Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Ciri khas dunia dalam budaya Jawa yaitu realitas tidak dibagi dalam berbagai macam bidang yang terpisah-pisah, melainkan dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Selain itu, dunia dalam budaya Jawa bukan suatu pengertian abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana menghadapi persoalan kehidupan. Dengan demikian, jika berbicara dunia dalam budaya Jawa, maka tidak hanya berbicara agama dan mitos. Tetapi juga terkait dengan proses menanam padi, perayaan panen, kehidupan keluarga, seni tari, mistik, dan susunan desa.

Terdapat empat nilai dan makna mengenai dunia dalam budaya Jawa. Pertama, sikap terhadap dunia luar dialami sebagai kesatuan numinus antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati. Hal ini dilaksanakan dalam ritus, tanpa refleksi eksplisit pada dimensi batin. Oleh karena itu, sikap tersebut lebih kuat di desa dan dalam lapisan masyarakat yang tidak mengenal sastra. Kedua, penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Ketiga, pengalaman keakuan sebagai jalan menuju persatuan dengan yang numinus. Keempat, usaha mencapai pengalaman mistik.

Terkait dengan kesatuan antara alam numinus dan dunia, penghayatan relasi antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilihat dalam kesatuan yang tidak terpisahkan. Tindakan yang tepat terhadap kesatuan tersebut menentukan keselamatan manusia. Perlu diketahui bahwa lingkungan merupakan lingkup kehidupan masyarakat Jawa sejak kecil. Melalui lingkungan mereka menjalin relasi dengan alam. Irama alamiah seperti siang dan malam, musim hujan dan kering menentukan kehidupan masyarakat Jawa. Dari lingkungan sosial mereka belajar bahwa alam bisa mengancam, tetapi juga memberikan berkat dan ketenangan. Oleh karena itu, seluruh eksistensi masyarakat Jawa tergantung dari alam.

Perlu diketahui bahwa setiap tahap penanaman dan penuaian padi serta berbagai macam tugas sebagai petani dipelajari dalam lingkungan. Dengan demikian, hidup masyarakat Jawa memeroleh keteraturan. Melalui lingkungan mereka belajar menjalin relasi dengan alam, di mana irama alam menjadi iramanya sendiri. Dengan kata lain, mereka belajar tentang segala sesuatu yang harus dikerjakan pada saat yang tepat. Begitu pula dengan kekuatan alam, disadari sebagai peristiwa penting kehidupan. Misalnya kehamilan, kelahiran, kematangan seksual, pernikahan, menjadi tua, dan kematian.

Para petani Jawa menemukan identitas dalam kelompok. Selain itu, melalui kelompok mereka berhadapan dengan alam yang menentukan seluruh hidupnya. Hal ini terungkap dalam pertanian, di mana tingkat kerajinan petani menjadi prasyarat keberhasilan panen. Selain itu, keberhasilan panen juga tergantung dari kekuatan alam, yaitu matahari, hujan, angin, dan hama. Perlu diketahui bahwa bencana alam seperti banjir dan letusan gunung berapi menunjukkan kekuatan alam.

Pergulatan dengan alam membantu masyarakat Jawa meletakkan dasar masyarakat dan kebudayaan. Secara khusus penanaman padi memaksa mereka mengembangkan kerjasama sosial. Penanaman padi mendorong kegiatan yang terarah pada pengendalian kekuatan alam yang ganas. Oleh karena itu, masyarakat Jawa dipacu mengusahakan kerja sama, saling membantu. Selain itu, relasi antardesa harus dipertahankan untuk mengaktualisasikan perdamaian. Terkait dengan hal ini, kecakapan teknis, ketrampilan berorganisasi, pemeliharaan perdamaian sosial, perkembangan kelompok yang selaras, dan keutamaan sosial membentuk watak masyarakat Jawa.

Menurut masyarakat Jawa, alam merupakan sumber rasa aman. Karena alam dilihat sebagai kekuatan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu, alam inderawi bagi masyarakat Jawa merupakan ungkapan alam gaib, misteri penguasa yang mengelilinginya. Melalui alam mereka memeroleh eksistensi dan menggantungkan diri. Karena alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupannya. Dalam alam mereka mengalami ketergantungan pada kekuasaan adiduniawi, alam gaib. Perlu diketahui bahwa kosmos, kehidupan, benda-benda, dan berbagai macam peristiwa yang terjadi di dunia merupakan suatu kesatuan yang terkoordinasi serta teratur. Kesatuan eksistensi di mana gejala material dan spiritual mempunyai makna melampaui segala sesuatu yang terlihat secara inderawi.

Masyarakat Jawa menegaskan bahwa alam empiris mempunyai kaitan dengan alam metempiris (alam gaib), keduanya saling meresapi. Tidak hanya pengalaman empiris (alam dan sesama manusia), pengalaman iman yang eksplisit ditempatkan dalam dimensi metafisik. Oleh karena itu, pengalaman empiris masyarakat Jawa tidak hanya memuat yang empiris, tetapi juga mencakup alam metempiris. Dengan kata lain, alam empiris senantiasa diresapi alam gaib.

Kepekaan terhadap dimensi gaib dalam dunia empiris diungkapkan melalui berbagai macam cara. Misalnya upacara rakyat di mana mitos kuno dimainkan, mencakup asal-usul suku, keselarasan dan gangguan, perkawinan, kesuburan, dan penanaman padi. Upacara tersebut memberi kesempatan masyarakat ambil bagian dalam pengalaman adikodrati. Hal ini memerlihatkan bahwa kesatuan mistik antara masyarakat dan kosmos terjaga.

Dewasa ini berbagai macam upacara tersebut hampir tidak dikenal lagi. Namun, banyak petani Jawa tetap menghormati Dewi Sri (dewi padi), karena kepadanya masyarakat Jawa menggantungkan diri supaya memeroleh tanah yang subur dan keluarga yang harmonis. Dalam rangka menghormati dewi padi, perempuan Jawa memotong batang padi dengan ani-ani, pisau kecil yang tersembunyi dalam tangan. Perlu diketahui bahwa proses pertumbuhan padi sampai saat ini belum kehilangan sifat religiusnya dan dirayakan dengan slametan.

Masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilihat sebagai suatu kesatuan yang terungkap dalam keyakinan bahwa semua peristiwa alam empiris bertalian erat dengan alam metempiris. Masyarakat dan alam berhubungan dengan alam adikodrati. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi dalam suatu realitas berkaitan dengan realitas “yang lain”. Dengan demikian, manusia tidak boleh bertindak gegabah, seolah-olah persoalan yang terjadi sebatas dimensi sosial dan alamiah. Hal ini terlihat dalam tindak-tanduk, masyarakat Jawa harus bersikap sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan roh dan kekuatan halus. Cara mengatasi pertentangan tersebut yaitu belajar dari pengalaman, membedakan sikap yang mendatangkan celaka dan keselamatan (slamet).

Namun, belajar dari pengalaman tidak mencukupi. Masyarakat Jawa harus mengetahui tindakan yang mendatangkan keselamatan dari tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya memuat pengalaman bersama generasi pendahulu yang sudah meninggal. Dalam kurun waktu berabad-abad, masyarakat Jawa belajar bertindak dalam keselarasan dengan alam raya dan roh yang menghuninya. Pengalaman tersebut terungkap dalam pelbagai tradisi dan adat-istiadat. Setiap orang yang berpegang pada adat-istiadat merasa aman, terselamatkan dari kekuatan kosmos dan roh tidak perlu ditakuti.

Ketika berhadapan dengan alam, masyarakat Jawa berusaha membebaskan diri darinya dengan merohanikan atau menghaluskannya. Karena alam pada dirinya merupakan alam kasar. Alam asli masyarakat Jawa mengerikan dan menakutkan, tempat kebuasan, penuh bahaya, dan penuh dengan roh yang tidak dikenal. Oleh karena itu, alam asli menjadi tempat bertapa. Bagi mereka yang mencari kesaktian, alam merupakan tempat tinggal sementara dan aktualisasi diri.

Bagi masyarakat Jawa alam merupakan wilayah yang harus dibersihkan untuk memeroleh tanah yang memberi berkat. Hutan yang belum dibuka adalah tempat roh dan binatang buas, bukan tempat manusia. Terkait dengan hal ini, para priyayi kurang memerhatikan alam, lingkungan alamiahnya. Karena para priyayi melihat pekerjaan sebagai kegiatan manusia yang kasar. Misalnya beberapa puluh tahun yang lalu sejumlah tempat di Jawa Tengah tidak banyak mendapat perhatian, kurangnya pemeliharaan gedung dan perawatan alam. Baru sesudah wisatawan mulai berdatangan, gedung kraton di Yogyakarta dan Surakarta dipugar.

Pola relasi manusia dengan alam harus sampai pada tataran turun ke dalam batin. Semakin turun ke dalam batin, manusia semakin menyadari dasar Ilahi dan persatuan dengan ciptaan lainnya. Menurut masyarakat Jawa, kesadaran bukan hanya suatu pengertian spekulatif, melainkan pengalaman eksistensial tentang dirinya sendiri. Pengalaman tersebut terbuka dalam rasa (rasa). Rasa merupakan kata kunci dalam tradisi dan budaya Jawa. Rasa merupakan kemampuan merasakan berbagai macam dimensi, misalnya rasa jasmani-inderawi, rasa akan kedudukannya dalam suatu interaksi, rasa kesatuan dengan alam semesta, rasa akan penentuan eksistensi oleh takdir, dan rasa akan tindakan yang dilakukan. Selain itu, kata rasa juga bermakna pengertian, misalnya pengertian mengenai tanda. Dalam rasa, realitas dan pengertian membuka diri.

Kesadaran petani Jawa yang mengalami diri dalam keselarasan dengan masyarakat, alam, dan roh terungkap dengan jelas. Selain itu, ahli mistik Jawa menemukan realitas dalam batin yang sebenarnya tidak begitu berbeda dengan pengalaman para petani. Menurut para petani Jawa, ukuran keberhasilan hidup adalah pengalaman slamet, ketenangan batin dan tidak adanya ancaman berupa konflik serta kekacauan. Sedangkan menurut ahli mistik Jawa, ketenteraman hati (katentremaning manah) tercapai dalam rasa tenang. Keduanya meyakini bahwa titik acuan terakhir berupa “keakuan”. Oleh karena itu, para petani mengusahakan keterlindungan dalam lingkungan dan priyayi belajar mengontrol eksistensi diri.

Para petani Jawa menegaskan bahwa nasib terungkap dalam koordinat yang menentukan kerangka kehidupan dan pekerjaannya, yaitu kondisi geografis desa yang meliputi sungai, gunung, dan arah mata angin. Selain itu, juga mencakup kekuatan alam berupa matahari, hujan, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Proses kerjanya ditentukan musim, di mana masa paceklik dan kesejahteraan tergantung dari kekuatan yang tidak berada di bawah kontrolnya. Sedangkan menurut para priyayi, takdir teraktualisasi dalam tatanan hierarkis, kedudukannya dalam masyarakat. Hal ini juga menentukan kehidupan dan kewajibannya.

Dalam antropologi Jawa, manusia bukan penguasa ciptaan, melainkan pribadi yang bersekutu dengan bentuk kehidupan lainnya. Oleh karena itu, konsep komunitas terdiri dari dunia “yang terlihat” (manusia dan ciptaan lainnya) dan “yang tidak terlihat” (leluhur yang sudah meninggal dan Allah). Dengan kata lain, manusia hidup dan menjalin relasi dengan Allah, sesama manusia, dan ciptaan lainnya. Perlu diketahui bahwa identitas manusia berasal dari ontologi relasional tersebut.

Selain itu, manusia menempati posisi di tengah dan berinteraksi secara aktif dengan alam semesta. Gagasan tentang pribadi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persekutuan antarsubjek di antara berbagai macam entitas yang membentuk alam semesta. Oleh karena itu, kesejahteraan manusia terkait dengan kesejahteraan ciptaan lainnya. Jika manusia menyalahgunakan alam, maka alam melakukan tindakan serupa kepada manusia. Karena pribadi manusia dan kosmos saling melengkapi, keduanya tidak dapat eksis tanpa terjalinnya relasi.

Daftar Pustaka:

Geertz, Clifford. The Religion of Java. New York: The Free Press, 1969.

Geertz, Hildred. The Javanese Family. New York: The Free Press, 1961.

Mulder, Niels. Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and Change. Singapore: Singapore University Press, 1978.

Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 1988.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here