Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Ketidakadilan sosial secara intrinsik terkait dengan ketidakadilan ekologi. Dengan kata lain, keprihatinan umat manusia tidak dapat dipisahkan dari keprihatinan terhadap bumi. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keseimbangan ekologi tidak tercapai jika kita tidak menangani berbagai macam bentuk kemiskinan struktural yang ada di seluruh dunia.[1]

Dalam perdebatan pemahaman tentang keadilan bagi seluruh ciptaan, Leonardo Boff menegaskan bahwa manusia merupakan bagian integral ciptaan.[2] Oleh karena itu, ketidakadilan sosial berjalan seiring dengan ketidakadilan ekologi. Dengan demikian, manusia harus memperbaiki konsep keadilan ekologi. Karena tanpa keadilan sosial, keadilan ekologi tidak mungkin terwujud, keduanya saling terkait.

Menurut John Zizioulas, identitas manusia sebagai imam ciptaan menunjukkan dimensi relasionalitas. Karena manusia bukan pribadi yang terisolasi, melainkan pribadi dalam persekutuan.[3] Sebagai pribadi relasional, manusia harus bijak dalam menggunakan sumber daya alam yang terbatas.

Manusia harus mengungkapkan kasih terhadap ciptaan lainnya dengan mengusahakan kehidupan yang berkualitas, bukan mencari keuntungan besar dari relasi tersebut.[4] Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus menjalin relasi dengan alam pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi karena alam membutuhkan pelestarian dan perawatan, memenuhi keberadaannya serta akhirnya memperoleh makna.[5]

Zizioulas menegaskan bahwa peran manusia sebagai mediator ciptaan tidak berakhir dengan kepentingannya sendiri, melainkan harus sampai pada tataran mengasihi ciptaan secara total.[6] Pribadi manusia sebagai imam ciptaan menghasilkan etos ekologis dan dimensi ekologi kultural, di mana perlindungan terhadap alam tidak bertentangan dengan perkembangannya.[7]

Spiritualitas ekologi Zizioulas tidak memisahkan antara ekologi dan keprihatinan sosial. Merujuk pada teologi Zizioulas tentang koinonia, misi Gereja yaitu membangun komunitas yang adil dan berkelanjutan, di mana manusia mencapai penentuan nasib dan integritas ekologi dilestarikan.[8]

Menurut Zizioulas, Gereja sebagai koinonia harus sadar dan menegaskan secara kuat bahwa terdapat persekutuan intrinsik antara manusia dan ciptaan lainnya, di mana persekutuan tersebut harus dibawa ke dalam Gereja supaya mendapatkan kepenuhan.[9]

Aktualisasi keadilan ekologi sebagai aspek integral perkembangan manusia tidak dapat mengesampingkan penghormatan terhadap ciptaan yang membentuk dunia alami, orang Yunani kuno menyebutnya kosmos.[10] Dengan demikian, spiritualitas ekologi Zizioulas mengenali kebutuhan seluruh ciptaan serta relasi antara keadilan sosial dan ekologi.

Daftar Pustaka:

Au, Tanya Yik-pui. “The Eucharist as a Cultural Critique: A Construction Based on the Eucharistic Theology of John Zizioulas.” International Journal of Orthodox Theology 3 (2012), 53-88.

Boff, Leonardo. Cry of the Earth, Cry of the Poor. New York: Orbis Books, 1997.

Collins, Paul. “Authority and Ecumenism.” Dalam Douglas H. Knight (editor). The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church. Hampshire: Ashgate, 2007, 147-158.

Groppe, Elizabeth T. “Creation ex nihilo and ex amore: Ontological Freedom in the Theologies of John Zizioulas and Catherine Mowry Lacugna.” Modern Theology 21 (Juli 2005), 463-496.

Knight, Douglas H. “Introduction.” Dalam Douglas H. Knight (editor). The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church. Hampshire: Ashgate, 2007, 1-14.

Louth, Andrew. “Theology of Creation in Orthodox.” International Journal of Orthodox Theology 8 (2017), 51-76.

Makhoul, Toufic. “On Trinitarian Relationships.” The Way 50 (Juli 2011), 91-96.

Otu, Idara. The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice. Toronto: Toronto School of Theology, 2012.

Paulus II, Yohanes. “Peace with God the Creator, Peace with all of Creation”. Dalam Piet Go (Penerj.). Lingkungan Hidup. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014, 36-46.

[1] Yohanes Paulus II, “Peace with God the Creator, Peace with all of Creation,” Dalam Lingkungan Hidup, diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014), art. 11.

[2] Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (New York: Orbis Books, 1997), 88.

[3] Elizabeth T Groppe, “Creation ex nihilo and ex amore: Ontological Freedom in the Theologies of John Zizioulas and Catherine Mowry Lacugna,” Modern Theology 21 (Juli 2005), 476.

[4] Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice (Toronto: Toronto School of Theology, 2012), 101.

[5] Douglas H. Knight, “Introduction,” Dalam Douglas H. Knight (editor). The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church, Hampshire: Ashgate, 2007, 8.  

[6] Toufic Makhoul, “On Trinitarian Relationship”, The Way 50 (Juli 2011), 94.

[7] Tanya Yik-pui Au, “The Eucharist as a Cultural Critique: A Construction Based on the Eucharistic Theology of John Zizioulas,” International Journal of Orthodox Theology 3 (2012), 84.

[8]  Paul Collins, “Authority and Ecumenism,” Dalam The Theology of John Zizioulas: Personhood and the Church, diedit oleh Douglas H. Knight (Hampshire: Ashgate, 2007), 147.

[9] Andrew Louth, “Theology of Creation in Orthodox,” International Journal of Orthodox Theology 8 (2017), 58.

[10] Elizabeth T. Groppe, “Creation Ex Nihilo and Ex Amore: …”, 466.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here