Suasana petang ini sungguh berbeda dari sebelumnya. Hujan turun tiada henti seakan hendak menyiram semua pahumaan (ladang) masyarakat Dayak Meratus yang lama merana dilanda kekeringan. Listrik padam sejak siang. Sunyi sepi menyelimuti kampung Magalau.
Seperti biasa, setiap sore aku selalu mengunjungi umat belakang pastoran, dari rumah ke rumah. Namaku Andong, seorang Fransiskan muda yang sedang menjalankan masa tahun orientasi pastoral (TOP) di paroki St. Fransiskus Assisi Gendang Keuskupan Banjarmasin. Sejak pertama tiba, aku merasa dikirim ke bumi Meratus ini merupakan anugerah dari Allah karena aku dipertemukan dengan orang-orang Dayak dan orang Banjar yang sangat baik.
Sore itu, aku kunjungi rumah Ahok salah seorang Orang Muda Katolik (OMK) yang letaknya sekitar 200 meter dari pastoran. Aku beberapa kali ke rumah ini, selain mengunjungi juga hendak menghilangkan kepenatan. Lagi pula, rasa-rasanya pastoral kunjungan ke rumah merupakan cara terbaik untuk mendekatkan diri dengan umat terutama di kampung kecil seperti ini. Apalagi, umat Katolik di sini yang adalah orang Dayak dusun dan mereka belum terlalu lama dibaptis menjadi Katolik. Jadi, aku rasa mereka harus selalu dikunjungi supaya relasi dengan mereka menjadi begitu dekat. Lagipula, jumlah mereka sangat sedikit sehingga menurut perhitunganku semua akan bisa dikunjungi di rumahnya masing-masing.
Kunjungan itu sungguh berbeda dari biasanya lantaran suasana rumahnya Ahok yang berada dekat sungai ini terasa mencekam. Suara titik-titik hujan yang turun seakan melarang orang di rumah itu berbicara. Sunyi sekali. Kumasuki rumahnya, menuju dapur, dan menjumpai kakek Linus, (ayah Ahok) sedang duduk di dapur. “Halo, selamat sore!” sapaku dengan semangat. “Sore Frater” jawab si kakek dengan senyuman yang tulus. “Kayapa (bagaimana) hujan ini kada (tidak) berhenti dari siang. Awet banar,” celotehku membuka percakapan. Kakek Linus membalas dengan senyuman.
“Frater lama udah nggak ke sini” tanya Iong, kakak Ahok sambil mengisap rokok. Ihong telah berumah tangga dan pernah bekerja di perusahaan sawit. “Waduh, ulun (saya) selama satu minggu ini ke stasi dampingi umat latihan koor makanya nggak ada di sini” jawabku dengan nada meyakinkan. “Enak ni kalau ngerokok sore-sore kaya gini pas hujan lagi, enak banar” lanjutku, berharap ditawari rokok oleh bapak yang sangat aktif di gereja ini. “Rokoklah Frater apalagi ditemani kopi pasti tambah enak, hilang semua persoalan,” dugaanku tepat. Sebungkus rokok kretek diletakkan di hadapanku. Percakapan senja pun dimulai. Segelas kopi dan rokok menjadi pemicunya.
Lama kami bercakap. “Frater taulah ulun ini lagi stress banar,” Iong membuka pembicaraan serius setelah berbasa-basi. “Emang Pian (Anda) ada masalah apa? tanyaku dengan nada penasaran dan empatik. “Si Puku lari dari rumah sama pacarnya tadi malam jam dua belas” jawabnya dengan suara berat. “Anak-anak zaman sekarang percuma saja sekolah, eh malah pengen cepat menikah. Ulun kada kawa (saya tidak bisa) memahami cara berpikir anak modern sekarang. Orang tua ngalih (susah) mencari uang. Sekolah jauh-jauh ke kota tapi hasilnya menjadi aneh begini,” lanjutnya dengan nada yang semakin kesal. “Frater, kalau dia pulang, saya akan bunuh dia, bikin malu keluarga saja.” Amarah tersembul dari ucapannya. “Tadi pagi keluarga suami Puku kemari dan melaporkan bahwa mereka sudah tinggal satu rumah dan siap dinikahkan secara adat,” Ilong memberitahu dengan detail.
Ilong sebagai anak pertama yang bertanggung jawab bagi adik-adiknya merasa sangat kecewa atas keputusan Puku untuk menikah pada usia 13 tahun, usia yang masih sangat muda. Puku sekolah di Banjarmasin. Tiga hari lalu pulang ke rumah lantaran wabah Covid-19 memaksa sekolah menutup seluruh aktivitas belajar. Rupanya, selama beberapa hari ia sering bertemu dengan pacarnya, Nober. Entah apa yang mereka pikiran sampai akhirnya memutuskan kawin lari. Si Puku dibawa ke rumah Nober tengah malam. Sungguh pandemi Covid-19 membawa malapetaka berlipat. Keluarga tidak merestui keputusan Puku.
Tidak lama setelah percakapan muram itu, aku langsung ke pastoran dan melaporkan kejadian itu kepada Pastor Bojes, OFM selaku pastor paroki. “Pater, si Puku udah kabur dari rumah dan udah menikah” laporku ke pastor yang pernah bertugas di India ini. “uma hea akai (waduh), sang pastor kaget bukan main. Reaksi cepatnya membawa aku kembali bertemu keluarga Puku untuk mengajak mereka membatalkan pernikahan itu.
Niat kami cukup sulit untuk dilaksanakan sebab Puku dan Nober sudah tinggal satu rumah. Itu berarti, keduanya siap untuk dinikahkan secara adat Dayak. Jika tidak, menurut kepercayaan orang Dayak, semua warga kampung tempat mereka tinggal akan mendapatkan malapetaka besar dari para dewa. Kendati demikian, kami tetap kokoh pada pendirian supaya malam itu juga Puku dipulangkan dan pernikahan dibatalkan.
“Kaya apalah (bagaimana) bisa si Puku ini mau menikah di usia muda?” tanya Pastor Bojes kepada kakek Linus dengan nada cemas. “Ulun kada paham mo (saya tidak mengerti)” jawabnya dengan mata berkaca-kaca. “Romo, ulun minta bantuan Pian-lah, mana yang terbaik untuk keluarga kami dan si Puku” ujar kakek yang memiliki belasan anak ini dengan nada memohon. “Kami akan membatalkan pernikahan mereka bapak” ujar Pastor Bojes meyakinkan. “Kami ikut saja mo, kami serahkan kasus ini ke tangan Romo,” kakek Linus menjawab pasrah.
Malam semakin pekat. Persiapan membatalkan pernikahan belum rampung. Kami harus meminta izin mama si Puku yang sedang berada di ladang menjaga jagung hasil panenan. “Mama kami ke sini mau nanya soal Puku yang kabur tadi malam” Pastor Bojes membuka percakapan dengan ibu yang sedang merokok ini. “ Mo ae (Ya Romo), ulun tidak tega membatalkan pernikahan ini. Ulun kada hakun (saya tidak mau) mengecewakan dia. Dulu sejak tamat SD dia ingin sekali menikah namun dibatalkan oleh kakak-kakaknya. Kalau pernikahan ini dibatalkan lagi pasti dia kecewa banar. Mo dan ter ae (Romo dan Frater) biarkan dia menikah karna itu keinginan dia dari dulu. Dia itu sebetulnya kada hakun (tidak mau) sekolah. Dia terpaksa saja sekolah di kota,” lanjutnya sambil meluruh biji jagung. “Percuma saja Romo dan Frater ke sana, kada kawa dibatalkan pernikahan bubuhannya (mereka).
Jawaban itu membuat kami semakin bingung. “Di sini Romo dari dulu kada apa-apa menikah di usia muda. Ibu ini dulu menikah muda. Sanggup ae (saja) bekerja di ladang dan mengurus anak-anak bahkan sampai belasan,” paparnya seolah meyakinkan kami bahwa pernikahan dini atau di bawah umur itu tidak masalah. “Itu kan dulu, anak-anak sekarang fisiknya nggak sekuat orang zaman dulu. Ibu tidak bisa samakan ibu dan anak ibu. Perjalanan dia masih panjang, dia masih kelas dua SMP. Dia harus sekolah dulu” jelas Pastor Bojes dengan sedikit kesal.
Keesokan harinya, kendati tidak disetujui sang ibu kami tetap mengunjungi rumah calon suami Puku untuk membatalkan pernikahan. Sial, niat membatalkan pernikahan rupanya tidak terwujud. Bagaimana tidak, kami sama sekali tidak bisa masuk kampung Lipon. Jalannya rusak parah lantaran baru saja diguyuri hujan, bahkan motor pun tidak bisa lewat. Apalagi mobil yang hanya bisa dibawa di jalan aspal kota sama sekali tidak bisa lewat.
“Ya Tuhan sungguh perjalanan ini menyakitkan. Kami menginginkan si Puku tetap sekolah, ” gumamku dalam hati. Karena jalannya tidak bisa dilewati kami kembali ke pastoran. “Pater, kayanya leluhur Dayak tidak mengizinkan kita membatalkan pernikahan ini” ujarku di tengah perjalanan membuka percakapan setelah beberapa menit kami diam karena bingung dan putus asa. “Ngawur lu” balas Pastor Bojes setengah berteriak. Marah dan kesal. “Ya nggaklah, maksud kita baik. Kalau mereka mau menikah, ya jangan sekarang. Nanti aja, tunggu Puku udah tamat kuliah. Si Puku masih terlalu kecil bro. Emang lu kira menikah itu gampang” lanjutnya dengan nada kesal sambil menyetir si avansa hitam.
Tiba-tiba Ahok, kakak Puku bersuara. “Romo dan Frater, kami rela kok kalau memang si Puku udah menikah. Mau gimana lagi. Tapi, niat baik romo dan frater untuk membatalkan pernikahan ini demi masa depan Puku yang lebih baik merupakan niat yang sangat mulia. Cinta mereka lebih kuat daripada niat baik kita. Ya udah, kita pasrah saja. Tapi, saya akan berusaha Romo meminta Puku supaya nanti mereka dinikahkan secara katolik ” ujar Ahok dengan suara tenang sambil memandang pohon-pohon sawit dari dalam mobil.
Bagiku, pengalaman ini sungguh menyedihkan. Selain soal masalah keimanan, Puku seorang Katolik akan mengikuti agama suaminya dan jumlah orang Katolik yang sedikit itu akan semakin berkurang, ada yang lebih mencemaskan lagi bagiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Puku harus bekerja mengolah kebun pada usia yang masih sangat muda. Dia harus berkebun dan mengurus anak yang nanti mungkin jumlahnya belasan dengan sekuat tenaga. Apalagi rumah suaminya berada di tengah hutan, jauh dari perkampungan. Entah generasi seperti apa yang akan dilahirkan oleh Puku. Entah seperti apa anak-anak itu jadinya nanti. Entah seperti apa jadinya Puku di masa depan. Padahal, pendidikan bisa menjadi “tameng” melawan kerasnya tanah Kalimantan diperlakukan oleh negeri ini.
Hatiku pedih menyaksikan peristiwa ini. Menikah dan memilih pasangan hidup memang hak setiap orang. Namun, kualitas masa depan yang dibangun memang perlu dipikirkan secara matang. Bukan hanya soal keberlanjutan hubungan tetapi juga soal kualitas generasi masa depan yang akan dihasilkan. Bagiku, generasi masa depan masyarakat Dayak harus lebih baik dari generasi sebelumnya, dari segi kesehatan, pendidikan, maupun dari segi kultur atau kebiasaan. Dunia berkembang pesat kadang dalam cara yang tidak dipahami dan semua berada dalam pusaran itu. Jika tidak siap, pasti akan hilang tak berbekas. Lebih buruk lagi, maaf, dunia akan menjadikan mereka yang tidak siap itu sebagai sampah masyarakat. Aku tidak ingin itu terjadi bagi masyarakat Dayak di tempat kini aku berpijak.
Aku ingin pada masa depan, generasi-generasi Dayak yang cerdas dan jenius bisa dengan gigih mempertahankan tanah Kalimantan, mempertahankan identitas dan kebudayaannya serta menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Aku ingin agar anak-anak Kalimantan dapat beria-ria menyaksikan tanah mereka dibangun tanpa merusak lagi hutan yang telah nyaris hancur dan membunuh Orang Utan. Aku ingin, generasi Dayak masa depan menjadi penyelamat atas semua kerusakan yang secara sengkarut telah menciptakan banyak kehancuran.
Wilfridus Papin, OFM