Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

1. Pengantar

Manusia memandang alam semesta sebagai sarana memenuhi hasrat pribadi. Terkait dengan hal ini, pembabatan hutan secara masif mengakibatkan banjir, tanah longsor, marga satwa punah, erosi tanah, dan debit air berkurang. Berhadapan dengan realitas tersebut, manusia bersikap apatis, tidak merasa bersalah. Oleh karena itu, bumi menuju kehancuran, karena manusia tidak peduli terhadap alam. Selain itu, manusia melihat alam sebagai obyek ekploitasi. Perlu diketahui bahwa persoalan tersebut dilatarbelakangi kurangnya refleksi kritis dan kontrol terhadap lingkungan hidup.

Untuk dapat memahami pendidikan dan spiritualitas ekologis dalam ensiklik Laudato Si dengan baik, penulis menguraikan tulisan ini ke dalam tujuh pokok gagasan. Pertama, sekilas tentang Laudato Si. Kedua, konsumerisme sebagai salah satu penyebab krisis ekologi. Ketiga, mengatasi krisis ekologi melalui pendidikan ekologis. Keempat, mengejawantahkan pertobatan ekologis dengan melihat sakralitas alam semesta. Kelima, mencintai lingkungan sebagai sarana memeroleh sukacita dan kedamaian. Keenam, membangun dunia dengan berpartisipasi pada bidang sipil dan politik. Ketujuh, manusia menghadirkan dinamika Allah Tritunggal.

2. Sekilas Tentang Laudato Si

Persoalan lingkungan hidup diangkat pada tataran global atau pun nasional. Pada 18 Juni 2015, Paus Fransiskus membuat gebrakan dengan mempublikasikan ensiklik Laudato Si. Perlu diketahui bahwa Laudato Si adalah dokumen ajaran sosial Gereja. Keputusan mempercepat kelahiran Laudato Si merupakan komitmen Paus Fransiskus menanggapi persoalan lingkungan hidup, mencakup keadilan sosial dan spiritual.[1] Hal ini dipengaruhi kunjungannya ke Tacloban-Filipina pada Januari 2015.

Pada waktu itu Tacloban mengalami bencana super taifun Haiyan atau Yolanda. Bencana tersebut mengakibatkan empat juta penduduk kehilangan tempat tinggal, enam belas juta penduduk kehilangan pekerjaan, dan kerugian mencapai tiga milyar dollar Amerika. Ketika melakukan kunjungan, Paus Fransiskus merasakan taifun yang melewati Tacloban. Menyaksikan ribuan orang berdiri beberapa jam di bawah siraman hujan menunggu kehadirannya, Paus Fransiskus digerakkan rasa belas kasih.[2]

Ensiklik Laudato Si memuat seratus tujuh puluh dua catatan kaki yang dikutip dari gagasan Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan Bartolomeus I (Patriark Gereja Ortodoks Timur).[3] Selain itu, lebih dari sepuluh persen kutipan diambil dari berbagai macam dokumen konferensi para uskup, secara khusus dari belahan bumi selatan. Paus Fransikus juga mengutip gagasan Thomas Aquinas, Ali al-Khawas (Sufi abad kesembilan), Pierre Teilhard de Chardin, dan Romani Guardini. Oleh karena itu, berdasarkan berbagai macam kutipan tersebut, Paus Fransiskus menyampaikan sejumlah persoalan yang dirasakan Gereja.

Ensiklik Laudato Si diuraikan dalam enam bab. Pertama, apa yang terjadi dengan rumah kita bersama. Kedua, kabar baik (Injil) penciptaan. Ketiga, akar manusiawi dari krisis ekologis. Keempat, ekologi integral. Kelima, beberapa pedoman orientasi dan aksi. Keenam, pendidikan dan spiritualitas ekologis. Hal ini menunjukkan bahwa Paus Fransiskus ingin menyentuh semua aspek yang melatarbelakangi krisis lingkungan hidup dan cara mengatasinya berdasarkan terang Injil. Dengan demikian, ensiklik Laudato Si ditujukan untuk semua orang (kristiani dan non-kristiani) supaya bergandengan tangan merawat dan melindungi bumi. Karena bumi adalah rumah kita bersama.

3. Konsumerisme Sebagai Salah Satu Penyebab Krisis Ekologi

Manusia kurang menyadari asal-usulnya, rasa kepemilikan, dan masa depan bersama ciptaan lainnya. Tiga hal tersebut sejatinya merupakan landasan untuk mengubah cara hidup. Secara khusus ketika berhadapan dengan tantangan budaya, pendidikan, dan spiritualitas dalam melakukan pembaruan. Terkait dengan hal ini, Paus Fransiskus menggarisbawahi cara hidup manusia modern, memuaskan diri sendiri dengan cara mengonsumsi berbagai macam barang.[4] Selain itu, paradigma tekno-ekonomi membentuk perilaku kompulsif manusia, mengatasi ketidaknyamanan dengan cara mengkonsumsi.[5] Namun, usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Justru membuat manusia terobsesi memenuhi keinginan, mengumpulkan berbagai macam barang.[6] Dengan demikian, Paus Fransiskus menegaskan bahwa manusia belum mencapai kesadaran dalam mengarahkan hidup.[7]

Gaya hidup konsumtif menunjukkan krisis dalam diri manusia. Bukan sekadar krisis lingkungan hidup (eksploitasi sumber daya alam), melainkan krisis spiritual. Pada masa lampau, spiritualitas leluhur lahir melalui interaksi dengan unsur-unsur alam. Jika mendalami budaya masa lampau, maka ditemukan berbagai macam preskripsi, yaitu ritual, tabu, dan totem. Oleh karena itu, gejala alam menjadi referensi kehidupan. Meskipun secara rasional tidak bisa dijelaskan dan dianggap takhyul, tetapi terdapat nilai yang ingin diungkapkan. Misalnya, setiap anak harus menghabiskan makanan yang disantap. Jika tidak menghabiskan makanan tersebut, maka ayam mereka akan mati. Selain itu, nasi yang dibuang akan menangis. Berdasarkan rasionalitas dan ilmu modern, ungkapan tersebut tidak masuk akal. Terkait dengan hal ini, nilai yang ingin disampaikan yaitu menghargai makanan, tidak boleh membuang makanan. Ungkapan “nasi menangis” menunjukkan bahwa nasi dikenal sebagai sesuatu yang hidup. Dewasa ini masyarakat seringkali membuang makanan, sedangkan di tempat lain banyak orang kelaparan.

Manusia modern mempunyai kecenderungan menilai segala sesuatu di luar dirinya sebagai obyek. Oleh karena itu, manusia menjadi egosentris, menempatkan diri sebagai pusat segala sesuatu.[8] Terkait dengan hal ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ketika manusia terpusat pada diri sendiri maka keserakahan meningkat.[9] Perlu diketahui bahwa sikap egosentris menyebabkan alienasi, terasing dari sesama dan lingkungan sekitar. Selain itu, ikatan psikis yang terkikis menyebabkan rasa kehilangan dalam batin manusia. Hal ini membuat manusia mencari yang hilang dengan cara mengkonsumsi.[10]

4. Mengatasi Krisis Ekologi Melalui Pendidikan Ekologis

Gaya hidup konsumtif dan sistem ekonomi tidak sehat membelenggu dunia. Namun, Paus Fransiskus meyakini bahwa manusia mampu bangkit, memilih yang terbaik dan membarui diri, melampaui kondisi mental serta sosial yang dipaksakan kepadanya.[11] Hal ini merupakan tugas besar, mengubah kehadiran manusia yang destruktif menjadi ramah.[12] Oleh karena itu, manusia harus mengubah arah dan cara hidup, memulihkan kondisi alam. Terkait dengan hal ini, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya membudayakan kebiasaan baik, bukan sekadar memberikan informasi.[13] Selain itu, menyadari mitos modernitas yang membentuk sikap individualistis dan mengejar kemajuan tanpa batas.

Pendidikan harus dilakukan sejak awal, di mana tradisi agama mempunyai peran mendukung pendidikan berwawasan lingkungan.[14] Pendidikan dan agama harus membangkitkan kesadaran kaum muda mengenai dunia di mana mereka hidup, bagaimana dunia berfungsi, cara membawakan diri, peran mereka di tengah alam semesta, dan perkembangan sejarah yang membentuk lingkungan fisik serta kultural. Melalui kesadaran terhadap masa lalu dan masa kini, pendidikan serta agama harus mengomunikasikan hidup yang ideal.[15]

Paus Fransiskus mendorong pendidikan ekologis mulai dari unit terkecil, yaitu keluarga, sekolah, dan media katekese.[16] Selain itu, perlu memahami latar belakang pendidikan ekologis. Terkait dengan hal ini, pendidikan dan agama harus dilandaskan pada pemahaman mengenai proses terbentuknya alam semesta. Melalui kosmologi fungsional, manusia diharapkan mampu mengatasi keterasingan dan memperbarui diri menuju cara hidup berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa alam semesta terbentuk melalui pewahyuan Yang Ilahi.[17] Keyakinan tersebut membangkitkan visi dan kekuatan, membawa manusia dan seluruh ciptaan kepada tatanan baru.

5. Mengejawantahkan Pertobatan Ekologis dengan Melihat Sakralitas Alam Semesta

Kesakralan alam semesta sebagai pewahyuan Yang Ilahi selaras dengan gagasan Paus Fransiskus mengenai relasi berdasarkan kegunaan praktis antara manusia dan lingkungan.[18] Hal ini merupakan landasan pertobatan ekologis sebagaimana dinarasikan Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 216-221. Perlu diketahui bahwa pertobatan ekologis merupakan bentuk penyesalan manusia.[19] Karena manusia telah memerlakukan ciptaan secara keliru. Terkait dengan hal ini, diperlukan kesadaran bahwa seluruh ciptaan merupakan persekutuan universal, saling terkait dan tidak terpisah.[20] Selain itu, Yang Ilahi menciptakan segala sesuatu untuk mengomunikasikan diri-Nya. Dengan demikian, alam semesta berpartisipasi dalam kebaikan-Nya.[21]

Persekutuan universal merupakan perwujudan Yang Ilahi. Oleh karena itu, setiap ciptaan mempunyai nilai dan membawa jejak Yang Ilahi. Terkait dengan hal ini, manusia harus menggunakan paradigma baru dalam memandang ciptaan, di mana setiap ciptaan merupakan subyek, bukan obyek. Jika manusia memandang “yang lain” (Allah, sesama, dan ciptaan lainnya) sebagai subyek, maka persaudaraan dan kekerabatan mudah dibangun. Meskipun relasi dalam masyarakat berbentuk “rantai makanan”, relasi tersebut menggambarkan kesakralan dan pemberian diri, bukan ekspresi dominasi. Melalui pemberian diri, bukan hanya rasa syukur dan hormat yang ditingkatkan, tetapi juga mengajari manusia mengenali batas kewajaran dalam memenuhi kebutuhan. Selain itu, manusia belajar nilai pengorbanan dan kemurahan hati.

6. Mencintai Lingkungan Sebagai Sarana Memeroleh Sukacita dan Kedamaian

Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 222-227 mengangkat tema sukacita dan kedamaian. Ia mendorong manusia belajar dari tradisi agama, para pendahulu, dan Kitab Suci berkenaan dengan kesederhanaan. Sebagaimana diuraikan dalam Kitab Suci, Yesus menegaskan bahwa di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Mat 6:21). Selain itu, manusia harus belajar dari perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Luk 12:13-21). Perlu diketahui bahwa Kitab Suci mengajarkan manusia tidak melekat pada harta benda dan menghindari sikap tamak, mensyukuri yang dipunyai serta belajar berkata cukup.[22] Kegagalan menghidupi ajaran Kitab Suci membuat manusia tergoda ketika menghadapi konsumerisme, kebahagiaan semu. Terkait dengan hal ini, gaya hidup konsumtif dibentuk oleh sistem ekonomi yang menempatkan keuntungan di atas segala sesuatu. Hal ini menunjukkan pemahaman yang keliru tentang peran manusia di tengah dunia.

Pada dasarnya manusia senantiasa mencari keseimbangan. Namun, putusnya relasi manusia dengan alam digantikan barang hasil perkembangan industri. Oleh karena itu, manusia mencari keseimbangan di antara berbagai macam barang dengan cara mengonsumsi. Perlu diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan melalui perilaku konsumtif tidak memberikan rasa damai.[23] Karena rasa damai hanya diperoleh ketika manusia menjalin relasi dengan diri sendiri dan lingkungan. Jika kesadaran tersebut bertumbuh dan berkembang, maka lahir sikap menghargai serta mencintai lingkungan, di mana tanpa lingkungan manusia tidak bisa hidup dan mencapai kebahagiaan serta kedamaian.[24] Untuk mencapai kesadaran tersebut, manusia harus mengambil waktu dan belajar sikap hidup kontemplatif. Memandang segala sesuatu dengan penuh kesadaran dan cinta kasih.

Paus Fransiskus menunjukkan teladan Yesus, yaitu melihat bunga bakung di padang dan burung-burung di langit dan memandang seorang yang cemas dengan rasa penuh belas kasih (Mrk 10:21).[25] Hal ini menunjukkan bahwa Yesus hadir kepada setiap makhluk. Selain itu, Yesus menunjukkan kunci menemukan kedamaian dan keseimbangan, yaitu belas kasih serta rasa syukur. Misalnya, ketika menerima pemberian dari ciptaan lainnya dalam bentuk makanan, manusia harus mengucap syukur kepada Allah sumber kehidupan.[26]

Pada masa lampau, tradisi Kristen melakukan pembiaran perilaku eksploitatif, meyakini bahwa kehidupan sesungguhnya adalah kelak di sorga. Sedangkan kehidupan di dunia dipandang “sementara”. Oleh karena itu, umat Kristen acuh tak acuh terhadap persoalan lingkungan. Selain itu, interpretasi keliru mengenai peran manusia dalam Kitab Suci (Kej 1:28), “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”[27]

Penyebab umat Kristen kehilangan intimasi dengan bumi adalah penekanan pada aspek penebusan dari dunia yang tidak sempurna.[28] Terkait dengan hal ini, kristianitas dipahami sebagai pengalaman penebusan dari godaan yang berasal dari dalam atau pun dari luar diri manusia. Oleh karena itu, manusia yang hidup di bumi seakan-akan berada dalam pencobaan, hidup di dunia namun tidak boleh melekat pada hal-hal duniawi. Hal ini membuat manusia merindukan rumah abadi, yaitu sorga. Dengan demikian, keyakinan bahwa manusia milik dunia sulit diterima.[29] Selain itu, tidak mengherankan apabila persoalan lingkungan kurang mendapat perhatian. Menurut Paus Fransiskus, dunia merupakan tempat kediaman bersama, anugerah Allah yang harus dicintai dan dirawat.[30]

7. Membangun Dunia dengan Berpartisipasi pada Bidang Sipil dan Politik

Laudato Si artikel 228-232 membahas cinta pada bidang sipil dan politik. Terkait dengan hal ini, Paus Fransiskus berbicara tentang cinta dalam konteks persaudaraan universal, yaitu pertobatan ekologis dan mempraktikkan ekologi integral dalam kehidupan sehari-hari.[31] Paus Fransiskus meyakini bahwa tindakan manusia mengejawantahkan kepekaan dan berpartisipasi dalam bidang sosial serta politik, membangun dunia menjadi lebih baik.[32] Selain itu, menjalin relasi dengan bumi dan saling mengembangkan (mutually enhancing). Hal ini membutuhkan dukungan manusia untuk mewujudnyatakan berbagai macam program tersebut di bumi. Karena bumi diyakini sebagai kediaman bersama.

Perlu diketahui bahwa Paus Fransiskus mengungkapkan aspek mistis setiap ciptaan, gerakan hati menemukan Allah dalam segala sesuatu.[33] Ia menegaskan bahwa berjumpa dengan Allah tidak berarti lari dari dunia dan menyangkal alam.[34] Hal ini merupakan pernyataan dan sikap rendah hati Gereja, menyempurnakan tugas dan perutusan di dunia. Karena pada masa lampau terdapat kecenderungan melihat bumi sebagai obyek. Oleh karena itu, keterikatan pada dunia menjauhkan manusia dari Yang Ilahi. Namun, ketika belajar memahami spiritualitas bumi, manusia dihantar ke dalam pemahaman yang lebih mendalam akan Sang Pencipta.

Kegagalan manusia memahami aspek rohaniah bumi menunjukkan kurangnya persepsi spiritual. Apabila tradisi spiritual manusia (tradisi Kristen) memahami signifikansi spiritualitas alam semesta dan bumi, manusia menampilkan wajah berbeda. Oleh karena itu, dimensi spiritual harus dihidupkan.[35] Jika direnungkan secara serius dan menerima masukan ilmu pengetahuan, maka kedasyatan peristiwa kelahiran semesta (bumi dan manusia) nampak. Perlu diketahui bahwa kehadiran Allah dalam ciptaan menunjukkan bahwa alam raya merupakan sakramen Allah.[36]

Paus Fransiskus menegaskan bahwa Ekaristi merupakan tindakan kasih kosmik.[37] Terkait dengan hal ini, cinta kasih Allah dalam Ekaristi menyatukan ciptaan kepada Pencipta.[38] Karena Ekaristi merupakan puncak perayaan iman dan syukur atas pemberian diri Allah melalui Yesus Kristus (1Yoh 1:1-3) yang membawa dimensi kosmik. Yesus Kristus hadir dan bersatu dengan Allah sebagai alfa, yaitu ada sejak semula sebelum segala sesuatu. Melalui inkarnasi, manifestasi Allah dalam Yesus Kristus memungkinkan manusia “bersentuhan” dengan-Nya.[39] Sedangkan dalam Ekaristi, manusia secara konkret bersatu dengan Allah ketika menerima tubuh dan darah-Nya.[40]

8. Manusia Menghadirkan Dinamika Allah Tritunggal

Allah Tritunggal melalui prinsip-prinsip alam semesta, yaitu keanekaragaman (differentiation), interioritas (interiority), subyektivitas (subjectivity), dan persekutuan (communion), menyediakan model doktrin kristiani mengenai Trinitas. Sebagaimana dinarasikan dalam Kitab Suci, manusia mempunyai model kekeluargaan, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Santo Agustinus menyebutnya sebagai kecerdasan merefleksikan diri sendiri.[41] Selain itu, terdapat model sosial yang digunakan dunia modern, yaitu diri sendiri (self), orang lain (other), dan komunitas (community). Namun, tidak satu pun contoh tersebut mempunyai kualitas khusus dari model kosmologi yang mengemukakan Bapa sebagai prinsip diferensiasi. Putra sebagai ikon Sang Sabda, prinsip artikulasi dunia dalam (inner articulation). Roh Kudus sebagai kekuatan yang mengikat segala sesuatu secara bersama dan merangkul dengan penuh belas kasih. Dengan demikian, Gereja seharusnya tidak mengalami kesulitan ketika memahami alam semesta sebagai komunitas sakral.[42]

Setiap ciptaan pada dasarnya unik. Hal ini dikenal sebagai prinsip keanekaragaman. Bukan hanya keanekaragaman antar makhluk, tetapi dalam makhluk yang sejenis prinsip keanekaragaman tetap ada. Realitas menunjukkan bahwa Allah Bapa (pribadi pertama Tritunggal Mahakudus) hanya bisa digambarkan ketika setiap ciptaan diikutsertakan dalam manifestasi keilahian-Nya. Sedangkan inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus merupakan artikulasi interior, hadir sebagai Sabda yang menjadi manusia.

Relasi antara Allah Bapa dan Putra tampak dari pernyataan Yesus, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Perlu diketahui bahwa Kristus merupakan yang sulung dari seluruh ciptaan. Hal ini diungkapkan dalam doa-Nya kepada Bapa, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita” (Yoh 17:21). Doa tersebut merupakan dasar iman, di mana setiap pribadi membawa anugerah interioritas, karena Allah hadir pada setiap pribadi.[43]

Roh Kudus merupakan kekuatan yang mengikat seluruh ciptaan, bersifat kreatif dan merangkul alam raya dengan belas kasih Ilahi. Oleh karena itu, Roh Kudus adalah perwujudan persatuan universal alam semesta. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, dalam diri manusia hadir dinamika tritunggal, juga dalam kesatuan seluruh alam raya.[44] Terkait dengan hal ini, Maria (Bunda Yesus Kristus) disebut ratu seluruh ciptaan. Karena hati Maria merasakan penderitaan orang miskin yang disalibkan dan makhluk yang dihancurkan manusia. Dengan demikian, relasi manusia dan bumi tergambarkan dalam relasi kita dengan Bunda Maria, menghendaki anak-anaknya mencapai kebahagiaan. Sebagaimana ibu merawat anaknya, bumi merawat manusia dan memberikan kehidupan.

Berdasarkan doktrin tentang Maria, terdapat sejumlah bagian yang menggambarkan Maria serupa dengan bumi. Karena darinya pokok anggur yang benar ditanam dan berbuah melalui karya Roh Kudus. Ketika manusia berinteraksi dengan alam dan mengembangkan rasa mistis terhadap keberadaan bumi, dibutuhkan kedekatan dengan tokoh historis, yaitu Sang Penebus dan ibu-Nya.[45] Pada bagian akhir ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus menegaskan bahwa meskipun manusia akan menuju titik di mana segala sesuatu masuk ke dalam kepenuhan Yang Ilahi (Yerusalem abadi), ia mengingatkan bahwa perjalanan mencari dan menuju Allah merupakan peziarahan bersama seluruh ciptaan.[46] Dengan demikian, meskipun perjuangan harus dilalui, manusia hendaknya mengalaminya dalam sukacita dan penuh pengharapan.

9. Penutup

Krisis ekologi merupakan krisis moral. Karena kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari moralitas perilaku manusia. Oleh karena itu, persoalan lingkungan hidup bukan sekadar persoalan teknis. Terkait dengan hal ini, krisis ekologi dewasa ini adalah persoalan moral yang membutuhkan pertobatan ekologis. Pertobatan tersebut menyangkut perubahan perspektif, pola pikir, dan mentalitas manusia. Perlu diketahui bahwa perilaku manusia merusak alam tidak terlepas dari perspektifnya yang keliru terhadap alam. Karena perspektif antroposentrisme dan kapitalisme menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup. Dengan demikian, Gereja sebagai institusi rohani mempunyai peran membangun perspektif dan mentalitas umat supaya peduli pada lingkungan hidup. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui seruan, kampanye, dan ajakan untuk bertindak secara konkret.

Daftar Pustaka

Brunk, Timothy. “Consumer Culture and the Body: Chauvet’s Perspective.” Worship 82 (Juli 2008), 290-310.

Fransiskus. Laudato Si. Penerj. Martin Harun. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015.

Groppe, Elizabeth T. “Creation ex nihilo and ex amore: Ontological Freedom in the Theologies of John Zizioulas and Catherine Mowry Lacugna.” Modern Theology 21 (Juli 2005), 463-496.

Gunton, Colin. “Persons and Particularity.” Dalam Douglas H. Knight (editor). The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church. Hampshire: Ashgate, 2007, 97-107.

Harun, Martin. “Alkitab: Sumber Teologi Lingkungan Hidup?” Dalam Peter C. Aman (editor). Iman yang Merangkul Bumi: Mempertanggungjawabkan Iman di Hadapan Persoalan Ekologi. Jakarta: Obor, 2013, 1-25.

Hendani, Amelia. Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry. Jakarta: Obor, 2018.

Knight, Douglas H. “The Spirit and Persons in the Liturgy.” Dalam Douglas H. Knight (editor). The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church. Hampshire: Ashgate, 2007, 183-196.

Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Sunarko, Adrianus. Kristologi: Tinjauan Historis Sistematis. Jakarta: Obor, 2017.

Suseno, Franz Magnis. Iman dan Hati Nurani: Gereja Berhadapan dengan Tantangan-Tantangan Zaman. Jakarta: Obor, 2014.

Westhelle, Vi. “The Weeping Mask: Ecological Crisis and the View of Nature.” Word & World 11 (Maret 1991), 137-146.

[1] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry (Jakarta: Obor, 2018), 1.

[2] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 2.

[3] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 2.

[4] Fransiskus, Laudato Si, penerj. Martin Harun (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015), 203.

[5] Timothy Brunk, “Consumer Culture and the Body: Chauvet’s Perspective”, Worship 82 (Juli 2008), 294.

[6] Vi Westhelle, “The Weeping Mask: Ecological Crisis and the View of Nature”, Word & World 11 (Maret 1991), 144.

[7] Fransiskus, Laudato Si, 203.

[8] Douglas H. Knight, “The Spirit and Persons in the Liturgy” dalam The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church, diedit oleh Douglas H. Knight (Hampshire: Ashgate, 2007), 193.

[9] Laudato Si, 204.

[10] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 95.

[11] Laudato Si, 205.

[12] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 101.

[13] Laudato Si, 211.

[14] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 96.

[15] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 96.

[16] Laudato Si, 213.

[17] Franz Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani: Gereja Berhadapan dengan Tantangan-Tantangan Zaman (Jakarta: Obor, 2014), 158.

[18] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 97.

[19] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 97.

[20] Colin Gunton, “Persons and Particularity” dalam The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church, diedit oleh Douglas H. Knight (Hampshire: Ashgate, 2007), hlm. 101.

[21] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 97-98.

[22] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 99.

[23] Vi Westhelle, “The Weeping Mask: Ecological Crisis and the View of Nature”, 144.

[24] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 99.

[24] Laudato Si, 231.

[25] Laudato Si, 226.

[26] Laudato Si, 227.

[27] Martin Harun, “Alkitab: Sumber Teologi Lingkungan Hidup?” dalam Iman yang Merangkul Bumi: Mempertanggungjawabkan Iman di Hadapan Persoalan Ekologi, diedit oleh Peter C. Aman (Jakarta: Obor, 2013), 1.

[28] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 100.

[29] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 101.

[30] Laudato Si, 231.

[31] Laudato Si, 228.

[32] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 101.

[33] Laudato Si, 233.

[34] Laudato Si, 235.

[35] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 102.

[36] Elizabeth T. Groppe, “Creation Ex Nihilo and Ex Amore: Ontological Freedom in the Theologies of John Zizioulas and Chatherine Mowry Lacugna”, Modern Theology 21 (Juli 2005), 477.

[37] Laudato Si, 236.

[38] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 103.

[39] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis Sistematis (Jakarta: Obor, 2017), 57.

[40] E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 230.

[41] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 104.

[42] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 105.

[43] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 105.

[44] Laudato Si, 241.

[45] Amelia Hendani, Memahami Laudato Si Bersama Thomas Berry, 106.

[46] Laudato Si, 244.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here