Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Dewasa ini, manusia mengalami berbagai macam penderitaan. Misalnya, ketidakadilan, ketidakdamaian, rusaknya keutuhan ciptaan, pembunuhan atas nama agama, tsunami, kekerasan seksual, pandemi covid-19, dll. Realitas tersebut menimbulkan sederet pertanyaan. Di mana Allah? Mengapa Allah diam? Buat apa percaya kepada Allah? Allah itu ada atau tiada?

Ketika manusia mulai meragukan dan menyangkal Allah, manusia kehilangan tempat atau sandaran untuk mengeluh. Tidak lagi mempunyai penghiburan dan jawaban atas penderitaan. Sikap meragukan dan menyangkal Allah, memungkinkan manusia menempati tahta Allah yang kosong. Manusia mulai memaklumkan diri sebagai pelaku sejarah yang sesungguhnya. Namun, pada dasarnya manusia tidak mampu menghadapi penderitaan. Karena manusia merupakan korban sekaligus pelaku penderitaan.

Adanya penderitaan tidak boleh secara gampangan dituduhkan kepada Allah. Karena tuduhan tersebut bertentangan dengan hakikat Allah, paling tinggi dan kebaikan-Nya tidak dapat ditampung dengan kata-kata. Oleh karena itu, tidak mungkin penderitaan berasal dari Allah. Penderitaan terjadi karena manusia salah menggunakan kebebasan.

Selama masih hidup di dunia, manusia pasti mengalami penderitaan. Manusia harus mengakui realitas tersebut dan tidak boleh kehilangan harapan. Karena manusia mengimani bahwa Allah adalah TUHAN bagi dunia dan sejarah. Manusia akan memahami jalan yang ditempuh Allah ketika manusia memandang Allah dari muka ke muka.

Penderitaan bukan akhir dari segalanya. Karena Allah yang manusia imani mampu membangkitkan orang mati dan memulihkan orang yang hidupnya hancur lebur. Jika ada kebangkitan, maka manusia mempunyai harapan akan sesuatu yang lebih baik. Terutama bagi orang-orang yang sudah meninggal. Selanjutnya, kepada Allah manusia dapat melontarkan protes dan keluhan. Sekaligus berharap bahwa suatu saat nanti semuanya akan menjadi baik, harmonis, dan selaras.

Penderitaan (misalnya sakit fisik) berguna bagi perkembangan biologis manusia. Demikian juga dengan pengalaman pahit, menjadi sarana memurnikan diri. Sejarah menunjukkan bahwa orang yang berkembang secara rohani justru ketika pernah mengalami penderitaan. Akhirnya, ketika berhadapan dengan penderitaan, manusia harus menghadapinya. Jika tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan, maka manusia harus bertahan dan bersikap solider dengan sesama yang menderita.

Daftar Pustaka:

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Terjemahan I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Sunarko, Adrianus. Teologi Kontekstual. Jakarta: Obor, 2016.

Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Tjahjadi, Simon P. L. “Tantangan Ateisme bagi Agama dan Teologi.” Diskursus, Vol. 7, No. 2 (Oktober 2008), 135-158.

Tjahyadi, Sindung. “Pergulatan Filosofis Tentang Theisme dan Atheisme.” Disampaikan dalam Sapere Aude 02, 6 September 2002.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here