Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Pada dasarnya, kisah penciptaan dalam kitab Kejadian (Kej 1:1-2, 2:4b-3:24) menyoroti tanggung jawab ekologis umat Kristen. Terkait dengan hal ini, manusia mempunyai kuasa layaknya seorang pelayan. Selain itu, manusia mempunyai tanggung jawab ekologis sebagai tuan, kepadanya Allah memercayakan semua barang milik-Nya (Mat 24:45). Hal ini juga ditegaskan Paus Fransiskus, manusia diberkati dengan kecerdasan dan kasih, dipanggil menuju kepenuhan Kristus, dan mengantar semua makhluk kembali kepada Pencipta.[1]

Gagasan tersebut dimaksudkan untuk menopang metafora ekologi tentang penatalayanan.[2] Penatalayanan merupakan ekspresi ajaran Kristen tradisional, yaitu tanggung jawab manusia terhadap ciptaan lainnya. Terkait dengan penatalayanan, manusia dipanggil untuk menggunakan dan mendistribusikan hasil bumi secara bijak serta adil. Manusia sebagai pelaku penatalayanan ciptaan berpartisipasi dalam pemerintahan Ilahi dan tunduk kepada Allah.

Gagasan kosmologi Kitab Suci tentang penguasaan manusia terhadap ciptaan lainnya, tidak boleh dijadikan legitimasi penjarahan bumi. Sebaliknya, sebagai pelayan ciptaan, manusia merupakan imago Dei yang bersikap peduli dan tidak menyalahgunakan ciptaan. Manusia bertanggung jawab kepada Allah Sang Pencipta dan wajib mengakui makna, nilai, dan tujuan segenap alam semesta, yaitu kemuliaan Allah.[3]

Yohanes Paulus II, dalam pesan Hari Perdamaian Dunia (1990) menegaskan bahwa krisis ekologi merupakan persoalan moral dan menjadi tanggung jawab setiap orang.[4] Oleh karena itu, umat Kristen harus menyadari tanggung jawab dan kewajibannya terhadap alam ciptaan serta Pencipta.[5] Selanjutnya, Yohanes Paulus II menegaskan pentingnya pendidikan ekologis, yaitu tanggung jawab manusia atas diri sendiri, orang lain, dan bumi.[6] Pendidikan ekologis tersebut tidak hanya berakar dalam perasaan atau harapan kosong. Karena tujuan pendidikan ekologis tidak bersifat ideologis dan politis, melainkan mengarah pada pertobatan sejati yang mencakup pikiran serta perilaku.

Misi keadilan ekologi Gereja merupakan upaya menanamkan tanggung jawab ekologis pada manusia. Benediktus XVI menegaskan bahwa krisis ekologi berdampak buruk terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.[7] Misalnya hak untuk hidup, makanan, kesehatan, dan pembangunan. Selain itu, perdamaian dunia tidak hanya terancam oleh perlombaan senjata, konflik regional, dan ketidakadilan. Tetapi juga kurangnya rasa hormat terhadap alam, penjarahan sumber daya alam dan penurunan kualitas hidup secara progresif.[8] Dengan kata lain, misi keadilan ekologi Gereja terkait dengan persoalan keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan.[9]

Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate menegaskan bahwa kitab kehidupan alam adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi.[10] Tidak hanya berkaitan dengan lingkungan hidup, tetapi juga dengan kehidupan, seksualitas, perkawinan, keluarga, dan relasi sosial. Dengan kata lain, hal ini mencakup perkembangan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup berpadanan dengan tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri dan orang lain.

Sedangkan dalam Gaudium et Spes, manusia digambarkan sebagai makhluk sosial (homo socialis), diciptakan menurut gambar Allah dan ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia.[11] Oleh karena itu, tatanan masyarakat dan kemajuannya harus menunjang kesejahteraan setiap pribadi.[12] Selain itu, Gereja menyerukan sikap solider terhadap generasi masa depan dalam menggunakan sumber daya alam dan pemeliharaan ciptaan.[13] Hal ini juga ditegaskan Paus Fransiskus, solidaritas antargenerasi bukan suatu pilihan, melainkan suatu bentuk keadilan.[14] Karena “dunia” yang kita terima juga milik generasi mendatang.

Misi keadilan ekologi Gereja berupaya menjaga integritas ciptaan, menggunakan sumber daya alam secara adil, bersikap solider terhadap kaum miskin, dan mewujudkan kebaikan bersama untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu, ajaran Gereja tentang ekologi diambil dari prinsip etis-sosial.[15] Karena Gereja harus terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam merumuskan dasar teologis.

Daftar Pustaka:

Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2009.

Benediktus XVI. Caritas in Veritate. Penerj. Agung Prihartana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

Fransiskus. Laudato Si. Penerj. Martin Harun. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015.

Hardawiryana, R. (Penerj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993.

Otu, Idara. The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice. Toronto: Toronto School of Theology, 2012.

Paulus II, Yohanes. “Peace with God the Creator, Peace with all of Creation”. Dalam Piet Go (Penerj.). Lingkungan Hidup. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014, 36-46.

————————-. Sollicitudo rei Socialis. Penerj. P. Turang. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988.

[1] Fransiskus, Laudato Si, Penerj. Martin Harun (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015), art. 83.

[2] Secara etimologis kata penatalayanan merupakan turunan dari kata Yunani oikonomiaoikos (rumah) dan nemo (mengelola), mengacu pada peran pelayan (oikonomos) yang menjalankan tugas di sekeliling rumah (Lukas 12:35-48). Lih. Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: Intimations for Ecological Justice (Toronto: Toronto School of Theology, 2012), 88.

[3] Lumen Gentium, art. 36.

[4] Yohanes Paulus II, “Peace with God the Creator, Peace with all of Creation” dalam Lingkungan Hidup, diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014), art. 6, 13.

[5] Yohanes Paulus II, “Peace with God the Creator, …”, art. 15.

[6] Yohanes Paulus II, “Peace with God the Creator, …”, art. 13.

[7] Benediktus XVI, “If you want to Cultivate Peace, Protect Creation” dalam Lingkungan Hidup, diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014), art. 1.

[8] Yohanes Paulus II, “Peace with God the Creator, …”, art. 1.

[9] Paus Fransiskus menegaskan bahwa Allah menyatukan manusia begitu erat dengan dunia. Oleh karena itu, manusia merasakan penggundulan tanah seperti penyakit setiap orang, di mana punahnya suatu spesies bagaikan mutilasi yang menyakitkan. Lih. Fransiskus, Laudato Si, art. 89.

[10] Benediktus XVI, Caritas in Veritate, Penerj. Agung Prihartana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014), art. 51.

[11] Gaudium et Spes, art. 12.

[12] Gaudium et Spes, art. 26.

[13] Yohanes Paulus II, Sollicitudo rei Socialis, Penerj. P. Turang (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988), art. 47.

[14] Fransiskus, Laudato Si, art. 159.

[15] Idara Otu, The Eco-Theologies of Thomas Berry and John Zizioulas: …, 91.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + six =