Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Kisah penciptaan yang pertama (Kej 1:1-2) dikaitkan dengan tradisi para imam. Kisah tersebut menggambarkan permulaan dunia dalam beberapa hari berturut-turut oleh Firman Allah.[1] Pada akhir setiap penciptaan, Allah menyatakan bahwa ciptaan tersebut baik (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Ketika menarasikan kisah penciptaan, tradisi para imam menunjukkan bahwa tanggapan yang tepat terhadap ciptaan yaitu sikap hormat dan pujian, solider terhadap setiap makhluk hidup yang diciptakan Allah.[2]
Catatan dalam tradisi para imam menampilkan relasi Allah, manusia, dan ciptaan lainnya. Secara khusus, manusia mempunyai tanggung jawab merawat ciptaan. Oleh karena itu, “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan. Allah memberkati mereka dan berfirman, beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:27-28). Pemahaman terhadap teks kitab Kejadian tersebut harus di baca dengan fokus pada pikiran penulis, konteks sejarah, dan hermeneutika alkitabiah.[3]
Terkait dengan pengajaran ekologi di Gereja, frasa dalam Kitab Suci seperti “takluk” (khabash) dan “kekuasaan” (radah) digunakan untuk mengungkapkan tanggung jawab manusia sebagai wakil Allah terhadap ciptaan lainnya (Mzm 72:8).[4] Karena Gereja tidak menggunakan istilah tersebut untuk melegalkan eksploitasi ciptaan. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa berdasarkan kehendak Sang Pencipta, manusia menjalin relasi dengan alam sebagai “guru” dan “penjaga” yang penuh pengertian serta luhur, bukan sebagai “penghisap” dan “perusak”.[5] Oleh karena itu, manusia secara legitim mempunyai tanggung jawab mengelola alam, melindungi, mengembangkan, dan menikmati buahnya.[6]
Kisah penciptaan yang kedua (Kej 2:4b-3:24) berasal dari tradisi yahwis, mendahului tradisi para imam. Penulis dalam tradisi yahwis mengambil mitos budaya lain, menempatkan sejarah keselamatan Allah atas nama Israel dalam parameter yang lebih luas dari sejarah manusia.[7] Tradisi yahwis mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi (adamah), “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:7, 15).[8]
Tradisi yahwis menggambarkan manusia sebagai pribadi relasional dan mempunyai tanggung jawab memelihara ciptaan. Manusia ditempatkan di taman untuk mengolah dan memeliharanya, tetapi harus tetap tunduk kepada Allah.[9] Dalam Evangelium Vitae, Yohanes Paulus II menafsirkan Kejadian 2:15 sebagai peristiwa di mana manusia dipanggil untuk mengolah dan menjaga taman dunia.[10] Manusia mengemban tanggung jawab melestarikan lingkungan hidup, ciptaan Allah. Tanggung jawab tersebut tidak hanya terkait dengan generasi masa kini, melainkan juga generasi mendatang. Perlu diketahui bahwa persoalan krisis ekologi yang mencakup ruang hidup pelbagai jenis hewan dan bentuk kehidupan lainnya mendapatkan pedoman etis dari Kitab Suci, yaitu memerhatikan nilai kehidupan.[11]
Hermeneutika ekologis dalam kisah penciptaan sebagaimana dilukiskan kitab Kejadian menunjukkan bahwa ciptaan pada dasarnya baik, pemberian Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dijaga dan diolah.[12] Paradigma teologis tersebut menggarisbawahi modus operandi misi keadilan ekologi Gereja. Oleh karena itu, magisterium menekankan tanggung jawab manusia untuk melestarikan alam supaya bermanfaat bagi semua orang.[13] Masifnya krisis ekologi mendorong misi Gereja untuk menumbuhkan kesadaran ekologis, merawat ciptaan Allah.
Daftar Pustaka:
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2009.
Benediktus XVI. Caritas in Veritate. Penerj. Agung Prihartana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.
Fransiskus. Laudato Si. Penerj. Martin Harun. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015.
Otu, Idara. The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice. Toronto: Toronto School of Theology, 2012.
Paulus II, Yohanes. Evangelium Vitae. Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996.
—————————. Redemptor Hominis. Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.
—————————. Sollicitudo rei Socialis. Penerj. P. Turang. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988.
[1] Kisah penciptaan dalam tradisi para imam mempunyai struktur yang sama dengan kisah penciptaan orang Babilonia, Enuma Elish. Kedua narasi penciptaan tersebut mempunyai suksesi peristiwa yang serupa, terjadi kekacauan pada bagian awal, dilanjutkan dengan penciptaan cakrawala, tanah kering, benda-benda langit, dan akhirnya manusia. Allah yang beristirahat menyimpulkan karya penciptaan-Nya. Hal ini juga bersesuaian dengan hari raya Allah Babel. Lih. Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice (Toronto: Toronto School of Theology, 2012), 85.
[2] Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, 85.
[3] Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, 85.
[4] Tanggung jawab dan relasi manusia dengan ciptaan lainnya mirip dengan raja-raja kuno yang mempunyai peran sebagai penengah kemakmuran serta kesejahteraan. Dengan demikian, perhatian penuh terhadap ciptaan Allah merupakan mandat yang diberikan kepada manusia. Lih. Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, 86.
[5] Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995), art. 15.
[6] Benediktus XVI, Caritas in Veritate, Penerj. Agung Prihartana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014), 50.
[7] Idara Otu. The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, hlm. 86.
[8] Dalam teks kisah penciptaan yang kedua, kata Ibrani abad tidak diterjemahkan sebatas “sampai”, tetapi “melayani”. Sedangkan kata Ibrani shamar tidak diterjemahkan sebatas “dapat disimpan”, tetapi “melindungi” dan “menjaga”. Lih. Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, 87.
[9] Yohanes Paulus II, Sollicitudo rei Socialis, Penerj. P. Turang (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988), art. 29.
[10] Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), art. 42.
[11] Paus Fransiskus menggambarkan situasi bumi sebagai saudari dan ibu yang menjerit karena kerusakan yang ditimpakan manusia kepadanya. Manusia lupa bahwa dirinya dibentuk dari debu tanah (Kej 2:7), tersusun dari berbagai macam partikel bumi, menghirup udara, dan disegarkan oleh air. Lih. Fransiskus, Laudato Si, Penerj. Martin Harun (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015), art. 2.
[12] Fransiskus, Laudato Si, art. 65.
[13] Yohanes Paulus II, Sollicitudo rei Socialis, art. 34.