Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Utilitarisme merupakan aliran filsafat moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan sebagai landasan moral. Terkait hal ini, prinsip kegunaan merupakan tolok ukur untuk menilai dan mengambil keputusan. Selain itu, tindakan dikatakan benar secara moral apabila berguna, membawa akibat baik, keuntungan, dan kebahagiaan bagi banyak orang.
Utilitarisme mempunyai empat ciri. Pertama, kritis. Menolak tunduk terhadap norma atau peraturan moral yang berlaku begitu saja dan menuntut pertanggungjawaban tindakan (dilarang atau diwajibkan). Oleh karena itu, tindakan atau peraturan bersifat netral dan penilaian moral didasarkan pada akibat (dampak).
Kedua, rasional. Rasionalitas penilaian moral atas tindakan atau peraturan, ditentukan berdasarkan akibat baik yang ditimbulkan. Misalnya, utilitarisme menolak apabila hubungan seks di luar nikah dilarang atau tidak dibenarkan secara moral. Utilitarisme menuntut alasan yang masuk akal. Terkait hal ini, utilitarisme melontarkan pertanyaan, apakah hubungan seks di luar nikah menimbulkan akibat buruk lebih besar daripada akibat baik?
Ketiga, teleologis. Benar dan salah suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Mempertimbangkan apakah akibat baik suatu tindakan lebih besar daripada akibat buruk. Namun, hal ini bertentangan dengan etika deontologis, di mana ada tindakan yang pada dirinya tidak dapat dibenarkan secara moral, apa pun akibatnya. Karena norma moral harus ditaati, tanpa memperhitungkan akibat, menguntungkan atau merugikan. Misalnya, hubungan seks di luar nikah secara moral tidak dibenarkan. Oleh karena itu, etika deontologis menolak gagasan bahwa tujuan menentukan kualitas moral. Karena penilaian moral tidak didasarkan pada akibat suatu tindakan.
Keempat, universal. Mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi pelaku moral (egoisme etis). Terkait hal ini, utilitarisme menegaskan bahwa tindakan secara moral dikatakan benar dan wajib dilakukan apabila akibat tindakan membawa keuntungan besar bagi banyak orang. Oleh karena itu, utilitarisme mengatasi egoisme dan membenarkan sikap sosial, mengorbankan kepentingan pribadi demi yang lain. Hal ini memungkinkan utilitarisme digunakan dalam pengambilan kebijakan sosial-politik pemerintah. Misalnya, menggusur perkampungan untuk membuat jalan, tata kota, dan pengembangan kawasan bisnis.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua evaluasi yang layak diberikan kepada utilitarisme. Pertama, kesulitan menentukan nilai suatu akibat. Karena utilitarisme menentukan nilai moralitas tindakan berdasarkan akibat baik yang melampaui akibat buruk. Terkait hal ini, utilitarisme harus mengetahui arti dan makna “lebih besar” dari nilai moralitas. Jika membatasi perbandingan dari akibat suatu tindakan berdasarkan kenikmatan, maka perbandingan kuantitas sulit dilakukan. Karena rasa nikmat pada dasarnya beragam dan sulit diukur. Misalnya, kenikmatan makan, seks, tidur, merokok, dll. Selain itu, kesulitan menjadi lebih besar apabila harus membandingkan besar atau kecil akibat baik dan buruk yang ditimbulkan.
Kedua, bertentangan dengan prinsip keadilan. Hal ini seringkali terjadi ketika pemerintah mengambil kebijakan atau keputusan berdasarkan kaidah utilitarisme. Misalnya, dalam proyek pembuatan jalan tol, rumah Wahyu digusur. Berdasarkan prinsip utilitarisme, tindakan pemerintah dapat dibenarkan. Namun, prinsip tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, di mana setiap manusia harus dilihat sebagai pribadi yang bernilai. Selain itu, manusia tidak boleh dikorbankan demi kepentingan yang lain. Dengan demikian, Wahyu mempunyai hak asasi yang harus dihormati. Karena menjadikan Wahyu tumbal secara moral tidak dapat diterima.
Daftar Pustaka:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bertens, K, dkk. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Riyanto, Armada E. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Tjahjadi, S.P. Lili. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
——————————-. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.