Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Immanuel Kant (1724-1804) menegaskan bahwa idea tidak mempunyai fungsi konstitutif, penetapan pengetahuan mengenai kenyataan. Melainkan hanya mempunyai fungsi regulatif, mengatur berbagai macam putusan. Karena tidak mempunyai fungsi konstitutif seperti akal budi, idea tidak dapat memperluas pengetahuan manusia. Dengan kata lain, realitas yang berada di luar tidak diciptakan idea, sekadar diketahui idea.
Idea dapat diumpamakan sebagai kacamata yang menentukan atau memengaruhi manusia ketika melihat realitas. Tanpa kacamata, realitas yang berada di luar tampak kabur. Oleh karena itu, kacamata berfungsi membuat struktur realitas terlihat. Terkait dengan hal ini, idea mengonstruksi realitas yang berada di luar.
Misalnya, ketika mengenakan kacamata berwarna merah, manusia memandang berbagai macam benda tampak merah. Meskipun benda-benda yang dipandang tidak berwarna merah. Sebagaimana dikatakan Kant, objek atau benda tersebut tampak sebatas kategori subjek, di mana hanya dimungkinkan mengetahuinya berdasarkan struktur akal budi. Karena yang dilihat manusia hanya penampakan (phanomenon), bukan benda pada dirinya (noumenon).
Sedangkan menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), idea mendapatkan aura metafisis. Karena realitas akhir yang paling nyata adalah idea. Perlu diketahui bahwa antinomi idea yaitu materi, dunia inderawi yang berubah-ubah. Dengan kata lain, materi merupakan bentuk lahiriah idea. Hal ini didasarkan pada titik tolak idealisme Hegel, yaitu Yang Absolut, totalitas seluruh kenyataan.
Hegel memahami Yang Absolut sebagai subjek. Sedangkan objeknya adalah dirinya sendiri. Oleh karena itu, Yang Absolut merupakan pikiran yang memikirkan diri sendiri, subjek yang menyadari dirinya sendiri. Hegel menyebut Yang Absolut sebagai roh. Karena pada dasarnya semua yang rasional itu real dan yang real itu rasional. Terkait dengan hal ini, rasio sama luasnya dengan seluruh realitas, di mana realitas diyakini sebagai idea atau proses pemikiran.
Misalnya, seorang pematung berhasil menyelesaikan sebuah karya yang terbuat dari batu. Biasanya, orang memberikan komentar bahwa pematung tersebut telah mewujudnyatakan idenya. Terkait dengan hal ini, pada umumnya manusia melihat batu sebagai realitas. Namun, Hegel melihat ide pematung justru sebagai realitas. Karena batu yang kemudian diolah menjadi patung adalah bentuk lain dari idea, idea yang menyatakan diri dalam bentuk patung.
Berdasarkan uraian di atas, Kant dan Hegel mempunyai perbedaan konsep mengenai idea. Namun, mereka mempunyai dua persamaan yang harus dipahami dengan baik. Pertama, keunggulan pikiran atau roh dan gerakan dialektis. Terkait dengan hal ini, rasio merupakan ide dari segala ide dan basis primordial mutlak. Karena rasio mengendalikan dirinya sendiri, di mana segala sesuatu yang lain adalah momen atau tampakan yang berkembang sendiri. Oleh karena itu, rasio pada dasarnya merupakan sumber menjadi.
Kedua, Kant menggunakan istilah akal budi murni untuk menunjuk ide-ide yang melampaui pengalaman yang mungkin. Hal ini mencakup tiga ide dasar, yaitu kesatuan mutlak dengan subjek (jiwa), sistematisasi lengkap fenomena (dunia), dan kesatuan seluruh eksistensi (Allah). Selain itu, terdapat tiga bentuk akal budi praktis, yaitu Allah, kebebasan, dan imortalitas. Dalam hal ini, Hegel mengikuti Kant yang membedakan ide-ide pengertian dengan ide-ide akal.
Daftar Pustaka:
Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Seta, Martinus Ariya. “Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant.” Diskursus, Vol. 15, No. 1 (2016), 69-90.