Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

1. Pengantar

Filsafat Cina memiliki sejarah panjang. Asal-usulnya mulai seribu tahun sebelum masehi. Pada awal abad VIII sampai V sebelum masehi, filsafat Cina mempunyai ajaran sumber-sumber utama (lima anasir alam), yaitu air, api, kayu, logam, dan bumi. Menurut para pemikir Cina kuno, gabungan lima unsur tersebut menciptakan berbagai macam fenomena. Selain itu, terdapat sistem untuk menyingkapkan sumber utama dunia nyata. Ying King (buku tentang perubahan) menyebut delapan sumber utama. Interaksi di antara sumber tersebut membentuk sejumlah realitas.

Pada saat yang sama, terbentuk doktrin kekuatan aktif (yang) dan pasif (yin), keduanya berlawanan dan saling terkait. Kekuatan tersebut dipandang sebagai penyebab gerakan dan perubahan di alam. Perlu diketahui bahwa kekuatan tersebut merupakan simbol cahaya dan kegelapan, positif dan negatif, dan jantan serta betina. Selanjutnya, penulis akan menguraikan sejarah dan filsafat bangsa Cina. Oleh karena itu, penulis membagi tulisan ini ke dalam dua bagian. Pertama, perjalanan sejarah bangsa Cina. Kedua, filsafat bangsa Cina.

2. Perjalanan Sejarah Bangsa Cina

Berdasarkan tradisi, sejarah bangsa Cina bermula dari rangkaian raja-raja bijaksana (sage-kings), berkuasa pada akhir milenium ketiga sebelum masehi.[1] Namun, hal ini merupakan penerimaan yang tidak kritis, baik oleh orang Cina maupun orang Barat terhadap kisah raja-raja bijaksana. Karena menciptakan kesan keliru berkenaan dengan peradaban bangsa Cina zaman dahulu. Saat ini para sarjana sepakat bahwa raja-raja bijaksana tersebut tidak lebih dari figur mistis. Selain itu, kisah tentang raja-raja bijaksana merupakan temuan yang diidealkan pada periode berikutnya.

Eksistensi historis dinasti Cina pertama, yaitu Hsia (2205-1766 SM) diragukan, meskipun dapat dijelaskan ilmu arkeologi.[2] Tetapi untuk dinasti Shang (1766-1123 SM), kita memeroleh landasan historis yang kokoh.[3] Tempat yang menjadi ibukotanya, ditemukan prasasti yang diukir di atas tulang dan tempurung kura-kura.

Dalam dinasti Chou (1122-256 SM), kita memeroleh banyak catatan sejarah. Periode dinasti Chou merupakan masa keemasan filsafat Cina. Pada abad-abad awal berkuasanya dinasti Chou, sebagian besar negara-negara kecil berkelompok di sekeliling lembah Sungai Kuning (Yellow River) di Cina Utara. Mereka diikat janji kesetiaan terhadap keluarga raja Chou dalam sistem feodal, sama seperti sistem feodal abad pertengahan di Eropa. Namun, secara berangsur-angsur sistem feodal mengalami kehancuran. Oleh karena itu, kekuatan keluarga raja Chou melemah. Keadaan tersebut memicu pertikaian politik, sosial, dan ekonomi. Hal ini merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas berbagai macam persoalan yang dihadapkan pada mereka. Selain itu, hal ini menyebabkan munculnya pemikiran filsafat Cina yang terorganisir dan mendasari kejayaan kebudayaan.[4]

Negara Ch’in (221 SM), yang darinya kemungkinan nama Cina diturunkan, membasmi negara-negara lain yang berlawanan, di mana untuk pertama kalinya negara tersebut membentuk kekaisaran Cina.[5] Dinasti Ch’in mengganti aristokrasi feodal dengan menetapkan birokrasi terpusat, memulai bentuk pemerintahan yang menjadi acuan bagi dinasti berikutnya. Dengan pengecualian pembentukan Republik Cina tahun 1912, peristiwa tersebut menandai perubahan terbesar dalam sejarah perpolitikan Cina.

Kekejaman yang dilakukan Ch’in untuk mencapai keadaan tersebut membawanya pada kehancuran. Usaha penyatuan dilanjutkan oleh kekuatan politik dinasti Han (206 SM-220 M), di mana kekaisaran diperluas meliputi wilayah Cina dan Cina Turkistan.[6] Penyatuan politik tersebut disertai dengan penyatuan pemikiran. Kebanyakan mazhab filsafat Chou tidak menampakkan diri sebagai mazhab yang terpisah, meskipun gagasan mereka diserap ke dalam Confucianisme dan Toisme.

Empat ratus tahun kemudian dari kekuasaan Han, sampailah pada empat abad yang diistilahkan sebagai Periode Perpecahan (221-589 M). Selama periode tersebut Cina terbagi ke dalam sederetan dinasti yang berumur pendek (Selatan), dan sederetan lain dari dinasti yang berumur pendek berada di Utara.[7] Beberapa dari yang disebut terakhir dikuasai kelompok pengembara non-Cina. Mereka berhasil melewati Tembok Raksasa (Great Wall). Bagi orang Cina, abad ini dianggap sebagai masa kegelapan. Meskipun demikian, secara budaya mereka terkemuka. Sedangkan secara filosofis mereka ditandai kemunduran Confucianisme, didominasi Taoisme dan Buddhisme.

Dinasti Sui (590-617 M) dan terutama dinasti T’ang (618-906 M), membawa pembaruan kesatuan dan kekuatan politik ke Cina. Namun, dalam beberapa hal menunjukkan garis pasang-surut di bidang kebudayaan.[8] Di bawah T’ang, Buddhisme mencapai puncak, salah satu mazhabnya adalah Ch’anisme. Namun, Buddhisme berangsur-angsur mengalami kemunduran. Confucianisme sebaliknya, menanjak naik dan mencapai puncak tertinggi.

Keruntuhan dinasti T’ang diikuti kegelisahan panjang lebih dari lima puluh tahun. Kemunculan dinasti Sung (960-1279), yang secara politik lebih lemah dibandingkan T’ang, tetapi secara budaya sama-sama brilian.[9] Dalam bidang pemikiran, Confucianisme tampak sejak dinasti Han. Gerakan tersebut dikenal di Barat sebagai Neo-Confucianisme.

Dinasti Yuan (1280-1367), yang menggantikan Sung, dikenal sebagai masa di mana seluruh Cina untuk pertama kali diperintah kelompok asing, yaitu orang-orang Mongol.[10] Namun secara budaya, bukan hal penting untuk diperbandingkan. Dinasti Ming (1368-1643) ikut mengembalikan negara kepada kekuasaan Cina, meskipun ini merupakan periode yang menyenangkan dalam kehidupan, namun kontribusinya terhadap budaya sedikit.[11] Secara filosofis, dinasti ini terkenal sebagai dinasti mazhab Jiwa Universal (Universal Mind).

Di bawah dinasti Ch’ing (1644-1911), Cina kembali berada di bawah kekuasaan non-Cina, yaitu orang-orang Manchuria.[12] Permulaan abad kesembilan merupakan periode paling makmur dalam sejarah bangsa Cina, dan juga periode kemajuan dalam bidang kebudayaan. Secara politik, kekaisaran semakin luas bahkan melebihi batas yang pernah dicapai Han dan T’ang. Tetapi pada awal abad kesembilan belas, kekuatan Manchu melemah. Kelemahan secara internal di Cina bersamaan dengan timbulnya tekanan politik dan ekonomi akibat industrialisasi di Barat.

Runtuhnya kekuasaan Manchuria pada 1911, mengakibatkan penghapusan sistem monarkhi tertua di dunia, dan menandai titik balik dalam sejarah Cina. Selama dekade berikutnya terjadi penetapan Republik pada 1912. Sejak saat itu Cina berhadapan dengan kepentingan pembersihan dan perubahan dalam strustur sosial, politik, dan ekonomi.

3. Filsafat Bangsa Cina

3.1 Jiwa Filsafat Cina

3.1.1 Kedudukan Filsafat dalam Peradaban Cina

Bagi orang Barat, yang melihat bahwa kehidupan orang-orang Cina diliputi Confucianisme, tampak bahwa Confucianisme adalah agama (religion).[13] Tetapi sesungguhnya Confucianisme itu bukan agama. Memang benar, bahwa Buku Yang Empat menjadi Kitab Suci bagi orang-orang Cina, tetapi Buku Yang Empat tidak mengisahkan penciptaan dan tidak menyebutkan surga serta neraka.

Menurut tradisi filsafat Cina, fungsi filsafat bukan untuk menambah pengetahuan positif (informasi yang sesuai dengan kenyataan), tetapi untuk meningkatkan taraf jiwa.[14] Suatu upaya mencapai apa yang berada di luar dunia nyata, mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai moral. Perlu diketahui bahwa dalam tradisi filsafat Cina ada perbedaan antara bekerja berdasarkan pengetahuan dan bekerja berlandaskan Tao (jalan). Maksud dari pernyataan yang pertama adalah penambahan pengetahuan positif, sedangkan pernyataan kedua merupakan peningkatan taraf jiwa.

3.1.2 Masalah dan Jiwa Filsafat Cina

Karena materi filsafat Cina adalah jalan (Tao) bijaksana di dalam dan meraja di luar, maka studi filsafat bukan hanya usaha memeroleh pengetahuan, melainkan usaha mengembangkan karakter. Filsafat bukan sesuatu untuk diketahui, tetapi untuk dihayati.[15] Filsafat bukan sekadar permainan intelektual, tetapi sesuatu yang jauh lebih serius. Pada dirinya, filsafat bukan sekadar gagasan yang diperlihatkan agar dipahami, namun merupakan sistem ajaran batin yang mengarahkan perilaku seorang filsuf.[16]

3.1.3 Cara Para Filsuf Cina Mengungkapkan Diri

Ketika seseorang mulai membaca filsafat Cina, kesan pertama yang diperoleh adalah ringkas dan tidak ada keterkaitan dari ucapan serta tulisan pengarang.[17] Demikian buku Untaian Ajaran Confucius, setiap paragraf terdiri dari sedikit kata-kata. Hampir tidak ada hubungan apa pun antara satu paragraf dengan paragraf berikutnya. Dengan demikian, seorang mahasiswa yang terbiasa dengan penalaran terperinci dan argumentasi detail sulit memahami ucapan para filsuf Cina.

3.2 Latar Belakang Filsafat Cina

3.2.1 Latar Belakang Geografis Bangsa Cina

Cina adalah negara kontinental.[18] Bagi orang-orang Cina Kuno, negeri mereka adalah dunia. Ada dua ungkapan dalam bahasa Cina yang keduanya bisa diterjemahkan sebagai dunia, yaitu seluruh yang ada di bawah langit dan seluruh yang ada di dalam empat lautan. Bagi orang-orang yang ada di negara maritim seperti Yunani, hal ini tidak masuk akal. Tetapi itulah yang terjadi dalam bahasa Cina.

3.2.2 Latar Belakang Ekonomi Masyarakat Cina

Para filsuf Cina Kuno dan Yunani Kuno tidak hanya hidup di bawah perbedaan kondisi geografis, tetapi juga perbedaan ekonomi. Karena Cina merupakan negara kontinental, maka bangsa Cina mempertahankan hidup melalui bidang pertanian.[19] Bahkan dewasa ini populasi penduduk Cina yang berkecimpung di bidang pertanian mencapai tujuh puluh lima sampai delapan puluh persen. Dalam negara agraris, tanah adalah basis kekayaan. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Cina, pemikiran dan kebijakan bidang sosial ekonomi berpusat pada penggunaan serta distribusi tanah.

3.2.3 Nilai Bidang Pertanian

Para petani bergaya hidup primitif dan sederhana. Oleh karena itu, selalu siap menerima perintah. Mereka kenak-kanakan dan lugu, tidak mementingkan diri sendiri. Harta benda mereka sulit dipisahkan dan dipindahkan. Hal ini membuat mereka tidak meninggalkan negera ketika dalam kondisi berbahaya. Sedangkan para pedagang korup dan tidak taat. Mereka curang, mementingkan diri sendiri. Mereka memiliki harta benda sederhana sehingga mudah dialihkan. Biasanya mereka meninggalkan negara ketika berada dalam kondisi berbahaya. Dengan demikian, gaya hidup orang ditentukan latar belakang ekonomi.[20]

3.2.4 Idealisme Alam

Para petani adalah orang-orang yang selalu kontak dengan alam, mengagumi dan mencintai alam. Kekaguman dan kecintaan terhadap alam dikembangkan para penganut Taoisme. Mereka membuat pembedaan antara sesuatu yang berasal dari alam dan yang berasal dari manusia, yang natural dan yang artifisial. Menurut mereka, yang berasal dari alam adalah sumber kebahagiaan, sedangkan yang berasal dari manusia merupakan akar penderitaan.[21] Mereka, sebagaimana dikatakan Hsun Tzu, dibutakan oleh alam dan tidak memiliki pengetahuan tentang manusia. Terkait dengan hal ini, para penganut Taoisme menegaskan bahwa prestasi tertinggi pengembangan spiritualitas manusia bijaksana terletak pada pengidentifikasian dirinya dengan alam semesta.

3.2.5 Keluarga

Dalam kehidupan keluarga yang mendiami tempat tertentu, nenek moyang yang disembah adalah yang pertama dari keluarga yang menempatkan diri sendiri serta anak-cucu keturunannya di tempat tersebut.[22] Dengan demikian, nenek moyang menjadi simbol kesatuan keluarga. Simbol tersebut harus ada dalam organisasi yang luas dan kompleks.

3.2.6 Keduniawian Ini dan Keduniawian Lain

Confucianisme merupakan filsafat organisasi sosial, filsafat kehidupan sehari-hari. Confucianisme menekankan tanggungjawab sosial manusia, sedangkan Taoisme menekankan sesuatu yang bersifat alami dan yang bersifat spontan di dalam diri manusia. Karena mengembara dalam batas-batas masyarakat, Confucianisme bersifat keduniawian ini. Sedangkan Taoisme bersifat keduniawian lain, karena mengembara di luar batas-batas masyarakat.[23]

3.2.7 Kesenian

Para penganut Confucianisme menggunakan kesenian sebagai instrumen pendidikan moral.[24] Sedangkan para penganut Taoisme tidak mempunyai naskah formal tentang kesenian. Tetapi kekaguman mereka terhadap gerakan jiwa yang bebas dan idealisme terhadap alam memberikan inspirasi kepada para seniman besar Cina. Oleh karena itu, para seniman Cina mengambil alam sebagai inspirasi. Kebanyakan lukisan seniman Cina berupa pemandangan alam, hewan, bunga, pepohonan, dan bambu. Dalam sebuah lukisan berupa pemandangan, penikmat seni akan menemukan manusia yang sedang duduk, mengapresiasi keindahan alam dan merenungkan Tao yang melampaui alam serta manusia.

3.2.8 Metodologi Filsafat Cina

Bahasa yang digunakan filsafat Cina bersifat menyiratkan (suggestive), bukan menegaskan (articulate).[25] Karena filsafat Cina tidak mempresentasikan konsep-konsep atau penalaran deduktif. Para filsuf hanya menyatakan kepada kita sesuatu yang ia lihat. Oleh karena itu, sesuatu yang ia katakan kaya akan isi, meskipun singkat. Hal ini menjadi alasan mengapa sesuatu yang disampaikan bersifat menyiratkan.

3.2.9 Negara Maritim dan Negara Kontinental

Kenyataan bahwa bangsa Cina adalah para petani, menjelaskan mengapa Cina gagal memasuki revolusi industri, yang dapat digunakan sebagai instrumen memperkenalkan dunia modern.[26] Hal ini berkaitan dengan pandangan hidup para petani, selaras dengan alam. Mereka mengagumi alam dan meremehkan hal-hal tiruan. Dalam keprimitifan dan kepolosan, mereka mudah merasa puas. Mereka tidak menghendaki perubahan dan tidak dapat membayangkan adanya perubahan.

Berbeda dengan para pedagang di negara maritim. Mereka memiliki kesempatan lebih besar melihat bangsa-bangsa yang berbeda, kebiasaan dan bahasa yang berbeda. Mereka terbiasa berubah dan tidak takut terhadap hal-hal baru. Agar penjualan laris, mereka harus mampu menghasilkan hal-hal baru dalam pembuatan barang-barang. Di Barat bukan kebetulan apabila revolusi industri diawali di Inggris. Karena negara maritim mempertahankan kemakmurannya melalui perdagangan.[27]

3.2.10 Yang Tetap dan Yang Berubah dalam Filsafat Cina

Kemajuan ilmu pengetahuan menaklukkan faktor geografis. Oleh karena itu, Cina tidak lagi terisolasi. Cina sedang mengalami industrialisasi, meskipun jauh lebih kemudian dibandingkan Barat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.[28] Tidak benar mengatakan bahwa Timur diserbu Barat. Hal ini merupakan peristiwa di mana sesuatu yang berasal dari abad pertengahan diserbu abad modern. Supaya mampu hidup di dunia modern, Cina harus modern.

4. Penutup

Sejarah Cina memperlihatkan kepada kita bahwa berulangkali di masa lampau penderitaan melanda manusia. Tetapi orang-orang Cina berhasil mengatasi dan menyelamatkan diri dari krisis. Terkait dengan hal ini, dunia harus belajar dengan cepat menerima kosmopolitanisme. Dalam perubahannya, Cina tidak dapat mengelak bahwa ideologi masa lalu harus ditinggalkan. Namun, beberapa ideologi dipertahankan sebagai kontribusi terhadap filsafat dunia masa depan.

Daftar Pustaka:

Yu-Lan, Fung. A Short History of Chinese Philosophy. New York: The Macmillan Company, 1964.

[1] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy. New York: The Macmillan Company, 1964, XIV.

[2] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XIV.

[3] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XIV.

[4] Confucius (551-478 SM) adalah filsuf yang paling awal diantara filsuf-filsuf ini, kemudian diikuti oleh banyak yang lain termasuk pertumbuhan secara luas mazhab-mazhab pemikiran yang berbeda-beda. Secara politis, abad-abad yang mengiringi Confucius kira-kira sama seperti yang dikenal sebagai Periode Negara-Negara Berperang (Period of the Warring States). Lih. Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XV.

[5] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XV.

[6] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XV.

[7] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XV.

[8] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XVI.

[9] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XVI.

[10] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XVI.

[11] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XVI.

[12] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, XVI.

[13] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 1.

[14] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 5.

[15] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 10.

[16] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 10.

[17] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 11.

[18] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 16.

[19] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 17.

[20] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 19.

[21] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 20.

[22] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 21.

[23] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 22.

[24] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 23.

[25] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 25.

[26] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 26.

[27] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 26.

[28] Fung Yu-Lan. A Short History of Chinese Philosophy, 27.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

6 + 2 =