Oleh: Yansianus Fridus Derong OFM
(Sekretaris Eksekutif JPIC OFM Indonesia)
1. Pengantar
Sinode Amazon diselenggarakan di Roma pada 6 – 27 Oktober 2019. Sinode ini pertama kali dicetuskan Paus Fransiskus dalam Doa Angelus pada 15 Oktober 2015 dan diinspirasikan perjalanan panjang Paus Fransiskus ketika mendengarkan Umat Allah di Gereja Amazon, terutama dalam kunjungannya ke Amazon pada 19 Januari 2018. Sinode ini diikuti 184 bapa sinode (para uskup dan beberapa klerikus yang memiliki hak untuk memberikan suara) dan 13 kardinal baru yang dilantik sehari sebelumnya, juga para misionaris, umat awam, dan perwakilan masyarakat adat Amazon.
Ada banyak isu yang dibahas dalam sinode ini, seperti isu selibat, tahbisan imam untuk mereka yang telah menikah, jabatan baru untuk wanita dalam Gereja, dan ekologi (secara khusus kerusakan lingkungan di hutan Amazon), dan hak-hak penduduk asli Amazon (indigenous people). Isu-isu tersebut dikemas dalam tema besar, yang sekaligus judul dokumen hasil senode Amazon, Jalan-jalan baru bagi Gereja dan Ekologi Integral.
Setalah membaca seluruh dokumen ini, saya menemukan pesan penting yang mau disampaikan, yaitu seruan pertobatan kepada Gereja dan seluruh dunia agar terciptanya kehidupan yang penuh suasana harmonis dan solider.
2. Amazon: Paru-Paru Dunia yang Telah Hancur
Wilayah Amazon membentang di sembilan negara, yaitu Brasil, Bolivia, Peru, Ekuador, Kolombia, Venezuela, Guyana, Suriname, dan Guyana Prancis. Wilayah ini disebut sebagai “paru-paru dunia,” menyediakan sekitar dua puluh persen air tawar. Selain itu, Amazon merupakan Kawasan multi etnik dan budaya, di mana mereka membangun pandangan hidup, simbol dan makna, dan pandangan mereka tentang masa depa. Dengan kekayaan alam dan budaya yang ada, mereka membangun hidup yang baik (buen vivir); hidup yang penuh harmoni dengan sesama, dengan alam maupun dengan Allah. Ada sebuah interkomunikasi dengan semesta, yang menegasikan sikap saling mengeksklusikan satu sama lain.
Namun, kini Amazon menghadapi krisis, baik krisis lingkungan maupun sosial akibat ulah manusia. Di sana terjadi privatisasi kekayaan alam, pembabatan hutan secara masif, pertambangan minyak dan pelbagai macam industri ektraktif yang menyebabkan polusi dan perubahan iklim. Di sana juga terjadi aneka krisis sosial, yang menimbulkan polusi relasi. Misalnya, alkoholik, pemakaian obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, seks bebas, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, perdagangan organ tubuh, dan hilangnya identitas dan budaya asli. Yang paling dikorbankan dari krisis tersebut adalah kelompok-kelompok yang rapuh dan rentan, yaitu anak-anak, kaum perempuan, orang muda dan ibu bumi.
Berhadapan dengan situasi krisis tersebut, maka sinode mempromosikan gagasan tentang ekologi integral. Gagasan yang sudah dituangkan Paus Fransiskus dalam ensklik Laudati Si ini menekankan prinsip keterkaitan atau konektivitas segala sesuatu. Dalam konteks persoalan lingkungan, ekologi integral menegaskan bahwa isu lingkungan berkaitan erat dengan isu-isu lain. Misalnya, isu sosial-politik dan eklesial serta kultural. Dan yang menjadi kata kunci bagi seluruh proses perawatan dan perbaikan kawasan Amazon agar tetap terpelihara hidup yang baik (good living/buen vivir) adalah “pertobatan”.
3. Pertobatan Integral
Mengacu pada dokumen Laudato Si, sinode kembali berpaling kepada Santo Fransiskus Asisi sebagai teladan dalam melakukan pertobatan integral. Santo Fransiskus memeluk cara hidup sederhana dan rendah hati, penuh dengan sukacita Kristiani (bdk. LS 12). Relasi Santo Fransiskus yang begitu baik dan mendalam dengan Allah membuatnya merangkul dengan penuh cinta orang yang lemah dan tersingkir, bahkan melihat ciptaan lain sebagi saudara dan saudari. Gereja memohon anugerah Roh Kudus agar berani dan kuat dalam komitmen merawat bumi sebagai rumah bersama. Pertobatan integral adalah pertobatan pribadi dan bersama yang menghantar kita pada komitmen untuk berelasi secara harmonis dengan alam ciptaan sebagai rumah kita bersama; sebuah pertobatan yang mempromosikan struktur baru yang harmoni dengan upaya pelestarian ciptaan; sebuah pertobatan sinodal, menyadari interaksi di antara segala sesuatu yang tercipta. Pertobatan integral ini yang akan menghantar Gereja Katolik menjadi Gereja yang mencari dan masuk dalam hati semua orang Amazon (No. 18).
3.1 Pertobatan Pastoral
Gereja membutuhkan pertobatan pastoral supaya menjadi Gereja misioner, Gereja yang keluar. Gereja harus menjadi seperti “Orang Samaria yang baik hati”, yang dalam suasana dialog mau mendampingi, bertatapan muka dengan masyarakat asli, orang muda, para migran, dan semua orang yang lemah serta menderita. Untuk melakukan hal ini, Gereja membutuhkan semangat mendengarkan dan menyuarakan. Muara dari pertobatan pastoral adalah membentuk citra Gereja yang berbelaskasih seperti wajah orang samaria yang baik hati sebagaimana dikisahkan dalam Injil; Gereja yang berbela rasa, Gereja yang solider, dan Gereja yang memiliki semangat dialog ekemenis, agama, dan budaya. Pertobatan pastoral juga membantu Gereja menghidupi semangat misioner, keluar untuk menemani, mendampingi masyrakat asli, orang muda, anak-anak, para pekerja migran, dan semua orang yang rapuh serta tersingkir.
3.2 Pertobatan Kultural
Sinode merasa amat penting untuk melakukan pertobatan budaya, supaya kita dapat saling beradaptasi dan saling belajar satu sama lain. Gereja mesti mempraktekkan dan menghidupkan inkulturasi serta interkulturalitas dalam mewartakan Kabar Gembira. Iman kita tidak hanya diungkapkan dan dihidupi dalam karya pastoral tetapi juga melalui tindakan nyata bagi sesama. Misalnya, karya kesehatan, Pendidikan, dan solidaritas serta dukungan terhadap mereka yang rapuh dan lemah.
Melalui pertobatan budaya, Gereja akan menghadirkan wajahnya sebagai wajah Gereja yang hadir dan ada bersama orang Amazon; wajah Gereja yang sungguh terjelma bagi wilayah itu; yang menginjili dan membuka langkah-langkah baru sehingga orang merasa didampingi dalam proses pertumbuhan iman mereka. Pertobatan budaya ini juga memungkinkan Gereja untuk membaharui cita rasa misinya dengan mengedepankan misi kenabian dan misi orang Samaria yang baik hati serta berbelas kasih. Pertobatan budaya juga akan mengantar Gereja untuk terbuka pada dialog dengan budaya lain. Terdapat sejumlah karakteristik Gereja yang berwajah Amazon.
Pertama, mengakui nilai-nilai budaya orang Amazon. Ada begitu banyak nilai-nilai atau kearifan yang dimilki orang Amazon yang penting bagi kehidupan. Nilai-nilai itu adalah benih Sabda Allah. Di Amazon kita menemukan model penghayatan interrelasi dan interkonektivitas entah di dalam lingkungan alam maupun sosial; melalui menajemen tradisional yang diberikan alam kepada mereka, orang Amazon juga memerlihatkan dan menyumbang sebuah sistem yang saat ini dikenal dengan “manajemen keberlanjutan”. Selain itu, orang Amazon juga mengedepankan nilai kesalingan (Resiprokal), solidaritas, rasa kebersamaan (sense of community), kesetaraan, kekeluargaan, organsasi sosial, dan pelayanan.
Kedua, Gereja yang hadir untuk ada bersama, menemani, dan berpihak kepada masyarakat Amazon. Di tengan aneka krisis dan kehancuran yang dialami masyarakat amazon, Gereja dipanggil untuk membela kehidupan, komunitas, tanah, dan hak serta martabat manusia; sehingga tergenapilah apa yang dikatakan Injil, Aku datang agar mereka memilki hidup dalam kelimpahan (Yoh. 10:10b). Gereja mempromosikan sebuah keselamatan manusia yang integral, yang mencakup semua aspek, yaitu menghormati budaya asli, mengupayakan kebutuhan dasar manusia, mendampingi masyarakat dalam memperjuangkan harkat dan martabat, menyingkirkan struktur dosa dan kematian, kekerasan, dan ketidakadilan dengan mengedepankan dialog ekumenis, agama, dan budaya.
Ketiga, Gereja lintas budaya (Intercultural Church). Sebagaimana Yesus melalui inkarnasi hadir ke dunia dalam budaya tertentu, demi mengindentifikasikan diri-Nya dengan seluruh umat mansusia, Gereja dipanggil melalui proses inkulturasi untuk menginkarnasikan Injil ke dalam budaya masyarakat asli. Dalam Proses ini, masyarakat asli menjadi subyek pastoral dan pelayanan Gereja. Ada sejumlah hal yang harus dilakukan Gereja:
(1) iman yang hidup harus diungkpkan dalam kesalehan umat dan katekese yang bersentuhan dengan nilai-nilai budaya. Ungkapan-ungkapan iman mereka dalam ritus, simbol, dll harus dihargai, didukung dan dikembangkan, kadang-kadang ‘dimurnikan’, karena itu semua adalah saat-saat istimewa untuk evangelisasi yang menghantar mereka pada perjumpaan dengan Kristus.
(2) misteri iman harus direfleksikan dalam teologi interkultural; sehingga menghasilkan teologi yang khas. Misalnya, teologi Indian atau teologi yang berwajah Amazon. Sinode mendorong agar pusat-pusat penelitian Gereja mempelajari dan mengumpulkan tradisi, bahasa, kepercayaan, dan aspirasi masyarakat adat, sehingga membentuk sebuah sistem pendidikan yang dilandasi pada idenitas serta budaya mereka sendiri. Adapun Langkah-langkah untuk membangun Gereja Lintas budaya adalah: (1) penghormatan terhadap budaya dan martabat manusia, (2) mempromosikan dialog lintas budaya, dan (3) mengedepankan pastoral kesehatan, pendidikan, dan komunikasi.
3.3 Pertobatan Ekologis
Dalam menghadapi krisis sosial-lingkungan saat ini, sinode menyerukan perlunya melakukan pertobatan ekologis. Sasaran dari pertobatan ekologis adalah untuk menyadarkan Gereja agar menghubungkan pastoralnya dengan persoalan lingkungan dan keadilan bagi orang yang paling miskin serta paling tidak beruntung di muka bumi. Pertobatan ekologis lahir sebagai buah dari kesadaran akan ekologi integral. Dengan mengacu pada Laudato si, ekologi integral menegaskan bahwa segala sesutu itu terhubungkan atau terkoneksi satu sama lain (LS 16). Persoalan ekologi tidak per se persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan keadilan, moral, politik, dll. Dalam tataran pemikiran ini, ketika berbicara tentang pertobatan ekologis, sinode tidak hanya mau melawan ciri ektraktivisme aktivitas manusia yang banyak menghancurkan alam, tetapi juga berbicara tentang keadilan, solidaritas, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sinode dengan tegas mengatakan, “membela dan mempromosikan hak asasi manusia bukan hanya tanggungjawab sosial atau politik, melainkan sebuah tuntutan iman” (70).
Adapun beberapa Langkah penting sebagai konkretisasi pertobatan ekologis: (1) mengecam pelanggaran hak asasi manusia dan menolak upaya-upaya ekstraktif yang menghancurkan alam Amazon, (2) mengusulkan untuk mencari alternatif energi-energi bersih dan terbarukan untuk mengurangi emisi karbondioksida dan gas lain yang menyebabkan perubahan iklim, (3) mengembangkan pendidikan untuk memelihara bumi, “rumah bersama”, (4) mendorong penggunaan kembali dan mendaur ulang, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan plastik, (5) mengurangi kebiasaaan konsumsi yang berlebihan dan membuang dengan memilih pola hidup sederhana, (6) menanam pohon.
3.4 Pertobatan Sinodal
Kata “sinode” mengacu kepada jalan yang mana umat beriman berlangkah; hal ini mengacu kepada Tuhan Yesus yang memperkenalkan diri-Nya sebagai ”jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6), dan orang Kristen dipanggil untuk mengikuti jalan Tuhan (Kis. 9;2). Sedangkan “sinodal” berarti bersama-sama mengikuti jalan Tuhan (Kis.18:25). Sedangkan “sinodalitas” adalah cara berada jemaat perdana/Gereja Awal (Kis.15) dan juga menjadi cara berada Gereja saat ini; model Gereja sebagaimana yang digambarkan Paulus, yakni Gereja sebagai Tubuh Kristus (I Kor. 12:12, bdk. Dok. No. 81). Melalui pertobatan sinodal, dokumen Amazon ingin membaharui wajah Gereja dengan upaya menyingkirkan klerikalisme dan penyimpangan sewenang-wenang; memperkuat budaya dialog dan mendengarkan dengan penuh iman dan melibatkan semua komponen dan kehidupan menggereja. Sinode menekankan lagi peran kaum awam dan kaum perempuan dalam kehidupan Gereja.
Dokumen mengusulkan hidup bakti “berwajah Amazon”, dengan mulai memperkuat panggilan penduduk asli. Di sini juga ditegaskan pentingnya penugasan para religius untuk melayani mereka yang miskin dan tersingkirkan. Dalam formasi para imam dan kaum religius diberikan penekanan akan pentingnya dialog spiritualitas Kristiani dengan spiritualitas budaya setempat. Untuk itu, formasi para calon imam mesti berciri eksperiensial, spiritual, pastoral, dan doktrinal; dalam perjumpaan langsung dengan kehidupan nyata manusia, dalam harmonisasi dengan budaya dan spiritulitas lokal dan dekat dengan orang miskin. Kita perlu mempersiapkan para imam yang baik; yang menghidupi Injil, mengetahui hukum kanonik, berbelarasa seperti Yesus, yang melaksanakan kehendak Bapa dan yang dihidupi oleh Ekaristi dan Sabda Tuhan (107). Bahkan sinode mendesak Gereja adanya diakon permanen. Diakon, di bawah wewenang Uskup bertugas untuk melayani komunitas khususnya untuk memajukan ekologi integral, pembangunan manusia, karya sosial, dan pelayanan kepada mereka yang lemah serta rentan.
Dokumen ini memberikan ruang yang sangat luas bagi kehadiran kaum awam dan peran perempuan dalam Gereja. Terkait dengan pentingnya peran awam dalam Gereja, sinode menganjurkan agar uskup “dapat mempercayakan, untuk periode waktu tertentu dalam ketiadaan imam, pelayanan pastoral dapat dipercayakan kepada seseorang yang tidak dilengkapi tahbisan imamat, yang adalah anggota kemunitas tersebut; meski tanggunjawab utama tetap di bawah tanggungjawab imam. Sinode meminta agar suara perempuan didengarkan, agar mereka berperan secara lebih dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat berkontribusi lebih baik dalam pastoral Gereja maupun pemerintahan. Sinode menegaskan kembali komitmen Gereja untuk membela hak-hak kaum perempuan, khususnya perempuan migran. Selain itu, mengau pada Motu Proprio Paus Paulus VI Ministeria quaedam, sinode mengusulkan agar perempuan dididik dan dipersiapkan secara sungguh-sungguh dan juga dapat menerima pelayanan akolit dan lektor, di samping peran-peran lain yang sudah biasa mereka jalankan dalam Gereja.
Sebagai bagian dari pertobatan sinodal, sinode menegaskan kembali peran perayaan Ekariti bagi Gereja. Sebab Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan umat Kristiani. Tentang Ekaristi, sinode mengacu pada dokumen Laudato Si, “dalam Ekaristi kepenuhan itu terwujud; Ekaristi adalah pusat alam semesta, yang darinya mengalir hidup yang berkelimpahan. Berkat inkarnasi Kristus yang hadir dalam Ekaristi, seluruh alam semesta memuji Allah; sebab Ekaristi itu sendiri merupakan sebuah tindakan cinta dari seluruh semesta (LS 236).
Akhirnya, terkait dengan perayaan liturgi, dengan pendasaran pada Konsili Vatikan II yang memberi peluang bagi pluralisme liturgi demi terciptanya variasi dan adaptasi bagi kelompok, daerah, dan orang tertentu (bdk. SC 38), Sinode mendesak perlunya ritus liturgi Amazon; ritus yang mengungkapkan warisan liturgi, teologi, disiplin, dan spiritualitas orang Amazon. Untuk itu, sinode memandang sangat perlu membentuk komite untuk menerjemahkan dan menyusun teks-teks Kitab Suci serta liturgi dalam bahasa lokal Amazon.
4. Relevansi Dokumen Sinode Amazon
Ada bebrapa point penting yang dapat dipetik dari dokumen Sinode Amazon. Pertama, Sinode Amazon kembali menggemakan perihal tanggungjawab umat beriman Kristiani terhadap dunia sebagaimana yang telah dikumandangkan Konsili Vatikan II, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, khususnya mereka yang miskin, dan mereka yang menderita, adalah juga kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para pengikut Kristus. Sebab, orang-orang kristiani adalah juga anggota keluarga manusia (GS 1). Melalui sinode Amazon, Gereja mendengar dengan penuh iman, dalam semangat belarasa, solider dan dalam kasih ke-ibu-an terhadap dukacita dan jeritan masyarakat Amazon yang mewakili jeritan orang-orang yang lemah serta tersingkir di seluruh dunia. Gereja sebagai sakramen keselamatan, harus menampilkan wajah Krsitus kepada dunia dewasa ini; wajah Kristus yang penuh kasih, yang membebaskan, yang solider, dan yang mencintai orang miskin, orang sakit, dan orang berdosa. Gereja berwajah Amazone adalah Gereja yang mau keluar dari zona nyaman, menyingkirkan batas-batas/sekat-sekat untuk merangkul orang atau kelompok yang rentan, rapuh, dan terpinggirkan, seperti masyarakat dan budaya asli, orang-orang muda, kaum perempuan, dll.
Kedua, gagasan tentang ekologi integral yang sangat kental didengungkan dalam dokumen Amazon dan juga dalam dokumen Laudato Si merupakan gagasan yang sangat baik dan penting dalam mendiagnosa dan mengobati aneka persoalan di dunia saat ini, termasuk persoalan lingkungan hidup. Gagasan ekologi integral mampu melawan paradigma mekanistis dan reduksionistis yang menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan. “Fritjof Capra mengtakan bahwa paradigama reduksinsitis dan mekanistis membuat kita tidak bisa membangun komunitas yang berkelanjutan dan komunitas ramah lingkungan, karena kita memperlakukan lingkungan alam seakan terdiri dari bagian yang terpisah; cara pikir ini membuat kita tercerabut dari alam dan sesama yang lain. Kita hidup seakan sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan” (Sony Keraf, Etika Lingkungan, 252-256). Demikianlah, dalam cara pandang ekologi integral, sinode Amazon memandang krisis lingkungan Amazon dari segala aspek. Misalnya, aspek keadilan, hak asasi manusia, moral, sosial, budaya, dan agama. Karena isu yang satu selalu terkait dengan isu-isu yang lain.
Ketiga, seruan yang paling mendasar dari sinode Amazon adalah pertobatan integral, yang mencakup pertobatan rangkap empat, yaitu pertobatan pastoral, pertobatan budaya, pertobatan ekologi, dan pertobatan sinodal. Seruan pertobatan tersebut pertama-tama dan terutama ditujukan kepada Gereja Katolik untuk kembali menjadi Gereja yang mampu menghadirkan Kristus dalam dunia dewasa ini, terutama kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan, seperti masyarakat asli, orang miskin, orang muda, dan kaum perempuan. Untuk melaksanakan misi mulia tersebut, Gereja harus berani keluar untuk melihat dengan mata iman, mendengarkan dengan penuh kasih akan kegembiraan, harapan, dukacita, kecemasan, dan jeritan mereka yang lemah serta terpinggirkan. Gereja harus berani “memar” dan “kotor” untuk bisa masuk ke dalam hati, pikiran, budaya, dan kearifan mereka. Gereja juga harus mampu rendah hati untuk belajar dan berubah agar Kerajaan Allah yang tidak lain adalah kerajaan keadilan, perdamaian dan kutuhan ciptaan terwujud.
5. Penutup
Sebagaimana kata “sinode-sinodal-sinodalitas” mengacu kepada orang beriman yang ada dan berjalan menuju Tuhan, demikianlah sinode Amazon mengingatkan eksistensi Gereja sebagai umat beriman, Tubuh Mistik Kristus yang berziarah. Gereja yang berziarah adalah Gereja yang selalu melakukan discernment; mencari kehendak Allah dalam setiap situasi dan kondisi zaman. Gereja yang berziarah adalah Gereja yang berani meninggalkan status quo dan kenyaman untuk berani keluar, berani kotor dan memar untuk menggapai mereka, teristimewa mereka yang miskin dan tertindas. Gereja yang berziarah adalah Gereja yang berani mengoreksi dan mengkritisi diri dan melakukan ‘reformasi dari dalam’ tubuhnya sendiri agar ia mampu mereformasi dunia.