Oleh: Yansianus Fridus Derong OFM
(Sekretaris Eksekutif JPIC OFM Indonesia)
1. Pengantar
“Krisis dan bencana lingkungan hidup disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan oleh kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan perubahan paradigma berpikir.” (A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, hlm. 8)
“Akan tidak berguna menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengenali akarnya dalam manusia. Terdapat suatu cara memahami hidup dan aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga merugikannya. Mengapa tidak berhenti sejenak untuk berpikir tentang hal itu? Dalam refleksi ini, saya mengusulkan agar kita berfokus pada paradigma teknokratis yang dominan dan tempat manusia serta aktivitasnya di dunia.” (Paus Fransiskus, Laudato Si, art. 101)
Kedua tokoh di atas sama menyadari bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh paradigma yang salah baik tentang manusia maupun alam. Keduanya juga sepakat bahwa langkah awal dan yang terpenting bagi pemulihan atas krisis tersebut adalah perlu adanya perubahan paradigma. Dan yang paling menarik dari kedua tokoh ini adalah anjuran dan sekaligus seruan untuk belajar dari cara pandang atau paradigma lokal dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup. Pada bab terakhir buku Etika Lingkungan, Sony Keraf memberi judul Kembali Ke Alam: Belajar dari Etika Masyarakat Adat. Di sana ia menegaskan bahwa masyarakat-masyarakat adat atau masyarakat-masyarakat tradisional memilki aneka kearifan yang sangat membantu kita saat ini untuk keluar dari persaoalan lingkungan hidup. Demikian juga halnya dengan Paus Fransiskus. Baik dalam Ensiklik Laudato Si maupun dalam seruan Apostoliknya pasca sinode Amazon, Querida Amazonia Paus menegaskan pentingnya bagi kita untuk belajar dan bercermin pada masyarakat asli agar memilki paradigma dan pola laku agar bumi mampu menjadi ‘rumah bersama’.
2. Masyarakat Adat
Ada empat hal penting yang mau dibicarakan pada bagian ini. Pertama, pengertian dan ciri masyarakat adat. Kedua, cara pandang masyarakat adat tentang alam dan manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ketiga, kekhasan pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, sekaligus menentukan pola hidup dan perilaku masyrakat adat terhadap alam.
2.1 Definisi dan Ciri Masyarakat Adat
Menurut definisi yang diberikan UN Economic and Social Council, mayarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. ILO mengkategorikan masyarakat adat sebagai (a) suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus; (b) suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masukknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan-terlepas dari apapun status hukum mereka-sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Dengan pengertian itu, masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan teritori yang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
Ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik keseluruhan atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga, mereka mempunyai budaya yang khas yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah. Keempat, mereka mempunyai bahasa tersendiri. Kelima, biasanya hidup terpisah dari kelomppok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. (Darrell Addison Posey (ed), hlm. 3-4, sebagaimana dikutip Sony Keraf, Etika Lingkungan, hlm. 279-282).
2.2 Kearifan Lokal (Tradisional) Tentang Alam, Manusia dan Relasi Manusia dengan Alam
Yang dimaksud dengan kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generaasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam (Sony Keraf, hlm. 289). Dari pengertian di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dicatat terkait dengan kearifan tradisional. Pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Tidak ada kearifan yang menjadi milik individu. Kearifan itu dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif bagi semua anggota komunitas. Kedua, kearifan dan pengetahuan tradisional lebih bersifat praksis. Pengatahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis. Termasuk dalam kearifan itu adalah bagaimana memperlakukan bagian atau makhluk lain dalam komunitas itu demi mempertahankan komunitas sendiri. Itu sebabnya ada aneka macam peraturan, larangan dan bahkan tabu-tentang bagaimana menjalankan hidup di alam: bagaimana bertani secara baik, berburu secara baik, menangkap ikan secara baik, menebang pohon secara baik, dll. Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengatahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Alam adalah rangakaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan pengetahuan yang menyeluruh.
2.2.1 Alam Dipandang Sebagai Sakral atau Kudus
Semua masyarkat adat memandang dirinya, alam, dan relasi di antara keduanya dalam perspektif religius, perspektif spiritual. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional sebagai sakral atau kudus. Spiritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan yang gaib atau yang kudus. Dalam perspektif itu, agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyararat adat selalu ingin mencari dan membangun harmoni di antara manusia, alam, masyarakat dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan kosmis.
Pengaruh langsungnya adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi dalam lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang sakral. Maka, baik secara individu maupun kelompok, perilaku atau sikap batin manusia harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, dengan sesama, maupun terhadap alam, sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan perilaku yang merugikan, menjadi prinsip moral yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan upacara religius-adat.
2.2.2 Moralitas Ekologis
Dalam keyakinan masyarakat adat, terdapat hubungan yang era antara perilaku moral manusia terhadap lingkungan hidup. Sebagai contoh misalanya di suku Nataia-Nagekeo, Flores. Kekeringan berkepanjangan atau musim yang tidak bersahabat seringkali dikaitkan dengan moralitas seksual dan perkawinan yang tidak baik. Maka perlu upacara adat pemulihan melalui kurban hewan (kerbau); pelaku harus mandi darah kerbau. Demikian juga dengan masyarakt suku Selayar yang tinggal di pesisir pantai Nangadhero-Mbay, Flores. Pemali bagi mereka untuk membuang hasil laut yang mereka tangkap. Kalau itu terjadi, maka mereka akan sulit untuk mendapatkan hasil jika mereka melaut. Untuk berdamai kembali dengan laut mereka harus menyembelih kambing dan menuangkan darahnya ke laut. Jika di kemudian hari mereka mengalami kelebihan hasil tangkapan, mereka akan membagikannya kepada masyarkat sekitar agar tidak terbuang.
Dalam arti itu, moralitas adalah tuntutan inheren setiap masyarakat adat. Moralitas ini tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan dengan alam. Ada keyakinan religius-moral, bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, yang bengkok, yang merusak hubungan dengan sesama dan alam, akan mendatangkan malapetaka, baik dengan diri sendiri maupun bagi komunitas. Dalam konteks itu bisa dipahami bahwa semua bencana alam, seperti, banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan di laut, semuanya dianggap sebagai bersumber kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap manusia maupun terhadap alam. Perlu ada rekonsiliasi dalam bentuk upacara religius, upacara adat, dengan membawa korban baik untuk sesama yang dirugikan maupun untuk alam yang telah dirusak. Perlu ada pemulihan kembali atas relasi yang rusak. Dengan kata lain, perilaku moral, baik tehadap sesama maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat tersebut.
Di sini kita melihat bahwa yang disebut komunitas oleh masyarakaat adat adalah komunitas ekologis (bukan hanya sebagai masyarakat sosial sebagaimana dipahami masyarkaat Barat dan Aristoteles). Masyarakat memandang dirinya sebagai bagian dari komunitas ekologis, komunitas alam. Mereka bertumbuh dan berkembang dalam relasi mereka dengan seluruh alam, bukan hanya dengan sesama manusia. Seperti dengan hutan, dengan laut dengan danau, dengan sungai, dengan gunung, dengan binatang-binatang, dengan seluruh makhluk di alam semesta. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi dan penghayatan budaya masyarakat adat sangat diwarnai dan dipengaruhi relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensinya.
2.2.3 Langit sebagai Bapak dan Bumi sebagai Ibu
Hampir semua masarakat adat memiliki konsep tentang bumi yang memiliki ciri yang sama dengan konsep ibu yang melahirkan, menumbuhkan dan memelihara dan langit adalah simbol bapak yang memberikan berkat lewat matahari dan hujan. Kearifan lokal ini mengajarkan kita bagaiamana menyayangi, melindungi, dan menghormati bumi beserta langit sebagaimana kita melakukannya kepada kedua orang tua kita. Jika kita merusak bumi, maka langit pun ikut marah. Sebagai contoh misalnya tentang kerusakan hutan. Hutan merupakan penopang keseimbangan ekosistem. Jika dirusak, maka ekosistem akan kacau dan iklim menjadi tidak menentu. Akibatnya langit menunjukkan kemarahannya dengan fenomena seperti badai, kekeringan, curah hujan berlebihan, dll. (Ben Senang Galus, Demokrasi Bumi dan Air, hlm. 20-24).
3. Teladan Paus Fransiskus Perihal Belajar pada Masyarakat Adat
Di sini saya hanya membeberkan dua sumber yang memperlihatkan bagaimana Paus Fransiskus memberi tempat pada kearifan masyarakat adat atau lokal dalam memandang dan menyelamatkan lingkungan hidup. Kedua sumber itu adalah ensiklik Laudato Si dan seruan apostolik Paus pasca sinode Amazon (Querida Amazonia).
3.1 Ensiklik Laudato Si (LS)
LS 143: “… secara khusus, kita dituntut untuk memberi perhatian kepada budaya lokal, ketika mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup, sambil mendukung dialog antara bahasa ilmiah-teknis dan bahasa rakyat. Inilah budaya bukan hanya dalam arti monumen masa lalu, melainkan dalam artinya yang hidup, dinamis, dan partisipatif, yang tidak dapat dikesampingkan ketika kita memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan hidup”.
LS 146: “… dalam arti ini, amat penting memberikan perhatian khusus kepada masyarakat adat dan tradisi budaya mereka. Mereka bukan hanya suatu minoritas di tengah yang lain, tetapi mereka harus menjadi mitra dialog utama, terutama ketika dikembangkan proyek-proyek besar yang mempengaruhi wilayah mereka. Memang, bagi kelompok-kelompok ini tanah bukan harta ekonomis, tetapi pemberian dari Allah dan dari para leluhur yang dimakamkan di situ, ruang sakral yang mereka butuhkan untuk berinteraksi demi mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka. Ketika mereka tinggal di wilayah mereka, justru merekalah yang melestarikannya dengan paling baik. Namun, di berbagai belahan dunia, mereka berada di bawah tekanan untuk meninggalkan tanah mereka dan melepaskannya untuk proyek-proyek pertambangan serta proyek-proyek pertanian dan perikanan yang tidak memperhatikan kerusakan alam dan budaya.”
Dari kedua kutipan Laudato Si di atas Paus menegaskan betapa penting untuk memberi perhatian terhadap paradigma dan perilaku masyarakat adat dalam memandang dan memperlakukan alam sehingga alam sungguh menjadi anugerah Allah yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang.
3.2 Seruan Apostolik Querida Amazonia (QA)
QA 41: In a cultural reality like the Amazon region, where there is such a close relationship between human beings and nature, daily existence is always cosmic. Setting others free from their forms of bondage surely involves caring for the environment and defending it, but, even more, helping the human heart to be open with trust to the God who not only has created all that exists, but has also given us himself in Jesus Christ. The Lord, who is the first to care for us, teaches us to care for our brothers and sisters and the environment which he daily gives us. This is the first ecology that that we need. In the Amazon region, one better understands the words of Benedict XVI when he said that, “alongside the ecology of nature, there exists what can be called a ‘human’ ecology which in turn demands a ‘social’ ecology. All this means that humanity… must be increasingly conscious of the links between natural ecology, or respect for nature, and human ecology”. This insistence that “everything is connected” is particularly true of a territory like the Amazon region.
QA 42: If the care of people and the care of ecosystems are inseparable, this becomes especially important in places where “the forest is not a resource to be exploited; it is a being, or various beings, with which we have to relate”. The wisdom of the original peoples of the Amazon region “inspires care and respect for creation, with a clear consciousness of its limits, and prohibits its abuse. To abuse nature is to abuse our ancestors, our brothers and sisters, creation and the Creator, and to mortgage the future”. When the indigenous peoples “remain on their land, they themselves care for it best”, provided that they do not let themselves be taken in by the siren songs and the self-serving proposals of power groups. The harm done to nature affects those peoples in a very direct and verifiable way, since, in their words, “we are water, air, earth and life of the environment created by God. For this reason, we demand an end to the mistreatment and destruction of mother earth. The land has blood, and it is bleeding; the multinationals have cut the veins of our mother Earth”.
Dalam seruan apostolik Querida Amzonia Paus memperlihatkan bahwa dalam budaya masyarakat adat Amazon, betapa begitu dekat hubungan antara manusia dengan alam. Hidup mereka selalu berciri kosmis. Alam dan sesama manusia disebut sebagai saudara. Karena segala sesuatu yang ada di dunia pada dasarnya saling terkait satu dengan yang lain. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di dunia saling tergantung, tidak terpisah, saling melengkapi dan mendukung. Selain itu, sikap hormat terhadap alam, sesama, dan Pencipta atau Tuhan memungkinkan manusia hidup dalam keadaan damai. Dengan demikian, ciri integral dan saling terkait di antara alam, manusia, dan Tuhan harus disadari manusia yang adalah pribadi ekologis, bukan sekadar pribadi sosial.
4. Penutup
Dalam rangka melawan krisis ekologi, salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu belajar dari masyarakat adat. Sejatinya, kemauan untuk belajar terhadap masyarakat adat juga diserukan oleh Paus Fransiskus. Hal ini terlihat dalam gagasannya yang diuraikan dalam ensiklik Laudato Si dan seruan apostolik pasca sinode Amazonia (Querida Amzonia). Oleh karena itu, di tengah arus budaya modern dan kontemporer yang menjunjung tinggi rasionalitas, tidak ada salahnya belajar dari masyarakat. Akhirnya, jangan memandang masyarakat adat sebelah mata. Karena masyarakat mempunyai budaya dan alam pikiran yang bagus dalam rangka melawan krisis ekologi.
Terimakasih atas berbagi informasi nya…