Oleh: Sdr. Alsis Goa OFM
Direktur JPIC-OFM Indonesia

Bagian I

Sejak dimulainya proyek developmantalisme (pembangunanisme) di Negara Dunia Ketiga, politik kebijakan telah diarahkan untuk memfasilitasi kepentingan pemilik pemodal yang terus-menerus mengembangkan strategi untuk mengekstrasi sumber-sumber alam maupun manusia. Perampasan ruang – ruang kehidupan oleh koorporasi melalui proyek legislasi dan instruksi yang merupakan proyek investasi yang dilengkapi dengan teror kekerasan selalu menyasar pada hak dan kepentingan warga yang berjuang untuk mempertahankan cara produksi dan konsumsi di luar perpipaan koorporasi. Pengalaman itu nyata ketika di tengah ancaman pandemic global covid 19 yang memaksa rakyat harus bertahan dengan berdiam dan mengamankan diri di dalam rumah atau ruang – ruang privatnya demi social dan physical distancing, rakyat Indonesia dikejutkan dengan disahkannya undang – undang minerba pada 12 Mei 2020. Sebuah regulasi yang tidak hanya menyediakan karpet merah bagi para pemodal atau capital, tetapi juga dan terutama merupakan strategi baru untuk merampok, mengeruk, ruang – ruang dan unit – unit produksi masyarakat bahkan seluruh hidup masyarakat itu sendiri. Dibidang energipun demikian, politik energi sengaja diciptakan untuk menjadi sarana mengeruk keuntungan ekonomi dari berbagai jenis sumber energi yang diekstraksi dari perut bumi pertiwi. Berbagai jenis sumber energi fosil maupun non-fosil terus diambil dan dikonversikan menjadi energi bukan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat, tapi terutama untuk memenuhi tujuan menumpuk modal.

Kemiri sunan di Ngada, rencana pendirian pabrik Semen di Manggarai Timur dan rencana pengembangan listrik panas bumi (geothermal) di Waesano Manggarai Barat adalah cerita tentang energy. Cerita tentang ekonomi karbon rendah tetapi korbannya tinggi karena berkaitan dengan beban, dampak, eksodus dll. Ini adalah cerita tentang krisis yang mendebarkan karena menyangkut rontoknya ketetapan daur – daur ekologis dari bumi. Pengalaman kelam ini yang sedang terjadi dan dituturkan oleh sekelompok warga bumi Flores yang wilayah dan  ruang hidupnya sedang dikepung ekstraktivisme yang berbasis pembongkaran, pengerukan, destrktif dan ekspansi.

Di Sini di Tanah kami yang diserobot, kami terus dipimpong dan di-php

Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 Wit ketika kami menjajakan kaki di pastoran Kurubhoko Ngada, Flores. Hari ini tepatnya 17 Agustus 2020, di tengah gegap gempita HUT proklamasi RI yang dirayakan oleh beragam kalangan dengan caranya masing – masing mengingat masih tingginya angka penularan covid 19, kami dari tim advokasi JPIC OFM Indonesia hadir di Kurubhoko demi nurani dan panggilan etis-moral terkait persoalan dialami oleh masyarakat. Kurubhoko menjadi titik awal kisah dan perjalanan kami selanjutnya sampai di ujung Barat pulau Flores.

Setelah mengasoh semalam melepas lelah setelah serangkaian perjalanan, sore ini (18/08/2020) ditemani kopi Bajawa yang nikmatnya tiada dusta, kami bertemu dengan beberapa perwakilan masyarakat Nginamanu yang menjadi pengurus Forum Peduli Ulayat Nginamanu (FPUN). Dalam setiap tegukan kopi dan hembusan napas panjang, tanpa henti mereka menuturkan kisah pilu yang dialaminya sejak hadirnya investasi perkebunan kemiri sunan di wilayah Nginamanu.

Nginamanu adalah sebuah desa yang secara administrasi kepemerintahan masuk dalam kecamatan Wolomeze, kabupaten Ngada. Kecamatan Wolomeze sendiri berbatasan langsung dengan kecamatan Riung di sebelah Utara, kabupaten Nagekeo di sebelah Timur, Kecamatan Golewa di sebelah Selatan, serta sebelah Barat dibatasi oleh kecamatan Bajawa Utara dan kecamatan Bajawa. Sebagaimana diketahi bahwa berdasarkan berbagai studi media, Program Penanaman Kemiri Sunan merupakan program yang diluncurkan oleh Departemen ESDM bekerjasama dengan Kementerian Pertanian, dalam rangka menyediakan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk bioenergi alternatif (bdk. Inpres No. 1 tahun 2006). Sejak tahun 2011 Kecamatan Wolomeze masuk dalam ruang lingkup wilayah pengembangan perkebunan kemiri sunan PT. Bumiampo Investama Sejahtera (PT. BIS) berdasarkan surat keputusan Bupati Ngada No. 570/BPM/01/03/2011 16 Maret 2011 yang intinya memberikan persetujuan izin lokasi PT. BIS seluas 30.000 ha dengan status milik masyarakat/Hak Guna Usaha (HGU). Ada tiga desa di kecamatan Wolomeze yang menjadi daerah pengembangan perkebunan kemiri sunan yakni desa Dena tanah timur, desa Mainai dan desa Nginamanu. Proses masuknya perkebunan kemiri sunan atau minyak dimulai dengan konsultasi publik dan sosialisasi yang bertempat di  aula kecamatan Wolomeze, pada 07 Oktober 2011. Setelah melakukan sosialisasi di kantor  kecamatan Wolomeze, perusahaan perkebunan kemiri sunan mulai melaksanakan aktivitasnya di desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze pada akhir tahun 2013. Hal ini ditandai dengan sosialisasi yang diselenggarankan oleh pihak PT BIS pada tgl 7 Agustus 2013  bertempat di kantor desa. Sosialisasi ini dihadiri hadiri oleh BPD, staf pemerintah desa, pak Hendru selaku perwakilan dari PT. Bumiampo, dan pihak pemerintah kecamatan yakni Camat dan para stafnya. Pak Hendru Wijaya selaku wakil PT. Bumiampo Sejahtera, pada kesempatan sosialisasi tersebut mengungkapkan beberapa hal yakni tenaga kerja untuk perkebunan kemiri sunan akan direkrut dari masyarakat sekitar areal kemiri sunan. Para pekerja akan diberi upah sesuai dengan upah menimum regional NTT (UMR). Selain itu perusahaan tidak akan melakukan kegiatan perkebunan di areal tanah yang telah digarap dan diolah oleh masyarakat. Apabila kemiri sunan sudah menghasilkan maka penjualan hasil kemiri sunan menggunakan sistem bagi hasil yakni 80 % untuk masyarakat, sedangkan 20 % untuk perusahaan. Masing-masing kepala keluarga (KK) akan mendapat 1 hektar kemiri sunan, serta akan dibuat sertifikat atas nama KK yang bersangkutan. Kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman kemiri sunan dimulai pada 14 November 2013, atau kurang lebih dua minggu setelah sosialisasi di kantor desa Nginamanu. Adapun Rencana awal pembukaan lahan dan penanaman hanya disekitar wilayah Beiwatu, namun demikian ternyata melebar ke wilayah lain seperti Malanda, Malakolo Wawo dan Malakolo Ngau. Demikian juga soal perjanjian atau kesepakatan terkait keberadaan wilayah atau tanah yang ditanami belum pernah ada satupun kesepakatan yang dibuat PT. BIS bersama Masyarakat Nginamanu. Pun soal janji bagi keuntungan sebagaimana yang ada pada janji – janji manis sewaktu sosialisasi. Kenyataan yang terjadi adalah PT. BIS terus melakukan perluasan lahan hingga  memasuki tanah-tanah pertanian milik masyarakat; beberapa tanaman perdagangan warga dilahannya sendiri dibabat dan dihancurkan baik menggunakan chainsaw maupun oleh obat-obatan kimia oleh PT. BIS tanpa sepengetahuan pemiliknya. Melihat hal ini warga mulai melakukan protes dan penolakan dengan cara mengusir karyawan dan melakukan pemagaran terhadap jalan menuju perkebunan kemiri minyak. Tidak hanya tindakan pengusiran dan penghalangan terhadap aktivitas PT. Bumiampo Investama Sejahtera (BIS), masyarakat juga melapor kerusakan lahan dan tanaman yang mereka alami kepada pemerintah desa dan kecamatan (Bdk surat laporan penyerobotan lahan warga oleh KBR Nangge, No. 01/KBR/03/2014). Namun tidak pernah ditanggapi dan diproses secara serius oleh pemerintah. Pada Mei 2018,  pemerintahan desa berdasarkan surat pernyataan dan rekomendasi dari masyarakat di Tajo ( para Ketua dan anggota suku (woe) yaitu Woe Ture, Woe Nangge, Woe Koto, Woe Ndenge, Woe Zeru, Woe Ture Sepu) bermaksud melakukan penyelesaian kasus antara warga dengan PT. BIS, dengan menawarkan draft penyertaan lahan. Namun ternyata ditolak oleh perusahaan karena tidak setuju dengan beberapa point yaitu soal biaya sewa lahan yang dianggapnya terlalu mahal, persoalan HGU dll. Niat baik, protes dan bahkan penolakan yang dilakukan oleh warga tidak membuat perusahaan bergeming. Ekspansi dan ekploitasi terhadap apa yang menjadi milik warga semakin marak, terus berlangsung dan masif.

Melihat kenyataan ini, warga mulai melakukan konsolidasi dan membentuk forum perjuangan  Forum Peduli Ulayat Nginamanu (FPUN). Forum ini dibentuk berdasarkan mandate dari seluruh warga adat Nginamanu, dengan tujuan mewakili masyarakat Nginamanu dalam memperjuangkan hak – haknya baik di dalam maupun di luar pengadilan kepada PT BIS.  FPUN kemudian menginisiasi pertemuan bersama direktur PT. BIS Hendru Widjaya dengan agenda membahas kontrak penyertaan lahan dalam proyek perkebunan kemiri sunan. Namun lagi – lagi masyarakat dibohongi di mana pihak perusahaan menyodorkan draft baru yang mana kerja sama investasi melalui sistem bagi keuntungan dilakukan setelah pemotongan biaya investasi. Jadi tidak seperti yang ada pada sosialisasi awal kehadiran perusahan ini. Karena kembali gagal maka diadakan lagi pertemuan antara pihak perusahaan dan FPUN pada 5 November dan 5 Desember 20219 untuk membahas lebih lanjut mengenai bentuk kerja sama yang dianggap paling pas dan menguntungkan kedua belah pihak. Pada dua kali pertemuan menghasilkan beberapa kesepakatan yakni sistem kerjasama adalah sewa pakai lahan dengan harga sewa yakni tiga juta rupiah/Ha/tahun. Kedua, durasi sewa pakai lahan sebagaimana poin (1) di atas berlaku  hanya untuk periode lima tahun dan mulai dihitung sejak tanggal 1 Januari 2020. Ketiga, setelah periode lima tahun sebagaimana poin (2) di atas, harus disepakati kembali. Keempat, biaya sewa pakai lahan sebagaimana poin (1) sudah harus dibayar pihak PT. BIS paling lambat, Selasa 30 Juni 2020. Kelima, apabila poin 1 – 4 di atas tidak diindahkan oleh PT. BIS, maka masyarakat adat Desa Nginamanu akan menutup seluruh kegiatan atau aktivitas di lokasi perkebunan. Namun warga lagi – lagi harus mengurut dada menerima kenyataan bahwa mereka terus dipimpong oleh perusahaan BIS.

Malam telah beranjak larut ketika pembicaraan kami sampan pada kesepakatan bahwa warga harus melakukan somasi kepada PT. BIS. Warga melalui Forum Peduli Ulayat Nginamanu (FPUN) akan melakukan somasi kepada PT BIS dengan tuntutan bahwa kalau  PT. BIS tidak segera menyelesaikan persoalan terutama sewa menyewa lahan, maka akses masuk ke perkebunan kemiri sunan PT. BIS akan ditutup oleh warga. Dengan adanya rencana somasi ini, maka berakhirlah sementara tuturan terkait upaya yang dilakukan warga. Mata memang sudah berat, dan segerah ingin menuju ke pembaringan, tetapi itu tidak seberat persoalan yang dialami warga. Karena informasi terakhir yang didapat bahwa somasi telah dikirim oleh FPUN pada 21 Agustus 2020 kepada PT. BIS. Dan somasi telah dijawab oleh perusahaan melalui surat yang ditandatangi oleh direktur utama Hendru Widjaja yang menyatakan bahwa karena alasan covid 19, meminta agar pertemuan diundur karena tidak memungkinkan untuk datang ke Bajawa. Selain perusahaan juga mengirim surat laporan ke bupati Ngada, sebagai pihak yang telah memberikan ijin lokasi, AMDAL dan ijin usaha perkebunan kepada PT BIS untuk melakukan mediasi penyelesaian persoalan. Namun seperti cerita – cerita sebelumnya, hingga saat ini belum ada kemauan baik, entah dari pihak Pemda Ngada maupun dari pihak PT. BIS untuk menyelesaikan persoalan ini. Masyarakat selalu dan senantiasa diberi harapan palsu tanpa ada upaya penyelesaian yang jelas. Dalam ketidakjelasan ini hanya satu yang jelas yakni bahwa kegiatan perusahaan perkebunan kemiri minyak tetap dan terus berjalan, bahkan pabrik penyulingan minyak kemiri telah didirikan di Nginamanu. Tidak peduli bahwa Lahan – Lahan warga telah dihancurkan sejak pembukaan lahan. Tidak peduli bahwa daerah penangkapan hujan dan wilayah berburuh masyarakat (secara khusus yang berada di daerah Beiwatu), telah beralih fungsi. Tidak peduli bahwa tanah dan aliran sungai telah tercemar akibat penggunaan zat – zat kimia, serta serentetan krisis yang bisa dilitani akibat dari aktivitas perkebunan kemiri sunan atau minyak. Daya dukung, daya tampung dan daya pulih terus dibypass demi keuntungan dan pundi – pundi mereka yang berkuasa. Segenap warga, dan masa depan generasi bangsa terus diposisikan dalam ancaman bencana buatan segelintir manusia. Tidak tahu sampai kapan ini akan terus terjadi, entalah……

Bersambung….

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × five =