Oleh: Valens Dulmin, S.S, S.H, M.H,
Peneliti dan Koordinator bidang Advokasi di JPIC OFM Indonesia
Tulisan ini merupakan gambaran singkat hasil penelitian JPIC OFM di dua wilayah dengan aktivitas pertambangan mangan terbesar di Manggarai Raya, Flores-NTT, yaitu di Manggarai (Torong Besi – Robek) dan Manggarai Timur (Serise dan Satarteu). Fokus penelitian ini adalah perempuan dan akses mereka terhadap air bersih dan pangan pada periode sebelum tambang, saat tambang beroperasi, dan pasca tambang.
Penelitian JPIC OFM sebelumnya menunjukkan perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan dan berdampak langsung dari kegiatan pertambangan. Merekalah yang memiliki kebutuhan paling banyak, mulai dari air, pangan, udara yang sehat dan kesehatan. Mereka tidak hanya harus memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga harus siap siaga memenuhi dan melayani kebutuhan suami dan anak-anak mereka. Pemenuhan kebutuhan tersebut perlu daya dukung lingkungan yang sehat termasuk ketersediaan air dan pangan. Tulisan ini hanyalah sebagian cerita getir dari perempuan di daerah tambang.
Tambang Mengubah Pola Hidup
Kehadiran tambang mengubah pola hidup perempuan di daerah tambang. Dari ibu rumah tangga yang biasa mengurusi suami dan anak, berubah menjadi pekerja tambang yang bekerja dengan jadwal yang ketat. Banyak keterampilan yang hilang sejak tambang hadir. Kebiasaan menenun, pengolahan obat, kreasi tari tidak lagi diperhatikan dan bahkan dicampakkan begitu saja karena tidak cepat mendukung perekonomian keluarga. Mereka lebih tergiur dengan tawaran gaji bulanan dari perusahaan tambang tetapi dengan jadwal kerja yang ketat dari pagi hingga sore. Banyak cerita yang terpatri selama bekerja di pertambangan. Cerita-cerita pahit lebih dominan.
Mereka tidak lagi secara maksimal berlaku sebagai seorang ibu yang bisa mengurus dan memberi makan kepada anak secara lebih baik; tidak lagi seperti seorang istri yang harus berbagi kisah cinta harmonis dengan suami; tidak sempat lagi untuk mengurus dan memelihara tubuhnya dengan baik; dan tidak lagi menjadi seorang perempuan yang bisa berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan perempuan-perempuan lainnya. Semuanya berubah setelah tambang beroperasi. Hidup seolah-olah hanya bergantung pada perusahaan. Mereka sebenarnya ingin keluar dari situasi tersebut, tetapi sulit karena sudah terlanjur bergantung pada gaji bulanan yang kadang tidak sampai di rumah, tetapi sampai di kios-kios untuk membayar utang.
Air Bersih: Dirindukan tetapi Sulit Didapatkan
Air merupakan kebutuhan utama dan mendasar bagi kehidupan makhluk hidup termasuk tumbuhan dan lingkungan (Arthington dkk, 2018). Ketiadaan air atau krisis air akan membawa bencana bagi kehidupan. Bagi perempuan, krisis air adalah masalah krusial. Mereka bertanggung jawab untuk menemukan sumber daya yang dibutuhkan keluarga untuk bertahan hidup – untuk minum, memasak, sanitasi dan kebersihan. Kadang mereka harus berdiri menunggu giliran untuk mendapatkan air.
Mereka juga harus berjalan jauh untuk mengambil air, atau bahkan harus membeli air dengan harga tinggi. Saat ini, kurang lebih 844 juta masyarakat di dunia yang kekurangan air bersih. Perempuan di dunia juga menghabiskan 2 jam setiap hari untuk dapat menemukan dan mengumpulkan air bersih (www.worldvision.org). Sebagian perempuan harus membeli air untuk minum. Artinya setiap hari ada begitu banyak waktu yang dihabiskan perempuan hanya untuk mendapatkan air dan sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli air.
Para perempuan di daerah tambang di dua tempat yang disebutkan di atas merupakan bagian dari perempuan-perempuan di dunia yang merasakan kekurangan air bersih. Mereka merasakan bagaimana getirnya hidup tanpa air bersih: “Air adalah yang paling sulit di sini” (Theresia, 62, Petani Robek). Sumber air mereka adalah sumur. Dari situ mereka mengumpulkan air, membawanya ke rumah untuk masak, minum, dan sanitasi. Air tersebut tidak langsung dikonsumsi, tetapi harus dimasak matang-matang agar zat kapurnya mengendap dan dengan demikian airnya pun bisa diminum dan digunakan untuk memasak nasi dan sayur.
Tentu saja perlu pembuktian lebih lanjut apakah air sumur yang sudah dimasak itu memenuhi syarat sebagai air bersih yang layak untuk diminum. Tetapi ada perempuan yang tidak mau minum dari air sumur yang dimasak tersebut demi menjaga kesehatan. Mereka harus membeli air kemasan untuk minum. “Saya tidak menggunakan air sumur itu untuk minum. Saya beli air galon (kemasan) untuk minum. Tetapi air sumur yang sudah dimasak saya tetap gunakan untuk memasak nasi dan sayur (Theresia, 62, Petani Robek).
Di pinggiran Pantai Gincu–Robek, masyarakat juga menggunakan air sumur. Pada mulanya di sana ada sumber mata air yang menurut masyarakat setempat sumber utamanya dari daerah pegunungan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103, tidak jauh dari lokasi pertambangan. Tetapi mata air tersebut tidak lagi besar sehingga orang pun beralih menggunakan air sumur.
“Kami timba air pancuran di Wae Bar (mata wae –mata air) tidak jauh dari Pantai Ketebe, air minum masyarakat Gincu. Kami menggunakan sampan dayung untuk pergi mengambil air. Saat itu airnya besar, pancuran besar. Di bagian mata air dibuat lubang dan dikelilingi oleh tembok untuk masyarakat pinggir pantai. Saya mengambil air itu selama dua tahun, kemudian pindah rumah dan menggali sumur. Tetapi sumber air itu berkurang sekali selama pertambangan. Ada juga Wae Bar debitnya kurang sekali, sedangkan Wae Nggirik mati total (sumber airnya mati, tidak ada lagi). Waktu air berkurang mereka tetap pergi ambil air di sana (pergi tong), karena hanya itu sumber mata air yang masih ada, walaupun kecil. Mereka gunakan air Wae Bar untuk minum, sedangkan untuk mandi mereka pakai air sumur. Air Wae Bar itu enak biarpun diminum mentah, tanpa harus dimasak.” (Kristina, 59, Petani Gincu)
Hal yang sama juga dialami oleh para perempuan di lokasi pertambangan di Serise, Manggarai Timur. Baik pada masa sebelum maupun saat tambang beroperasi serta setelah tambang berhenti, air sumur menjadi satu-satunya sumber air untuk masak, minum, mandi dan sanitasi. “Masih ambil air sumur yang dekat tambang. Sudah sejak lama itu air sumur, sebelum tambang masuk. Air sumur itu digali oleh pemilik lahan di situ. Pada saat tambang masuk, perusahaan tambang membuat dinding semen. Itu menurut sejarah orang yang memiliki tempat itu. Sumur itu dipakai sampai saat ini. Air itu masih bagus. Di Kampung Serise tidak punya sumber mata air, hanya ada sumur. Air itu diperuntukan untuk cuci, minum, mandi. Semua ambil di situ,” (Elisabeth, 59, Petani Serise)
Air di sumur tersebut berubah ketika pertambangan mangan beroperasi. Airnya tidak jernih lagi, berwarna hitam, dan terasa menyesakkan di leher saat diminum. “Waktu ada tambang dulu, keluhan yang sering muncul adalah sesak napas, demam, gatal . Kami harus masak air, harus mendidih betul. Tapi setelah tambang tidak beroperasi lagi, aman bon hoo ga (sudah baik, sudah aman). Dan kalau kami melihat ke bawah sumur, jernih sekali kelihatannya, berbeda dulu pada saat tambang, hitam mangan. Waktu ada tambang saat minum kami merasakan seperti sesak napas,” (Siprianus, 65, Petani Serise).
Laila Febrina dkk dalam jurnal Teknologi Universitas Muhammadiyah Jakarta menjelaskan, kandungan mangan yang diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik adalah kurang dari 0,05 mg/1. Dalam jumlah yang kecil (˂ 0,5 mg/1), mangan (Mn) dalam air tidak menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga kesehatan otak dan tulang, berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh untuk mengubah karbohidrat dan protein membentuk energi yang akan digunakan.
Tetapi dalam jumlah yang besar (˃ 0,5 mg) Mn dalam air minum bersifat neurotoksik. Gejala yang timbul berupa gejala susunan syaraf, insomnia, kemudian lemah pada kaki dan otot muka sehingga ekspresi muka menjadi beku dan muka tampak seperti topeng/mask. Air yang mengandung Mn berlebihan menimbulkan rasa, warna (coklat/ungu/hitam), dan kekeruhan. Dengan demikian, tentu saja butuh penelitian lebih lanjut, air sumur yang menjadi sumber konsumsi masyarakat di Serise yang sudah berwarna hitam saat tambang mangan beroperasi sebenarnya sudah kelebihan unsur Mn-nya dan itu berarti telah membahayakan keselamatan masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak.
Semua makhluk butuh air bersih tidak terkecuali mereka yang hidup di daerah pertambangan yang setiap hari merasakan dampak langsung dari kegiatan pertambang an. Mereka merasakan panasnya cuaca dengan debu mangan hitam beterbangan di udara dan masuk ke dalam air. Situasi lingkungan yang demikian membuat mereka sulit mendapatkan air bersih. Wikipedia mendefinisikan Air Bersih adalah salah satu jenis sumber daya berbasis air yang bermutu baik dan bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk di antaranya adalah sanitasi.
Menurut Departemen Kesehatan, syarat-syarat air minum adalah tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak mengandung logam berat. Mempertahankan air bersih, dari air sumur sekalipun pun, membutuhkan daya dukung lingkungan yang bersih juga. Ada 5 prinsip dasar (Arthington dkk, 2018) ekologi yang perlu diperhatikan untuk mendukung ketersediaan air tawar bersih yaitu i) hubungan yang tak terpisahkan antara air dengan lingkungan tangkapan sekitarnya (cekungan atau aliran sungai), ii) pentingnya keberadaan air: ada di ketinggian, mengalir atau berada di permukaan, iii) konektivitas antara hidrologi, biogeokimia dan ekologi di dalam dan di antara ekosistem air, iv) perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang asli dan endemisme, dan v) pentingnya prinsip-prinsip ini untuk memelihara ketahanan ekologis dalam ekosistem perairan kini dan di masa depan.
Di daerah pertambangan prinsip-prinsip tersebut tidak diperhatikan atau dipedulikan oleh pihak perusahaan tambang dan bahkan sengaja dihancurkan. Akibatnya, air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tercemar, dan kalaupun masyarakat mengkonsumsi air tersebut, itu hanya terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Dalam konteks itulah keinginan dan harapan perempuan agar pertambangan tidak beroperasi lagi di daerah mereka patut untuk didukung.
Bukan Bekerja di Tambang, tetapi Bertani untuk Mendapatkan Pangan
“Daun-daun pohon kami, pisang juga dulu hitam sekarang tidak lagi seperti sedia kala saat nenek moyang kami dulu. Ada yang mengerti sekarang mereka yang pro tambang, mereka bilang benar kalau tidak ada tambang manusia aman, aman puar (hutan aman), lingkungan aman. Saya bilang ke mereka kami pertahankan bukan untuk kami saja, tetapi untuk kamu juga. Sudah biasa itu menurut saya, jangan dianggap musuh, karena manusia kurang sadar. (Siprianus, 65, Petani Serise).
Itu kesan sekaligus ungkapan sujud syukur dan senang dan bahagia karena pertambangan mangan di Serise tidak beroperasi lagi. Kesan yang sama juga diungkapkan oleh masayarakat di wilayah tambang hutan lindung Nggalak Rego RTK 103. Jauh sebelum tambang masuk di Serise, misalnya, masyarakat di Serise adalah masyarakat petani. Mereka menggantungkan kehidupan ekonominya dari hasil pertanian: latung (jagung), woja (padi) dan pesi (sorgum). Tetapi setelah tambang masuk, banyak orang meninggalkan kebiasaan itu karena lingkungan tidak mendukung lagi untuk bertani. Kemudian mereka beralih menjadi pekerja tambang bagi mereka yang setuju tambang masuk. Tetapi yang lain berubah profesi menjadi nelayan.
Demikian juga para perempuannya, banyak menghabiskan waktunya di pasar untuk menjual ikan hasil tangkapan suami. Ada juga perempuan yang masih tekun bertani walaupun mereka melihat tidak ada prospek bagus dari hasil pertanian karena terganggu aktivitas pertambangan. Kesaksian ibu Elisabet ini menggambarkan keadaan tersebut.
“Pada tahun 1987 itu hujan kurang deras. Tapi tahun 1988 saya masih ingat hujan luar biasa. Waktu sampai di sini kami (dengan suami pa Sipri Amon) bekerja kebun ini ke bawah. Waktu itu anak kami Seri masih kecil. Hasil jagung dari sini (kebun bagian bawah rumah) 500 (lima ratus) ikat. Pesi (sorgum) 7 karung ukuran 100 kg. waktu itu belum ada yang tanam padi. Setiap tahun – sejak 1989 – kami selalu hasil jagung dan pesi (sorgum). Tahun 1994, kami kerja di kebun yang sudah kami jual. Kami tanam padi di sana dan hasilnya 12 karung ukuran 100 kg. Latung 1000 (seribu) ikat. Hasil pesi 5 karung 100 kg. tahun 1996 perusahaan tambang mulai masuk dan waktu itu kami masih tanam dan masih dapat hasil sampe tahun 1997, 1998, 1999 – 2009 masih terus ada hasil. Sampai alat-alat giling mangan masuk tahun 2009. Sejak 2009 kami sudah mulai merasakan hujan jarang turun, sampai dengan suami saya masuk penjara. 2008 kami perkara dengan perusahaan terkait tanah yang letaknya persis di daerah tambang. Waktu itu kami masih mendapat hasil jagung 3000 (tiga ribu) ikat. Padi 4 karung 100 kg, pesi 8 karung. Tapi sejak perkara 20092010 kami tidak lagi bekerja di kebun di atas. Hasil tahun berikutnya, hasil jagung tidak banyak lagi hanya 300 ikat, padi hanya 3 karung, pesi 2 karung karena tidak ada hujan lagi. Sejak kami berpekara dengan perusahaan selama beberapa tahun tidak bekerja di kebun lagi” (Elisabeth, 59, Petani Serise).
Cerita ibu Elisabeth tersebut menggambarkan kenyataan ini: perusahaan tambang telah merampas hak mereka untuk bertani dan secara tidak langsung mengambil semua sumber kehidupan mereka. Beroperasinya pertambangan membuat pola ketergantungan ekonomi mereka berubah, tidak lagi pada hasil kebun tetapi pada gaji dari perusahaan tambang. Itu pun bagi perempuan yang saban hari bekerja di perusahaan tambang. Perempuan lain, seperti ibu Elisabeth yang tidak bekerja di perusahaan tambang, harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup, bekerja apa saja untuk bisa tetap makan, membiayai sekolah anak dan membiaya kesehatan.
”Selama pertambangan… Uang saya dapatkan dari hasil jual daun singkong, daun kelor. Pohon daun kelor masih ada di luar. Buah dan daun pepaya saya jual di Reok. Saya tampung hasilnya sampai anak saya yang laki-laki bungsu pergi sekolah militer. Saya juga tebang kayu di kebun, dan saya jual. Kayu itu dimuat pake sampan ke Reok dan dijual. Dulu harganya tidak seperti sekarang, sekarang harganya 5000 (lima ribu) per ikat. Hasilnya tukar dengan beras. Karena sakit hati hasilnya tidak banyak makanya kami berkebun lagi. Selama tambang, saya membiayai sekolah anak dari hasil jual sayur, kayu, kelapa, pisang bukan dari padi, jagung dan pesi karena tidak bisa ditanam lagi”. (Elisabeth, 59, Petani Serise)
Suasana kampung kini berubah setelah perusahaan tambang itu pergi, tidak lagi beraktivitas. Para perempuan kembali merasakan udara yang segar, pohon yang hijau dan air yang jernih. Tidak ada lagi wajah yang hitam karena debu mangan. Ada keinginan kuat untuk kembali berkebun, menanam padi, jagung dan sorgum.
”Saya siap berkebun lagi, mbarun one’n, uman peang (rumah tempat berteduh dan kebun tempat bekerja). Manga kin lodong saung kelor (daun kelor masih berkuncup), begitu juga dengan daun pepaya” (Elisabeth, 59, Petani Serise).
Namun demikian, ada perempuan yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan menjual ikan hasil tangkapan suami. Ada keinginan untuk berkebun lagi, tetapi curah hujan yang sangat rendah membuat mereka kesulitan untuk bertani. “Curah hujan kurang. Kalau curah hujan besar kami pasti kerja kebun juga. Tetapi sekarang ini banyak ibu-ibu di sini yang jual ikan. Kami jual ikan di Reok. Tetapi persoalannya ada yang drop ikan di Reok, sehingga kami kesulitan untuk menjual ikan dengan harga bagus. Biasanya kalau mereka (pedagang ikan) ambil di kami Rp 20.000,- (dua puluh ribu) per ikat terus mereka jual di Reok 30-35 ribu. Di sini merongge yang gampang tumbuh. (Wati, 62, Serise).
Demikian juga dengan penangkapan ikan di laut sangat tergantung pada cuaca baik. “Penangkapan ikan tergantung cuaca juga. Pernah dapat 1000 ekor dan biasa dapat 200 ribu uangnya. Di sini masyarakat beli sayur. Tapi saya sendiri tanam sayur, khusus pepaya dan merongge. Karena hanya itu yang bisa tumbuh bagus di sini” (Wati, 62, Serise).
Bagi perempuan petani, ada hujan atau tidak bukan menjadi masalah. “Ada hujan atau tidak ada hujan, petani harus tetap bekerja. Bukan untuk meremehkan yang lain, yang lebih menguntungkan adalah menjadi petani, banyak hasil. Dan petani itu tidak banyak membeli, satu dua saja. Beda dengan nelayan, harus kerja keras pergi cari ikan, kalau hasil bagus beli sayur, kalau tidak ada hasil makan nasi dan garam saja. Lain soalnya kalau bertani, tanam padi, jagung dan tanam sayur. Sehingga saya tidak beli itu semua. Jadi keinginan anak untuk makan apa terpenuhi” (Elisabeth, 59, Petani Serise). Ketergantungan petani pada hasil pertanian berubah hanya karena ada perusahaan tambang. Suasana lingkungan saat pertambangan sangat tidak mendukung untuk bertani.
Mereka Berharap Tidak Ada Tambang Lagi (?)
Harapan satu-satunya bagi perempuan di daerah tambang yang kami jumpai adalah tidak ingin tambang itu beroperasi lagi di wilayah mereka. “hitu keta kanang tombo daku, tombo daku ulang-ulang laku, ngaji daku: tambang mora meruk neka keta manga. Manga tambang, toe manga mundur aku terus sampai nia kad aku berjuang. Tegi daku neka keta manga tambang hitu sampai nian kaut. Karena tidak ada tambang, aman bon dami mose, weki, pikiran sehat, kerja dami aman. Hasil juga tetap puas. du manga tambang danong, weri daeng itu mbukut kin nenggo’o tanah. wae aman. Hitu ngaji daku ite, porong pemerintah neka tambang” (Elisabeth, 59, Petani Serise).
Artinya: satu saja permintaan saya dan berulang-ulang saya sampaikan, saya berdoa supaya tambang hilang dan tidak ada lagi. Kalau ada tambang saya tetap berjuang sampai di mana pun. Saya minta tidak ada tambang itu lagi sampai kapan pun. Karena tidak ada tambang hidup kami aman, tubuh, pikiran sehat, kami bekerja aman. Hasil-hasil kebun juga puas, air aman. Itu doa saya, semoga pemerintah tidak tambang lagi.)***