Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Dialektika (hedialektike) merupakan percakapan dialogis yang mengikuti aturan tertentu. Awal mulanya, dialektika merujuk pada debat, menolak argumen lawan. Oleh karena itu, orang yang berdialektika tidak membiarkan sesuatu tidak dipersoalkan. Selanjutnya, supaya dapat memahami dialektika dengan baik, akan diuraikan gagasan sejumlah filsuf yang membahas dialektika.

Pertama, Sokrates (maieutike). Sokrates menegaskan bahwa dialektika berfungsi memeriksa dan menunjukkan keterbatasan argumen lawan debat. Hal ini dilakukan dengan memberikan sanggahan (elegkhos), supaya setiap orang tidak percaya begitu saja pada opini yang dikemukakan. Oleh karena itu, setiap opini harus disanggah. Memerlihatkan bahwa opini yang disampaikan belum mencapai pengetahuan sejati. Dengan demikian, dialektika merupakan seni dialog yang melampaui opini dan mengarahkan setiap orang sampai pada pengetahuan sejati.

Kedua, Plato (episteme). Plato menegaskan bahwa dialektika merupakan proses berpikir yang mencakup dua tahap. (1) Sunagoge, mengumpulkan dan mengelompokkan segala sesuatu ke dalam forma inteligibel, menemukan prinsip tertinggi (idea). (2) Diaresis, memilah forma inteligibel ke dalam berbagai macam kelompok terkecil, sampai tidak bisa dikelompokkan lagi.

Ketiga, Aristoteles (doksografi). Aristoteles menegaskan bahwa dialektika merupakan prosedur untuk memeriksa dan menyaring opini. Terkait dengan hal ini, Aristoteles menunjukkan tiga kegunaan dialektika: (1) gimnastik intelektual yang bagus, (2) membuat orang mampu memeriksa opini orang lain, dan (3) berguna bagi pengetahuan atau sains. Selanjutnya, Aristoteles memberikan dua alasan pentingnya memeriksa opini: (1) menghindari kesalahan yang dilakukan para pendahulu dan (2) mengumpulkan ide yang bagus. Akhirnya, Aristoteles menunjukkan dua manfaat ketika merujuk opini orang lain: (1) belajar tentang sesuatu yang belum pernah dipelajari dan (2) lebih percaya diri dengan hasil temuan dan pemikiran diri sendiri.

Keempat, Stoik (keutamaan). Kaum Stoik meyakini bahwa dialektika bersifat etis. Oleh karena itu, hanya orang bijak yang mampu menguasai ilmu dialektika. Karena dialektika berkaitan erat dengan hidup berkeutamaan. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai situasi tanpa gangguan emosi atau ketenangan batin (ataraxia). Terkait dengan hal ini, Zenon menggambarkan proses manusia mengetahui dalam tiga bagian: (1) membuat representasi yang tepat, (2) pengiyaan (prehensio), (3) representasi yang melekat (comprehensio/phantasia kataleptike). Dengan demikian, seorang Stoik yang sudah terlatih senantiasa menghindarkan diri dari emosi.

Kelima, Hegel (gerak pikiran). Hegel menegaskan bahwa dialektika merupakan arus berjalannya pikiran menuju kategori kesatuan yang lebih tinggi. Terkait dengan hal ini, segala sesuatu yang ada, hanya ada karena mencakup tiga momen: (1) identitas diri sendiri, (2) perbedaan dengan diri sendiri, (3) kesatuan momen pertama (identitas) dan kedua (perbedaan). Oleh karena itu, yang disangkal atau dinegasi dalam dialektika tidak sepenuhnya dihancurkan.

Keenam, Schopenhauer (eristik/waton suloyo). Schopenhauer menegaskan bahwa dialektika merupakan manifestasi kehendak untuk menang. Oleh karena itu, tidak peduli dengan kebenaran objektif yang diperdebatkan. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa kodrat manusia pada dasarnya menyimpang. Misalnya, setiap orang berbicara tanpa menimbang apa yang hendak dikatakan. Lidah lebih cepat beraksi daripada pikiran. Terkait dengan hal ini, ada dua cara yang dilakukan: (1) menunjukkan bahwa argumen lawan tidak sesuai dengan materi yang diperdebatkan (argumentum ad rem) dan (2) menunjukkan bahwa argumen lawan tidak cocok dengan pernyataan pembicara (argumentum ad hominem).

Para filsuf mempunyai pemahaman yang bervariasi mengenai dialektika. Sokrates melihat dialektika sebagai sarana memeriksa opini dan mencapai pengetahuan sejati. Plato melihat dialektika sebagai metode mencapai pengetahuan tertinggi. Aristoteles melihat dialektika sebagai kajian historis. Stoik melihat dialektika bersifat etis dan hanya orang bijak yang mampu berdialektika. Hegel melihat dialektika sebagai gerak pikiran yang senantiasa menegasi. Schopenhauer melihat dialektika sebagai metode asal membantah dan tidak mau kalah.

Daftar Pustaka:

Wibowo, A. Setyo. “Contoh Dialektika Maieutike.” Basis, Nomor 03-04, Tahun ke 65 (2016), 46-48.

————————. “Dialektika Aristoteles: Doksografi.” Basis, Nomor 07-08, Tahun ke 65 (2016), 36-40.

————————. “Dialektika Stoik dan Hegel.” Basis, Nomor 05-06, Tahun ke 65 (2016), 27-30.

————————. “Episteme.” Basis, Nomor 09-10, Tahun ke 65 (2016), 19-25.

————————. “Schopenhauer: Menang dengan Cara Apapun.” Basis, Nomor 01-02, Tahun ke 66 (2016), 28-32.

————————. “Retorika.” Basis, Nomor 01-02, Tahun ke 65 (2016), 19-21.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here