Pada hari Selasa, 1 September 2020, para staf JPIC-OFM Indonesia melaksanakan kegiatan pembukaan Masa Penciptaan (Season of Creation) tahun 2020. Setelah melaksanakan webinar bertemakan “Season of Creation 2020 dan Gagasan Pemulihan Ciptaan dalam ensiklik Laudato Si” sehari sebelumnya, pembukaan Masa Penciptaan dilanjutkan dengan ibadat bersama dan nonton bersama film Semesta. Selain enam orang staf, pihak JPIC-OFM juga melibatkan sembilan Saudara Muda (sebutan untuk para frater Fransiskan). Perayaan di tengah masa pandemi memaksa pihak JPIC-OFM membatasi jumlah undangan yang hadir.
Rangkaian kegiatan dimulai pada pukul 16.30 WIB, dibuka dengan ibadat yang dipimpin oleh Sdr. Fridus Derong, OFM. Di bawah tema “Tahun Rahmat Bagi Bumi, Ritme Baru, Dan Harapan Baru,” Sdr.Fridus, OFM dalam renungannya menjelaskan Masa Penciptaan tahun 2020 sebagai ajakan untuk melakukan pertobatan ekologis. Mengulang penjelasan Sdr. Martin Harun, OFM pada webinar sehari sebelumnya, Sdr.Fridus mengingatkan para peserta tentang kaitan antara wabah pandemi Covid-19 dengan mentalitas hidup masyarakat global yang tidak menaruh perhatian serius terhadap keberlanjutan alam ciptaan. Masyarakat global dengan mental kapitalis dan ideologi konsumerisme telah memberi kerusakan hebat pada Bumi. Dengan tema “Tahun Rahmat Bagi Bumi, Ritme Baru, dan Harapan Baru” Gereja mengajak semua orang untuk merefleksikan kembali relasinya dengan alam. Alam memiliki ritme khas yang mesti dihormati dan dihargai oleh manusia. Ia mengangkat contoh tentang pohon-pohon di hutan yang dapat bertumbuh subur bukan karena intervensi manusia melainkan karena alam menjalani ritmenya sendiri. Alam telah mengatur kehidupan dengan caranya sendiri.
Setelah ibadat, peserta melanjutkan kegiatan menonton film Semesta. Film bergenre dokumenter ini berdurasi sembilan puluh menit, mengangkat tujuh kisah inspiratif tentang upaya mengusahakan keutuhan ciptaan dan hidup selaras dengan alam di tujuh wilayah berbeda di Indonesia. Keanekaragaman budaya dan perbedaan keyakinan agama di Indonesia bukan halangan tetapi menjadi kekayaan referensi dalam mengupayakan keutuhan ciptaan. Setelah menonton, para peserta saling membagikan pengalaman di komunitas masing-masing berkaitan dengan upaya membangun gaya hidup ekologis, mengomentari film, serta membentuk visi personal untuk menyelamatkan alam yang semakin hancur.
Harus diakui bahwa alam tempat kita tinggal kian rusak parah. Pemanasan global semakin mengancam tatanan kehidupan. Aneka satwa menuju kepunahan, permukaan air laut semakin naik, lubang ozon makin menganga, serta krisis air bersih semakin menjadi penderitaan banyak orang. Langkah awal untuk menyelamatkan alam yang rusak adalah mengubah cara pandang tentang alam. Alam semestinya dipandang sebagai saudara karena berasal dari Pencipta yang sama, yaitu Allah. Alam bukan sarana pemenuhan nafsu-nafsu manusia melainkan sarana pemenuhan kebutuhan esensial manusia. Alam yang kita tempati saat ini adalah titipan dari generasi masa depan. Jadi, merusak alam merupakan tindakan penghancuran terhadap generasi masa depan.
Menyelamatkan Bumi dari kehancuran dapat dimulai dengan melakukan hal-hal kecil. Misalnya, masyarakat perkotaan dapat mengurangi jejak karbon dengan menggunakan transportasi ramah lingkungan seperti sepeda, mengurangi penggunaan kantong plastik ketika berbelanja, mengurangi pemakaian AC (air conditioner), serta menghemat penggunaan air bersih. Pada sisi lain, tindakan-tindakan besar perlu dilakukan. Reboisasi lahan gundul, revitalisasi lahan, konservasi mata air, serta konversi energi ramah lingkungan butuh kerja sama berbagai elemen masyarakat, seperti pemerintah, lembaga agama, LSM, dan lain sebagainya.
Sdr. Efrem Dinto Agundi, OFM