Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
1. Pengantar
Victor Frankl merupakan salah satu mantan tahanan kamp konsentrasi Jerman. Selama menjadi tahanan, Frankl merenungkan dan menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai apa pun, kecuali tubuh telanjang yang menggelikan. Oleh karena itu, Frankl meyakini pentingnya mencari dan menemukan nilai serta makna hidup. Keyakinan tersebut juga dapat dilihat dalam kehidupan para tahanan. Jika para tahanan tidak mampu memetik nilai dan makna hidup, maka mereka mudah kehilangan semangat atau gairah hidup. Dalam situasi dan kondisi sulit, Frankl percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan mengatasi berbagai macam kesulitan serta tantangan hidup. Selanjutnya, dalam tulisan ini, penulis menguraikan dua pokok gagasan. Pertama, manusia menurut Victor Frankl. Kedua, kemampuan manusia menurut Victor Frankl.
2. Manusia Menurut Victor Frankl
Pengalaman hidup di kamp konsentrasi membuat Frankl sadar akan eksistensi manusia yang sejati. Manusia bukan sekadar tubuh yang terdiri dari tulang, daging, dan darah. Karena di dalam tubuh manusia terdapat jiwa yang mempunyai peranan penting, bersifat luhur dan menempati posisi yang tinggi. Selain itu, manusia mempunyai tujuan, yaitu menemukan nilai dan makna hidup. Berupaya atau berjuang mencapai hidup yang bernilai dan bermakna.
3. Kemampuan Manusia Menurut Victor Frankl
Menurut Frankl, manusia mempunyai sejumlah kemampuan. Pertama, menghadapi tantangan. Hal ini diungkapkan Frankl dengan tegas, “betapa berat perjuangan hidup yang harus dihadapi para tahanan. Perjuangan yang tidak mengenal belas kasihan untuk memeroleh sepotong roti, untuk kehidupan itu sendiri, untuk dirinya sendiri, maupun untuk seorang teman baik” (Frankl, 1985: 22). Selain itu, para tahanan “bertahan hidup demi keluarga yang menunggu di rumah dan untuk menyelamatkan teman-temannya” (Frankl, 1985: 23). Ungkapan Frankl tersebut memperlihatkan bahwa apabila para tahanan kehilangan kepercayaan diri dan kekuatan untuk bertahan hidup dalam situasi serta kondisi sulit, keinginan untuk hidup biasanya sirna.
Kedua, menghayal. Misalnya, “hampir semua orang di gerbong menghayal bahwa mereka akan diampuni, bahwa semua akan baik-baik saja” (Frankl, 1985: 29). Namun, hayalan tersebut tidak mungkin teraktualisasi sekalipun serdadu SS terlihat ramah. Perlu diketahui bahwa sikap ramah serdadu SS dimaksudkan untuk mendapatkan jam tangan dari para tahanan. Mereka diminta melepaskan segala sesuatu yang mereka kenakan. Melepas pakaian dalam, ikat pinggang, tali sepatu, dll. Hal ini membuat para tahanan sadar bahwa mereka “tidak memiliki apa pun kecuali tubuh. Yang mereka miliki hanyalah kehidupan yang telanjang” (Frankl, 1985: 33-34).
Ketiga, rasa ingin tahu. Dalam hal ini, para tahanan mempunyai pertanyaan, “bisakah saya keluar dari krisis dalam keadaan hidup. Atau apakah saya akan bertahan hidup dengan luka” (Frankl, 1985: 34). Selanjutnya, rasa ingin tahu tersebut berubah menjadi rasa terkejut. Para tahanan terkejut lantaran tidak terjangkit penyakit dan “bisa hidup meskipun kurang tidur” (Frankl, 1985: 35). Selain itu, sekalipun kekurangan gizi, gigi graham para tahanan lebih sehat daripada sebelumnya. Luka lecet di tangan tidak bernanah. Bahkan para tahanan tidur nyenyak di tengah suara bising.
Keempat, mengalami kematian emosi. “Para tahanan yang sudah masuk ke dalam reaksi psikologi fase kedua tidak lagi mengalihkan pandangannya. Saat itu perasaannya sudah tumpul, sehingga ketika mengamati setiap kejadian tidak merasakan apa pun” (Frankl, 1985: 47). Perasaan jijik dan seram merupakan emosi yang tidak lagi dirasakan para tahanan. Para tahanan bersikap apatis, tidak mempedulikan apa pun. Akibatnya, para tahanan tidak peka terhadap siksaan yang dialami setiap hari. Karena kehidupan batin para tahanan ditekan terus-menerus.
Kelima, mencintai. Hal ini terlihat jelas dalam narasi yang diuraikan Frankl, “seandainya istri kita bisa melihat keadaan kita saat ini! Saya benar-benar berharap mereka hidup lebih nyaman di dalam kamp mereka, dan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kita semua” (Frankl, 1985: 56). Narasi Frankl tersebut memperlihatkan bahwa cinta merupakan tujuan utama yang ingin diraih manusia. Karena dalam menjalani kehidupan, manusia diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta.
Keenam, mengorbankan diri untuk meraih impian dan nilai serta makna hidup. Hal ini merupakan motivasi utama dalam hidup manusia. Karena “makna hidup merupakan sesuatu yang unik dan khusus, hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan” (Frankl, 1985: 121). Namun, keinginan tersebut dapat terhambat. Dalam logoterapi, hambatan tersebut disebut sebagai frustasi eksistensial. Selain itu, “terganggunya upaya manusia mencari makna hidup dapat berubah menjadi keinginan untuk memeroleh kekayaan” (Frankl, 1985: 129). Terkait dengan hal ini, “logoterapi bertugas membantu pasien menemukan makna hidup. Membuat pasien sadar tentang adanya logo tersembunyi di dalam hidupnya” (Frankl, 1985: 125).
Ketujuh, menemukan nilai dan makna hidup. Nilai dan makna hidup harus ditemukan di dalam dunia, bukan di dalam batin atau jiwa. Pada titik tertentu harus dipahami bahwa makna hidup selalu berubah, tetapi tidak pernah hilang. “Ada tiga cara yang dapat ditempuh manusia untuk mendapatkan nilai dan makna hidup. Pertama, melalui pekerjaan atau perbuatan. Kedua, mengalami suatu peristiwa secara pribadi atau bersama orang lain. Ketiga, melalui cara manusia menyikapi penderitaan” (Frankl, 1985: 133). Selain itu, nilai dan makna hidup dapat ditemukan dalam situasi dan kondisi yang tidak lagi memberikan harapan. Dengan demikian, penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan ketika manusia menemukan nilai dan makna hidup.
Kedelapan, berdiskresi ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi sulit. Karena “salah satu sifat mendasar manusia yaitu mampu mengatasi kondisi biologis, psikologis, dan sosiologis” (Frankl, 1985: 154). Selain itu, manusia mampu mengubah dunia dan diri sendiri ke arah yang lebih baik. Terkait dengan hal ini, harus diyakini bahwa manusia bukan sekadar pribadi bebas, tetapi pribadi bertanggung jawab.
4. Penutup
Kesadaran akan pentingnya nilai dan makna hidup, membantu serta memungkinkan manusia bertahan hidup dalam situasi dan kondisi terburuk. Supaya nilai dan makna hidup diperoleh, manusia harus melakukan perubahan. Mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, keberhasilan, dan kesuksesan. Namun, dalam hidup, manusia bukan sekadar mencari kebahagiaan, melainkan mencari alasan mengapa harus bahagia. Kebahagiaan dapat diperoleh dengan mengejawantahkan potensi diri. Dengan demikian, nilai dan makna hidup merupakan kesadaran akan suatu kesempatan atau kemungkinan untuk melakukan tindakan dalam berbagai macam situasi serta kondisi.
Daftar Pustaka
Frankl, Victor. Man’s Search for Meaning. New York: Washington Square Press, 1985.
Semoga menginspirasi
Harapannya demikian…