Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
1. Pengantar
Tersebarnya Injil ke seluruh penjuru dunia tidak terlepas dari peran para pewarta. Para pewarta membawa dan menyampaikan kabar keselamatan Kristus kemana pun Allah menghendaki. Para pewarta membina jemaat secara berkelanjutan, supaya jemaat dapat menjalani hidup sesuai dengan kehendak Kristus. Kepada orang-orang yang belum mengenal Allah, kabar keselamatan harus disampaikan. Sedangkan bagi mereka yang telah mengikuti Kristus, diajak untuk lebih mengenal-Nya. Hal ini sangat menonjol dalam hidup dan karya-karya Paulus, mewartakan kabar keselamatan.[1] Oleh karena itu, supaya dapat memahami hidup dan karya-karya Paulus dengan baik, penulis menguraikan dan membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Pertama, Paulus Sebagai Musuh Kristus. Kedua, Perjumpaan Paulus dengan Kristus Yang Mulia. Ketiga, Paulus Sebagai Rasul Segala Bangsa. Keempat, Akhir Hidup Paulus yang Penuh Kesan.
2. Paulus Sebagai Musuh Kristus
2.1 Paulus dan Tarsus
Paulus menyatakan diri sebagai “orang Yahudi, dari Tarsus[2], kota yang terkenal di Kilikia[3]” (Kis 21:39). Perlu diketahui bahwa Paulus merupakan anak kota. Kota besar, bersemarak, dan mempunyai pemandangan alam yang indah. Selain itu, kota tersebut menjadi pusat perdagangan dan peradaban. Kota ini ditempati oleh orang-orang Yunani dan Yahudi.[4] Oleh karena itu, orang-orang Yunani dan Yahudi mempunyai pengaruh pada hidup serta kepribadian Paulus.
Paulus[5] mempunyai perhatian pada kehidupan sosial, hukum, dan disiplin militer. Meskipun tubuhnya terkesan ringkih, sejatinya Paulus adalah pribadi yang peka dan setia pada tradisi. Oleh karena itu, Paulus mampu membawakan diri dengan baik dan mempunyai peranan penting dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang terjadi pada waktu itu.[6] Persoalan-persoalan yang dihadapi Paulus dapat dilihat dalam surat kepada jemaat di Korintus dan Galatia.
2.2 Paulus Sebagai Orang Farisi[7]
Ketika berhadapan dengan Raja Agripa, Paulus berkata, “sudah lama mereka mengenal aku dan sekiranya mereka mau, mereka dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah hidup sebagai seorang Farisi[8] menurut mazhab yang paling keras dalam agama kita…” (Kis 26:5). Hal ini terjadi karena lingkungan Tarsus mempengaruhi hidup dan kepribadian Paulus. Namun, sejatinya Paulus adalah orang Yahudi yang taat. Meskipun berpendirian sebagai orang Yahudi yang taat, Paulus dan keluarganya mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.[9] Menjadi warga negara Romawi dan masuk kalangan para pedagang.
Orang Farisi adalah orang yang maju dalam pengajaran, tetapi kolot dalam tata-susila.[10] Oleh karena itu, mereka mampu mempertahankan tradisi dan membuat hukum lisan yang mempunyai kekuatan seperti hukum tertulis. Selain itu, mereka menganggap diri lebih baik dari rakyat biasa. Akibatnya, seringkali mereka bersikap munafik. Sejak muda Paulus menjadi orang Farisi sejati, bangga dan puas dengan dirinya sendiri. Tidak membutuhkan orang lain dan tidak memerlukan rahmat Allah untuk sampai pada keselamatan.
Paulus belajar pada Gamaliel[11] (pengganti Rabbi Hillel). Oleh karena itu, Paulus mewarisi pendirian dan gagasan gurunya. Dalam kurun waktu lima tahun (20-25 M), Paulus bergelut dengan penafsiran Kitab Suci dan memberikan tanggapan pada berbagai macam persoalan yang terjadi pada waktu itu. Selain itu, berbagai macam latihan di bidang intelektual memotivasi Paulus. Sehingga Paulus mencintai ketangkasan dialektis dan membuat tafsiran yang gemilang.[12]
Ketika Yesus tampil di depan umum, Paulus tidak berada di Yerusalem.[13] Paulus kembali ke Yerusalem sesudah Yesus wafat di salib dan dibangkitkan oleh Allah. Pada waktu itu, pengikut Yesus di Yerusalem semakin banyak. Mereka mengakui bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan dan barangsiapa percaya kepada-Nya akan diselamatkan. Keyakinan semacam ini tentu saja tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut Paulus.[14] Oleh karena itu, Paulus melakukan berbagai macam cara supaya orang-orang tidak mengakui Yesus sebagai Mesias.[15] Tindakan Paulus tersebut mengakibatkan penolakan. Para rasul di Yerusalem menolak ketika Paulus ingin menggabungkan diri dengan mereka. Dengan kata lain, tindakan Paulus yang kejam terhadap orang-orang Kristen di Yerusalem melukai dan membekas di hati jemaat.
Sampai pada akhirnya, Paulus menerima tugas perutusan dari Kristus dan menjadi rasul bagi segala bangsa. Tugas perutusan tersebut diterima dan dilaksanakan dengan baik. Namun, sebagai orang Yahudi diaspora, Paulus sangat terbuka dan taat pada warisan leluhur. Selain itu, dalam tugas perutusannya, Paulus melihat bahwa orang-orang kafir hidup tanpa harapan, tanpa Allah. Hal ini memotivasi dan membuat Paulus berani mempertaruhkan hidup untuk mengingatkan dan menyelamatkan orang-orang kafir. Tindakan Paulus ini dilakukan setelah hidupnya diubah oleh Kristus.
3. Perjumpaan Paulus dengan Kristus Yang Mulia
3.1 Pertobatan Paulus[16]
Ketika melakukan perjalanan ke Damsyik untuk menganiaya jemaat, Paulus berjumpa dengan Kristus yang menyatakan diri dan kehendak-Nya.[17] Peristiwa ini merupakan pewahyuan diri Yesus sebagai Allah. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengatakan bahwa peristiwa di Damsyik[18] merupakan pewahyuan, “tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan anak-Nya di dalam aku…” (Gal 1:15-16). Setelah menyatakan hal itu, Paulus pergi ke Yerusalem. Ketika melaksanakan tugas perutusan sebagai rasul, Paulus menulis, “bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankan aku telah melihat Yesus Tuhan kita?” (1Kor 9:1).
3.2 Paulus Diciptakan (Diubah) Menjadi Pribadi yang Baru
Berdasarkan kaca mata manusiawi, tindakan Paulus menganiaya dan membunuh jemaat tidak mungkin dapat diubah.[19] Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dalam diri Paulus bukan sebuah proses perubahan yang biasa. Perubahan tersebut terjadi secara tiba-tiba, di luar nalar manusia. Oleh karena itu, Paulus diciptakan (diubah) menjadi pribadi yang baru. Paulus mengatakan, “sebab Allah yang berfirman ‘dari gelap akan terbit terang’. Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dan pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus” (2Kor 4:6). Perjumpaan Paulus dengan Kristus mengubah hidupnya. Paulus menjadikan Kristus sebagai pusat hidupnya. “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” (Flp 3:14).[20]
3.3 Paulus Dipanggil dan Diutus
Perjumpaan Paulus dengan Kristus tidak dinikmati sendiri. Perjumpaan tersebut merupakan panggilan dan tugas perutusan untuk mewartakan kabar gembira dan keselamatan kepada semua orang. Sebagaimana dilukiskan dalam Kis 22:14-15, Ananias berkata kepada Paulus, “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kau lihat dan kau dengar.” Dengan demikian, panggilan dan tugas perutusan Paulus dikaitkan dengan pengalaman batinnya yang mendalam akan Kristus. Oleh karena itu, Paulus menegaskan, “untuk Injil inilah aku telah ditetapkan sebagai pemberita, sebagai rasul dan sebagai guru… aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:1-12).
4. Paulus Sebagai Rasul Segala Bangsa
4.1 Awal yang Baru dalam Hidup Paulus
Barnabas mempunyai jasa besar bagi Paulus.[21] Ketika berada di Yerusalem, Barnabas menerima Paulus dan membawanya kepada para rasul. Perlu diketahui bahwa Barnabas adalah pemimpin yang bijaksana. Selain itu, Barnabas melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Paulus. Oleh karena itu, Barnabas mengangkat Paulus dari kesendiriannya di Tarsus, memasukkannya dalam lingkungan jemaat di Antiokhia. Sebagaimana dilukiskan dalam Kis 11:25, “pergilah Barnabas ke Tarsus untuk mencari Saulus; dan setelah bertemu dengan dia, ia membawanya ke Antiokhia.” Melalui kerjasama yang baik antara Barnabas dan Paulus, Gereja di Antiokhia berkembang pesat. Barnabas membimbing Paulus untuk memulai dan melaksanakan tugas perutusan. Dengan demikian, Paulus masuk dalam daftar nama orang-orang yang pernah memimpin Gereja di Antiokhia.
4.2 Perjalanan Misi Paulus yang Pertama[22]
Perkembangan Gereja di Antiokhia memotivasi dan mendorong jemaat untuk membuka diri bagi cakrawala yang lebih luas.[23] Kesadaran tersebut dialami sebagai buah bimbingan Roh Kudus. Dalam Kis 13:2 dikatakan, “pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” Oleh karena itu, perjalanan misi pertama dilihat sebagai aktualisasi panggilan dan tugas perutusan Paulus. Hal ini dilukiskan dalam Kis 14:27, “setibanya di situ mereka memanggil jemaat berkumpul, lalu mereka menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka, dan bahwa ia telah membuka pintu bangsa-bangsa lain kepada iman.”
4.3 Arah Baru dalam Hidup Paulus
Keterbukaan yang diusahakan dan ditunjukkan oleh Gereja di Antiokhia bukan tanpa masalah. Muncul permasalahan terkait keselamatan. Bagaimana nasib orang-orang bukan Yahudi, apakah mereka juga memperoleh keselamatan? Selain itu, beberapa orang Yahudi datang ke Antiokhia dan memberikan pengajaran, “jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan” (Kis 15:1). Oleh karena itu, para rasul dan penatua melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut. Berdasarkan hasil sidang, dinyatakan bahwa keselamatan tidak diperoleh melalui pelaksanaan hukum adat istiadat nenek moyang, melainkan oleh kasih karunia Allah.[24]
4.4 Paulus Sebagai Rasul dan Gembala Jemaat
Sesudah sidang di Yerusalem, tidak ada lagi masalah mengenai keselamatan bagi bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, perjalanan misi Paulus selanjutnya boleh dikatakan sebagai aktualisasi keputusan sidang di Yerusalem.[25] Selanjutnya, perjalanan misi Paulus kedua terjadi sekitar tahun 49 M (musim gugur) sampai tahun 52 M. Tidak lama kemudian perjalanan misi ketiga dimulai, yaitu pada tahun 53 M sampai tahun 58 M. Dalam perjalanan misi tersebut, Paulus mendirikan jemaat di berbagai tempat. Perlu diketahui bahwa dalam perjalanan misi kedua, Paulus menulis surat pertama dan kedua kepada jemaat di Tesalonika (sekitar tahun 50-52 M).[26] Kebanyakan surat Paulus ditulis dalam perjalanan misi ketiga. Pada waktu itu muncul berbagai macam persoalan.[27] Pada periode ini ditulis surat-surat besar, yaitu surat kepada jemaat di Galatia (tahun 55 M), 1 dan 2 Korintus (tahun 57/58 M), dan Roma (tahun 58 M).
Sebagaimana dilukiskan pada bagian akhir surat kepada jemaat di Roma, Paulus pergi ke Yerusalem.[28] Sesampainya di Yerusalem, Paulus ditangkap dan menjadi tahanan. Pada tahun 58-60 M, Paulus berada di penjara Kaisarea. Kemudian Paulus dibawa ke Roma untuk naik banding kepada kaisar.[29] Sekitar tahun 61-62 M, Paulus hidup sebagai tahanan rumah. Paulus memanfaatkan waktu yang ada untuk menulis surat kepada jemaat di Kolose, Efesus, Filemon, dan Filipi. Surat-surat ini disebut sebagai surat-surat dari penjara. Sesudah itu tidak banyak hal yang dapat diketahui mengenai kehidupan Paulus.
4.5 Paulus Mempunyai Kasih yang Berlimpah
Latar belakang kehidupan, tabiat, cara pandang dan karya kerasulannya, membawa Paulus masuk ke dalam berbagai macam kesulitan.[30] Paulus sering ditolak, diusir, dan akan dibunuh. Namun, Paulus mampu bertahan dan memulai karya-karyanya lagi. Optimisme dan semangat Paulus terlihat sejak dia tampil untuk pertama kalinya sebagai pewarta kabar keselamatan. Oleh karena itu, pola misi Paulus menjadi semakin jelas, meninggalkan suatu tempat karena diusir dan memulai karya di tempat yang baru. Kemampuan untuk memulai lagi, seperti tampak dalam hidup dan karya-karya Paulus, bukan sekadar kemampuan manusiawi. Hal ini merupakan kasih dan karunia Ilahi yang dicurahkan ke dalam diri Paulus. Tampak jelas bahwa kuasa Kristus yang bangkit merasuki hidup dan karya-karya Paulus.
5. Akhir Hidup Paulus yang Penuh Kesan
5.1 Pesan-Pesan Paulus
Sejak ditangkap di Yerusalem, Paulus memulai kisah panjang. Kisah panjang ini disebut sebagai kisah sengsara Paulus. Perlu diketahui bahwa Paulus mengumpulkan para penatua dan menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada mereka. Pesan-pesan terakhir tersebut disebut sebagai pidato perpisahan Paulus (Kis 20:18-35). Paulus ingin mewariskan nilai-nilai kehidupan, yaitu kerasulan, kegembalaan, dan pelayanan.[31] Dalam Perjanjian Baru hanya ada dua tokoh yang menyampaikan pidato semacam ini, Yesus (Yoh 13-17 dan Luk 22:24-38) dan Paulus. Keduanya mengucapkan pidato menjelang akhir hidup. Oleh karena itu, Paulus dan Yesus ingin mendapatkan kepastian bahwa nilai-nilai kehidupan yang mereka hayati terwariskan.[32]
5.2 Paulus Sebagai Pelayan
Nada pidato perpisahan Paulus sangat agung. Paulus mengatakan bahwa dirinya telah melayani Tuhan dengan bercucuran air mata. Oleh karena itu, Paulus lebih dikenal sebagai pelayan. Menurut Paulus, hakikat panggilan dan tugas perutusannya yaitu menjadi pelayan.[33] Dalam pidato perpisahan, Paulus menampilkan diri sebagai pelayan yang patut dicontoh. Sebenarnya Paulus tidak menuntut agar dirinya dijadikan model utama dalam pelayanan. Karena Paulus menyadari dirinya sebagai murid Yesus. Dengan demikian, Yesus adalah model yang paling utama. Selain itu, pelayanan Paulus dilaksanakan dengan hadir diantara jemaat yang sangat disayanginya.
5.3 Paulus Terlibat Penuh dalam Suka dan Duka Jemaat
Tinggal diantara jemaat belum berarti banyak. Orang dapat tinggal di lingkungan tertentu dan tetap terasing dari lingkungannya. Tidak demikian halnya dengan Paulus. Salah satu tanda keterlibatan Paulus yaitu air mata yang dicucurkan dalam melaksanakan tugas perutusan.[34] Air mata menjadi tanda bagi sesorang yang melayani dengan penuh kasih, tekun, dan pengertian. Kepada jemaat di Korintus Paulus menulis, “aku menulis kepada kamu dengan hati yang sangat cemas dan sesak dan dengan mencucurkan banyak air mata…” (2Kor 2:4). Dengan demikian, Paulus adalah pribadi yang sangat mencintai jemaat. Orang yang sungguh mencintai, dapat masuk ke dalam pengalaman sendih yang mendalam, tetapi juga pada kegembiraan yang mendalam.[35] Sebaliknya, orang yang sedikit mencintai, mengalami sedikit penderitaan dan secuil kegembiraan.
5.4 Paulus Sebagai Pribadi yang Rendah Hati
Sebagai rasul yang rendah hati, Paulus mempunyai penilaian yang benar terhadap diri sendiri. Bahkan Paulus menilai dirinya melalui kelemahan dan kegagalan yang pernah dialami. Kepada jemaat di Korintus Paulus menulis, “… dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah” (1Kor 15:8-9). Namun, kelemahan dan kegagalan tidak membuat Paulus berkecil hati atau menyalahkan diri sendiri. Sesudah mengalami berbagai macam penderitaan, Paulus berkata demikian, “hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati” (2Kor 1:8-9).
6. Penutup
Pewartaan kabar keselamatan yang dikerjakan oleh Allah dalam diri Kristus tidak terlepas dari peran para pewarta. Para pewarta membawa kabar keselamatan ke seluruh penjuru bumi, sehingga semakin banyak orang mendengar dan percaya kepada-Nya. Paulus adalah seorang pewarta Injil yang mempunyai peranan penting dalam pewartaan kabar keselamatan pada awal perkembangan Gereja. Perlu diketahui bahwa Paulus tidak pernah bertemu langsung dengan Yesus. Dalam surat-suratnya tidak ditemukan pernyataan bahwa ia pernah berhubungan langsung dengan Yesus. Paulus hanya mengenal para pengikut Yesus sesudah Ia wafat. Menurut catatan Lukas dan Kisah Para Rasul, perjumpaan Paulus dengan Kristus justru dialami ketika ia bertindak sebagai penganiaya para pengikut Yesus. Dengan latar belakang pendidikan sebagai rabbi, Paulus masuk dalam permenungan tentang Kristus yang dijumpainya. Pengenalan akan Kristus mewarnai dan menggerakkan dirinya. Pengenalan akan Kristus menjiwai kepribadiannya, sehingga Paulus secara konsisten mengarahkan diri untuk melayani Kristus.
Daftar Pustaka
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2009.
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Penerj. Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Brunot, A. Paulus. Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Darmawijaya, St. Sekilas Bersama Paulus. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 1992.
Dufour, Xavier Leon. Ensiklopedi Perjanjian Baru. Pernerj. A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Harun, Martin. “Riwayat Rasul Paulus.” Dalam Y.M. Seto Marsunu (editor). Tak Berbatas, Tak Bermegah: Warisan Rasul Paulus. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2011.
—————. Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi. Jakarta: STF Driyarkara, 2009.
Marsunu, Y.M. Seto. Paulus: Spiritualitas Pelayan Sabda. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2010.
———————. Proto-Paulinum. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2010.
Martini, C.M. Kesaksian Santo Paulus. Penerj. Frans Harjawiyata. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Suharyo, I. Paulus Rasul Bangsa-Bangsa. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2008.
Sullivan, Kathryn dan Robert T. Siebeneck. Surat-Surat Paulus 3. Penerj. A.S. Hadiwiyata. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 1988.
Vawter, Bruce dan Barnabas M. Ahern. Surat-Surat Paulus 1. Penerj. A.S. Hadiwiyata. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 1983.
Walker, Peter. In the Steps of Sint Paul. Penerj. V. Indra Sanjaya. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
[1] Kalau Paulus lahir pada tahun 10 M dan perjumpaannya dengan Yesus terjadi pada tahun 34 M, berarti Paulus mulai mewartakan Injil pada usia 24 tahun. Paulus mempunyai pengaruh dalam mewartakan Injil di seluruh dunia. Selain itu, Paulus sangat konsisten dalam melaksanakan tugas yang diberikan Kristus sampai akhir hayat. Lih. Y.M. Seto Marsunu, Paulus: Spiritualitas Pelayanan Sabda (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2010), 2.
[2] Tarsus adalah pelabuhan penting di pantai bagian selatan Asia Kecil. Kota ini terletak beberapa kilometer ke pedalaman, dekat dengan Sungai Cydus. Jika kata “Tarsis” di Perjanjian Lama merujuk pada tempat lain, dalam sejarah yang diceritakan Kitab Suci, Tarsus, kota asal Paulus, sama sekali tidak menonjol. Namun, Tarsus mempunyai sejarahnya sendiri. Tarsus adalah kota utama dalam kerajaan Seleukid, kemudian menjadi ibu kota regional dari provinsi Roma di Kilikia. Kota ini pernah dikunjungi tokoh-tokoh besar, seperti Alexander Agung, Julius Caesar, Markus Antonius, dan Cleopatra. Lih. Peter Walker, In The Steps of Sint Paul, Penerj. V. Indra Sanjaya (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 34.
[3] Kilikia (cilicia) adalah daerah tepian laut di sebelah tenggara Turki. Lih. Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, Penerj. A.S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 338.
[4] Mereka adalah orang-orang yang taat pada iman leluhur. Tetapi mereka tidak tinggal sebagai kelompok yang menutup diri, mengambil bagian dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Lih. I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2008), 6.
[5] Dalam surat-suratnya Paulus selalu menyebut dirinya Paulos, nama yang juga dipakai dalam Kisah Para Rasul mulai dari 13:9. Sebelumnya digunakan nama Saulos (Kis 7:5; 8:1,3; 9:1), bentuk Yunani dari nama Ibrani Sya’ul. Banyak orang Yahudi pada masa itu memiliki dua nama; satu nama Semit (Sya’ul) dan satu lagi nama Yunani atau Romawi (Paulus). Nama-nama tersebut dipilih karena kesamaan bunyinya. Lih. Martin Harun, Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi (Jakarta: STF Driyarkara, 2009), 18.
[6] Kepekaan dan keterlibatan dalam berbagai macam persoalan menunjukkan bahwa sesudah menjadi rasul Yesus Kristus, Paulus tidak segan mengungkapkan keprihatinan dan kesedihannya pada jemaat yang didirikannya, tetapi juga kebanggaan dan kegembiraannya pada jemaat. Lih. I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 6.
[7] Paham Farisi menurut ajaran para rabbi besar seperti Hillel dan Gamaliel merupakan bentuk penghayatan agama yang disukai sebagian besar orang Yahudi, dilihat sebagai penafsiran sejati semangat Perjanjian Lama. Lih. Bruce Vawter dan Barnabas M. Ahern, Surat-Surat Paulus 1, Penerj. A.S. Hadiwiyata (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 1983), 12.
[8] Farisi berasal dari kata dasar bahasa Ibrani yang berarti ‘dipisahkan’. Menurut Origenes, orang Farisi adalah orang-orang yang memisahkan diri. Sedangkan Josephus menyebut orang Farisi sebagai salah satu sekte Yahudi bersama dengan orang Eseni dan Saduki. Lih. W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, Penerj. Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 103.
[9] Penyesuaian diri dengan lingkungan baru tidak melunturkan iman mereka. Paulus justru membanggakan identitasnya sebagai orang Yahudi, warisan rohani yang ia terima, dan kesetiannya pada cita-cita bangsa. Lih. I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 7.
[10] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 7.
[11] Seorang rabbi dari golongan Farisi yang terkenal pada zamannya (Kis 22:3). Lih. Y.M. Seto Marsunu, Paulus: …, 6.
[12] A. Brunot, Paulus (Yogyakarta: Kanisius, 1973), 22.
[13] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 9.
[14] Sebagaimana kebanyakan orang Yahudi, Paulus tidak dapat menerima pandangan para pengikut Yesus. Mereka melihat bahwa Yesus telah melanggar dan menentang Taurat sebagai Mesias yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi. Lih. Y.M. Seto Marsunu, Proto-Paulinum (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2010), 9.
[15] Bagi Paulus, Yesus bukan Mesias dan Anak Allah, karena Yesus mati di kayu salib. Kematian Yesus di kayu salib merupakan bukti bahwa Yesus adalah orang yang dikutuk oleh Allah (Ul 21:23). Lih. Y.M. Seto Marsunu, Paulus: …, 9.
[16] Tampaknya Paulus berbicara mengenai perubahan hidupnya yang sangat dasariah, yaitu pengalaman perjalanan menuju Damsyik sebagaimana dikisahkan dalam Gal 1:11-14. Ia mengakhiri cara hidup yang dahulu diperjuangkannya, dan sekarang merasakan kehidupan baru dalam lingkungan orang Kristen. Inilah yang kerapkali disebut sebagai proses pertobatan. Lih. St. Darmawijaya, Sekilas Bersama Paulus (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 33.
[17] St. Darmawijaya, Sekilas Bersama Paulus, 35.
[18] Damsyik adalah kota yang mempunyai sejarah panjang, lebih dari dua milenium. Dianugerahi dua sungai utama (Abana dan Parpar) yang mengalirkan air dari Pegunungan Anti-Libanon kearah barat laut. Selain itu, Damsyik menjadi sebuah oasis yang mengundang. Lih. Peter Walker, In The Steps of Sint Paul, 20.
[19] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 14.
[20] Ia tidak membiarkan diri memikirkan jarak yang telah ditempuh, melainkan memusatkan perhatian pada hal yang akan datang. Berlari seperti pelari dalam pertandingan, hingga ia dapat menerima hadiah dari Allah seperti dijanjikan Kristus. Lih. Kathryn Sullivan dan Robert T. Siebeneck, Surat-Surat Paulus 3, Penerj. A.S. Hadiwiyata (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 1988), 37.
[21] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 19.
[22] Kisah tentang perjalanan misi sebelum Sidang Yerusalem diceritakan dalam Kisah Para Rasul (Kis 13:3-14:28) dan diacu dalam 2Tim 3:11 yang Deutero-Paulinis. Surat-surat Paulus tidak memberikan rincian tentang aktivitas misionernya selama sepuluh tahun sebelum Sidang Yerusalem. Lih. Martin Harun, “Riwayat Rasul Paulus” dalam Tak Berbatas, Tak Bermegah: Warisan Rasul Paulus, diedit oleh Y.M. Seto Marsunu (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2011), 9.
[23] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 20.
[24] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 22.
[25] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 23.
[26] Inilah surat Paulus yang pertama dan sekaligus tulisan paling awal dalam seluruh Perjanjian Baru. Surat-surat ini mencerminkan masalah yang dihadapi oleh jemaat awal. Lih. I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 24.
[27] Ada masalah yang menyangkut pribadi Paulus, misalnya kedudukannya sebagai rasul. Ada pula masalah berkaitan dengan relasi antara jemaat-jemaat yang didirikan oleh Paulus dengan Gereja induk di Yerusalem. Tidak sedikit masalah pastoral yang juga berkaitan dengan masalah moral. Semuanya ini menantang Paulus untuk semakin mengembangkan permenungannya mengenai Yesus Kristus yang ia imani dengan segenap hati. Sementara itu Paulus sendiri bertambah matang. Lih. I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 24.
[28] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 24.
[29] Setelah prokurator baru, Forkius Festus tiba pada tahun 60 M, Paulus mengajukan permohonan naik banding ke Kaisar. Ia meminta diadili di Roma berdasarkan kewarganegaraan Romawinya. Festus mengabulkan permintaan itu. Lih. Martin Harun, “Riwayat Rasul Paulus”, 17.
[30] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 25.
[31] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 27.
[32] Begitulah Pulus meninggalkan kita, memberikan kesaksian akan dedikasinya yang penuh pada kerasulan dan akan kelepasannya yang mendalam. Semuanya itu merupakan tanda, bahwa ia setia kepada intuisinya yang asli: Allahlah yang menyelamatkan, Yesuslah yang menampakkan diri kepadanya dalam perjalanan menuju Damsyik. Lih. C.M. Martini, Kesaksian Santo Paulus, Penerj. Frans Harjawiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 119.
[33] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 30.
[34] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 31.
[35] I. Suharyo, Paulus Rasul Bangsa-Bangsa, 32.