemenuhan janji di kemudian hari.
***
Sebulan kemudian, purnamasidhi itu kembali. Cahayanya juga tidak kalah terang dengan yang sebelumnya. Tetapi, cahayanya tak mampu mengalahkan cahaya kobaran api dari pemukiman Kevin dan Tia. Pemukiman di sepanjang bantaran sungai itu dibakar oleh orang-orang tak dikenal, yang dari wajah mereka terpancar sebuah kemenangan akan kekuasaan yang sebentar lagi akan diperoleh. Setiap warga lari tunggang langgang, termasuk Syntia dan ibunya. Kevin tak bisa meninggalkan ayahnya begitu saja. Ia memilih bertahan, siap beradu dengan takdir baru yang siap ia kenakan. Dalam kecemasan itu, Tia pun tak tahu dengan keputusan yang dibuat Kevin. Ia terus berlari sekencang mungkin yang ia bisa. Setiap langkah kaki itu penuh keputusasaan. Setiap gerakan itu penuh tanda tanya. Bagaimana hidupku selanjutnya? Kalimat itu amat memengaruhi pikiran Tia. Tapi ia menahan gejolak air matanya yang berusaha keluar, ingin memeluki kesedihannya. Ia tetap tegar dan sekuat tenaga membopong ibunya yang langkahnya mulai tergopoh-gopoh.
“Terus saja nak, di seberang sungai ini ada sebuah gubuk kenalan ibu.” Ibunya menangis, tak kuasa meninggalkan gubuk yang menjadi saksi perjuangannya bersama suaminya. Apalagi melihat Tia, ia bertanya, seperti apakah hidup anakku selanjutnya.
Sejam kemudian, mereka tiba di sebuah gubuk berdindingkan kardus-kardus bekas. Lampu agak redup meneranginya. Tok. Tok. Tok.
“Siapa?” Seseorang di dalam gubuk itu terkejut.
“Aku, le. Mirna.”
Kemudian seorang lelaki membuka pintu gubuk itu. Namun ia heran, melihat wajah Mirna dan anaknya berlepotan debu. Kayaknya sesuatu telah terjadi. Lelaki itu bisa membaca raut wajah ibunya. Segera ia mengajak mereka masuk, dan memberi mereka makan seadanya. Sesudah situasi amat tenang, ia mulai menanyakan apa telah terjadi dengan mereka. “Apa yang telah terjadi Mirna?” Pertanyaan itu memang membuat dada ibu sesak. Melihat itu, Tia memilih untuk keluar dari gubuk sebentar. Ia mendengar suara ibu yang amat parau saat menuturkan kisah mereka. Hatinya gusar. Dan yang lebih membuatnya lebih gusar lagi ialah keberadaan Kevin. Saat berlari melewati kobaran api tadi, ia tak melihat kevin. Di manakah dia? Apakah sosoknya telah berbaur bersama abu-abu lainnya? Malam itu, sambil melempar batu ke sungai, hatinya merasakan kehilangan. Kehilangan kenangan akan gubuk yang memberinya arti tentang kerasnya hidup ini. Kehilangan pusara ayah, tempat ia bercerita di saat dirinya gelisah. Dan kehilangan sahabat, terutama akan janji masa depan di antara mereka, di mana sang purnamasidhi menjadi saksi bisu itu semua. Ia berharap, semua kesedihan itu perlahan bisa menghilang bersama arus sungai yang selalu membawa apa pun di hadapannya menuju ke selatan. Termasuk perasaannya itu, semoga saja.
***
Ritme hidup baru harus dimulai oleh Tia. Ia berhenti dari sekolah. Bersama ibunya, ia menjadi pemulung sesuai dengan tawaran lelaki tadi, teman ibu. Namanya om Karjo. Setelah mendengar cerita ibu, ia pun tahu bahwa ia adalah mantan pacar ibu. Namun ibu tak melanjutkan cerita asmaranya bersama om Karjo, ia hanya mengatakan pada Tia bahwa usianya belum tepat untuk mendengar cerita seperti itu. Setiap hari, saat fajar mulai nampak di ufuk barat, ia dan ibu harus pergi ke berkeliling, dari rumah ke rumah, untuk mencari satu dua botol bekas, setidaknya demi memenuhi rasa lapar walaupun sehari saja. Hari terus berganti, tetapi pekerjaaan pun tak berganti. Setiap hari adalah waktu untuk meraih kemerdekaan. Ia hanya tahu bahwa kerja keras ini untuk sepiring nasi setiap harinya. Namun, ia tak tahu bahwa sebenarnya ibunya ingin anaknya harus melanjutkan sekolah.
Harapan butuh waktu untuk direstui, butuh niat untuk menjalani. Tak hanya mereka saja yang mendulang nafkah dari sebuah botol bekas. Walaupun niat dan harapan sekuat akar beringin, tetapi keadaan dan waktu membutuhkan saat yang tepat. Dan ibunya pun merasa putus asa. Tia pun bingung dengan ibunya, padahal ia mulai mencintai pekerjaan barunya itu. Keputusasaan itu terus menghantui ibunya. Hingga tiba suatu kesempatan bagi ibunya untuk menceritakan kegundahan hatinya itu pada om Karjo. Ia menceritakan semuanya pada om karjo. Mereka bingung harus berbuat apa. Sesekali situasi hening menghantui pembicaraan mereka.
Hmm…sepertinya, aku ada kenalan yang bisa membantumu.”
Mereka berbisik satu dengan yang lain. Mendengar itu, ibu sempat terkejut, tak mengeluarkan suara. Matanya menunjukkan ketidakyakinan atas usulan om Karjo. Tetapi Karjo menatapnya lebih dalam, seolah meyakinkannya bahwa hanya itulah jalan keluar terbaik. Percayalah, kata om Karjo. Ibunya hanya mengangguk, bersedia mengambil sebuah resiko besar atas dirinya dan anaknya. Sebaliknya, Tia tak mengerti akan drama yang sedang terjadi pada ibunya dan om Karjo. Dalam kebingungan itu, ia hanya sanggup memandang langit, bertanya pada bintang-bintang yang gemerlapan mungki mereka punya jawabannya.
***
Esok hari, ia melihat ibunya pergi membawa sebuah tas besar. Ibunya hanya berpesan, bahwa ia pergi sebentar untuk bekerja. Saban hari, ibunya belum juga pulang. Ia panik hingga tak bisa tidur malam itu. Ia terus bertanya pada om Karjo, ke mana ibunya pergi. Om karjo hanya mengatakan, Ibumu itu pergi untuk mencari uang biar kamu dapat sekolah. Perkataan om Karjo sangat merisaukan dirinya, seolah ia tak sanggup mengarungi kerasnya hidup ini tanpa sokongan dari sang ibu. Namun, ia menguatkan dirinya, percaya bahwa suatu saat ibunya akan kembali pulang.
Ia pun mulai melanjutkan sekolah di sebuah SMAN di dekat bantaran sungai itu. Saat awal-awal bersekolah, ia agak sulit tuk menyesuaikan diri. Namun, situasi mau tak mau harus bisa ia kendalikan. Sesekali, ketika ia patah semangat, ia ingat akan janjinya kepada ayahnya untuk menjadi seorang dokter. Ia memegang kuat cita-cita itu, walaupun kadang sulit menyesuaikannnya dengan keadaan. Teman-temannya sering menertawai Tia karena bagi mereka, cita-cita Tia terlalu tinggi, tak memikirkan keadaan ekonominya sendiri. Tia tetap berusaha kuat tuk menerima semua itu, sebab ia sadar bahwa orang berduit bisa memiliki dan mengambil semuanya dalam hidup ini. Tahun berganti tahun, ia tumbuh menjadi seorang yang pandai. Ia juga semakin dewasa seperti perempuan lain pada masanya. Dewasa akan pengalaman pahitnya dalam hidup.
Setiap bulan ibunya mengirimi mereka uang secukupnya. Tapi sebagian uang itu digunakan om Karjo untuk keluyuran setiap malam. Dia tak ingin lagi bekerja sebagai pemulung semenjak ibu mengirimi uang pada mereka. Tia pun tak bisa menahan air matanya bila melihat apa yang dilakukan oleh om Karjo, sebuah pengkhianatan terhadap usaha ibunya. Hal itu terus terjadi hingga Tia menamatkan pendidikan di jenjang SMA. Beruntungnya, sebagian uang itu masih cukup untuk biaya sekolahnya. Kini Tia bukan anak kecil lagi. Ia adalah seorang perempuan dewasa. Ia terus mendesak om Karjo setiap harinya. Ia hanya ingin bertemu dengan ibunya untuk menunjukkan bahwa ia telah menamatkan pendidikan. Om Karjo pun lelah untuk menahan desakan Tia. Hingga tiba suatu malam, om Karjo berubah pikiran. Besok kita akan bertemu ibumu, katanya dengan suara yang agak gelisah. Tia amat senang mendengar itu. Ketika tidur malam, matanya sulit dipenjamkan, membayangkan betapa indahnya hari esok ketika ia akan bertemu kembali dengan ibunya.
***
Pagi hari, sekitar pukul 08.00, aku dan om Karjo dijemput dengan sebuah mobil sedan. Mobil itu melaju dengan tenang tanpa terasa terburu-buru. Keadaan itu membuatku tertidur pulas. Ketika aku bangun, om Karjo memberitahuku bahwa tempat tujuan kami masih jauh. Tidurlah. Aku pun kembali memejamkan mata, kembali terlelap. Kami tiba malam hari di tempat itu. Aku heran, karena tempat ini amat sepi dan jauh dari keramaian. Kami pun turun dari mobil. Aku melihat pada saat yang bersamaan, seorang wanita dan dua lelaki turun dari sebuah mobil mendatangi kami. Makin dekat, aku semakin penasaran. Tapi, makin dekat, kurasa tebakanku salah. Wanita itu berjalan ke arahku, dua pria lain menunggunya, tepat beberapa meter di belakangnya. Kini kami saling berhadapan, tapi ada yang berbeda darinya.
“Nak,..ternyata kamu sudah tua,” ibuku ingin menangis melihatku.
Aku terkejut, ternyata ibuku sudah berias seperti seorang pelacur, penuh dengan hiasan di tangannya. Jadi selama ini… Tidak mungkin ibuku seorang pelacur. Ia mendekatiku, berharap tangannya akan mampu membelaiku. Tapi aku menjauh darinya dan menangis sekeras-kerasnya, meluapkan emosiku atas semua kebohongan ini. Engkau bukan ibuku, aku tak kenal denganmu, kataku dalam hati. Tapi aku tak kuasa mengeluarkan kata-kata itu. Pikiranku dibuai oleh penyesalan akan kebohongan yang terjadi atas hidupku selama ini. Tiba tiba om Karjo angkat bicara. Ini bayaran hutangku tuan, katanya sambil menunjuk ke arahku. Aku semakin bingung.
Seorang lelaki bertubuh kekar dan berkacamata hitam kemudian datang dengan sigap ke arahku. Aku tak bisa melawan lelaki itu. Semakin terkejutlah aku karena lelaki itu ternyata si Kevin. Aku ingin sekali berbisik di telinganya, mengapa semua ini kau lakukan padaku? Masihkah kau mengenalku? Atau inikah yang kau namakan janji bahwa kita akan bertemu?. Kini tak ada lagi yang kukenal. Kevin telah melupakanku sebagai bagian dari masa lalunya. Aku juga berusaha tuk tak mengenal ibu, walaupun aku darah dagingnya. Kebohongannya tidak bisa kuampuni.
Dalam mobil itu, aku terus menitikkan air mata, memaki driku sendiri. Mengapa hidupku harus menjadi serumit ini? Andai engkau ada ayah, aku pun pasti tak begini. Mobil melaju pelan. Kutengok ke langit, di sana hanya ada sang purnamasidhi sendirian saja. Purnama yang sama ketika gubuk kami dibakar beberapa tahun lalu. Ia menjadi saksi bisu dari dua peristiwa penting dalam hidupku. Ia kembali dengan keanggunan sinarnya, tetapi kali ini, ia seperti sedang tertawa melihat apa yang kualami. Ia tak berubah. Dari kejauhan, ia seolah membuntutiku, sambil tak henti-hentinya mengejekku dari atas sana.
Oleh: Sdr. Vendro Ambal, OFM