Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Emmanuel Levinas lahir pada 12 Januari 1906 di Kovno (Kaunas), Lithuania. Ketika terjadi perang dunia pertama, keluarga Levinas mengungsi ke Kharkov, Ukraina. Di kota tersebut Levinas masuk gymnamsium Rusia. Setelah perang dunia pertama berakhir, keluarga Levinas kembali ke Lithuania. Pada 1923, Levinas belajar di Universitas Strasbourg Prancis. Setelah menyelesaikan studi di Universitas Strasbourg, Levinas menikah dengan Raissa Levi. Kemudian Levinas meneruskan karirnya dengan mengajar di Alliance Israelite Universalle. Levinas meninggal pada 25 Desember 1995 setelah menderita sakit cukup lama.
Perlu diketahui bahwa dalam sejarah filsafat barat, ego mendapatkan prioritas utama. Hal ini mengakibatkan kaburnya dan hilangnya segi-segi penting dari yang lain. Penekanan prioritas terhadap ego menimbulkan pandangan bahwa yang lain merupakan bagian dari ego. Yang lain tidak dikenal dan tidak diperhatikan. Oleh karena itu, yang lain menyatakan diri dan hadir dalam rupa wajah yang telanjang. Terkait dengan hal ini, wajah yang telanjang mengetuk hati seseorang supaya berbuat baik kepadanya. Yang lain digambarkan sebagai orang asing, janda, yatim piatu, miskin, lemah, dan tidak berdaya.
Levinas menyatakan bahwa pola relasi transenden yang bersifat etis terjadi ketika seseorang terusik dan tersentuh oleh kehadiran yang lain. Dalam perjumpaan dengan yang lain, seseorang merasa kebebasan dan kenyamanannya dipertanyakan serta diinterupsi. Hal ini disebut sebagai pertemuan dengan wajah yang telanjang. Melalui pertemuan tersebut, seseorang memberikan tanggapan, bersikap respek, dan merasa bertanggung jawab terhadap eksistensi yang lain.
Levinas melihat tanggung jawab terhadap eksistensi yang lain sebagai basis keadilan sosial. Karena Levinas meyakini bahwa setiap pertemuan dengan yang lain tercipta ruang etis. Terkait dengan hal ini, ruang etis mengandaikan adanya pola relasi yang transenden. Pola relasi yang menghargai, menghormati, mengakui, dan menjunjung tinggi eksistensi yang lain. Adanya rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kehidupan yang lain.
Selain rasa bertanggung jawab terhadap yang lain, sensibilitas menjadi salah satu pendorong terwujudnya pola relasi transenden. Karena sensibilitas merupakan ciri hakiki subyektivitas manusia. Sensibilitas membuat seseorang mengasihi dan menyayangi yang lain. Selain itu, sensibilitas juga mendasari segala bentuk tanggung jawab terhadap yang lain. Dalam hal ini, seseorang tidak dapat menghindar dan meniadakan keberadaan yang lain.
Hilangnya rasa tanggung jawab dan sensibilitas terhadap yang lain mengakibatkan relasi tidak sehat. Mendorong terjadinya pertikaian, penguasaan, penindasan, penganiayaan, dan pembunuhan. Jika rasa bertanggung jawab terhadap yang lain dihidupi, maka tindak kekerasan tidak akan terjadi. Perlu diketahui bahwa tragedi kemanusiaan berupa kematian terjadi karena tumbuhnya rasa tidak peduli terhadap eksistensi yang lain. Oleh karena itu, Levinas menunjukkan bahwa setiap orang adalah jejak yang-tak-terbatas (Allah). Terkait dengan hal ini, Levinas berharap setiap orang menghargai atau menghormati yang lain. Karena yang lain merupakan ciptaan dan citra Allah.
Levinas memperjuangkan humanisme bagi yang lain. Humanisme yang diperjuangkan Levinas bersifat religius. Karena yang lain dilihat dan disebut sebagai jejak yang-tak-terbatas. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai tanggung jawab terhadap eksistensi yang lain. Tanggung jawab tersebut merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Gagasan tersebut menunjukkan bahwa pemikiran Levinas berakar pada relasi antarmanusia.
Levinas menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap yang lain bukan sekadar melakukan kewajiban. Tanggung jawab terhadap yang lain merupakan hakikat sejati relasi antarmanusia. Karena manusia tidak dapat menghindari dan meniadakan eksistensi yang lain. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa tanggung jawab seseorang terhadap yang lain menjadi bagian dari pribadi dan hidup setiap orang. Dengan demikian, manusia harus bertanggung jawab terhadap kehidupan setiap orang yang dijumpainya.
Berdasarkan gagasan Levinas tentang relasi antarmanusia, terdapat sejumlah pokok yang dapat dipelajari dan direnungkan lebih lanjut. Pertama, pentingnya pola relasi transenden yang bersifat etis dan asimetris. Karena pola relasi transenden mengajarkan keterbukaan, kerahiman, kebaikan, dialog, dan keadilan. Jika pola relasi transenden dilakukan dengan baik, maka relasi antarmanusia menjadi lebih indah dan bermakna. Terdapat semangat untuk saling mengasihi, memerhatikan, dan melengkapi.
Kedua, pentingnya bertanggung jawab terhadap eksistensi yang lain. Jika setiap orang bertanggung jawab terhadap eksistensi yang lain, maka tindak kekerasan tidak akan terjadi. Rasa saling memiliki dan menjaga akan bertumbuh serta berkembang. Mempunyai rasa simpati dan empati terhadap penderitaan yang lain.
Ketiga, pentingnya sensibilitas untuk menghormati dan menghargai eksistensi yang lain. Perlu diketahui bahwa sensibilitas mendorong seseorang untuk peka dan respek terhadap yang lain. Ketika yang lain dalam keadaan terpuruk dan tidak berdaya, setiap orang tergerak serta berbelas kasih untuk membantunya.
Keempat, pentingnya melihat yang lain sebagai jejak yang-tak-terbatas. Jika setiap orang melihat yang lain sebagai jejak yang-tak-terbatas, maka suasana persaudaraan dan perdamaian terpelihara dengan baik. Karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah yang sama, sama-sama berdosa, diampuni dari dosa oleh Allah yang sama, dan akan kembali kepada Alllah yang sama.
Kelima, pentingnya bersikap adil terhadap yang lain. Perlu diketahui bahwa sikap adil terhadap yang lain menjadi tanda kehadiran Allah yang maha adil. Oleh karena itu, setiap orang yang mengikuti Allah yang maha adil harus memerhatikan orang kecil, miskin, tertindas, dan teraniaya. Hal ini harus dilakukan dengan penuh pengorbanan dan dedikasi yang tinggi.
Keenam, pentingnya membangun persaudaraan universal. Persaudaraan universal merupakan pola relasi yang menjamin terjadinya keadilan sosial. Dalam persaudaraan universal, pola relasi bersifat langsung, tanpa perantara dalam bentuk apa pun. Hadir secara langsung, ambil bagian dan bertanggung jawab terhadap eksistensi yang lain.
Akhirnya, ada dua cara dalam membangun relasi dengan yang lain. Pertama, relasi totaliter yang bersifat egoistik. kedua, relasi transenden yang bersifat etis. Perlu diketahui bahwa pola relasi totaliter dicirikan oleh hubungan simetris, adanya pertikaian, penguasaan, penindasan, dan pembunuhan. Sedangkan pola relasi transenden dicirikan hubungan asimetris, keterbukaan, dialog, kerahiman, kebaikan, dan keadilan. Oleh karena itu, untuk menjalin relasi yang sehat, setiap orang harus mengedepankan pola relasi transenden yang bersifat etis. Jika hal ini tidak diperjuangkan, maka manusia akan jatuh pada pola relasi totaliter, saling bermusuhan dan menindas.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Lanur, Alex. Aku Disandera: Aku dan Orang Lain Menurut Emmanuel Levinas. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.
—————. Filsafat Manusia. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.
—————. “Hubungan Antarpribadi Menurut Buber dan Levinas.” Basis, Desember 1991, 444-456.
Lechte, John. Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Sastrapratedja, M. Filsafat Manusia 1. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2010.
Suseno, Franz Magnis. Etika Abad 20: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
—————————-. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Tjaya, Thomas Hidya. “Emmanuel Levinas: Ketika Kita Merasa Lelah.” Basis, No. 09-10, 2012, 12-17.
—————————-. Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.