Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut etika deontologis, tindakan dikatakan benar apabila selaras dengan prinsip kewajiban. Oleh karena itu, etika deontologis tidak menganggap akibat tindakan sebagai penilaian moral. Perlu diketahui bahwa etika deontologis dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804). Sebagaimana ditegaskan Kant, norma moral mengikat mutlak dan tidak tergantung pada hasil, menguntungkan atau merugikan. Misalnya, norma moral jangan berbohong dan bertindaklah secara adil tidak perlu dipertimbangkan, harus ditaati, apa pun akibatnya. Karena hukum moral pada dasarnya mengikat manusia, makhluk rasional.
Berdasarkan kaca mata etika deontologis, etika teleologis (egoisme, eudaimonisme, dan utilitarisme) merusak sifat moral. Misalnya, tidak berbohong apabila menguntungkan dan membawa akibat baik lebih besar daripada akibat buruk. Tindakan tersebut merendahkan martabat moral. Sedangkan dalam etika deontologis, manusia dikatakan mengejawantahkan sikap moral apabila mematuhi kewajiban moral, hormat terhadap hukum moral. Misalnya, tidak berbohong bukan karena tindakan tersebut menguntungkannya, tetapi karena berbohong bertentangan dengan hukum moral. Selain itu, manusia wajib berkata benar, entah membawa keuntungan atau pun kerugian.
Kant meyakini bahwa tujuan filsafat moral yaitu menetapkan dasar, menentukan keabsahan peraturan moral. Pendasaran tersebut terletak pada akal budi, bukan pada kegunaan. Karena moralitas menyediakan kerangka dasar, prinsip, bersifat rasional, mengikat, mengatur hidup setiap orang, dan terlepas dari tujuan serta keinginan pribadi. Oleh karena itu, dasar moralitas harus ditemukan dalam akal budi yang dimiliki setiap orang. Di mana sikap atau tindakan secara moral dikatakan benar apabila sesuai dengan norma atau hukum moral yang mengikat manusia.
Kant menekankan pelaksanaan kewajiban moral bukan demi tujuan, tetapi demi tugas. Karena yang sungguh baik adalah kehendak baik. Terkait hal ini, kemurnian motivasi merupakan ciri tindakan moral. Kemurnian tersebut tampak dari sikap mentaati kewajiban moral, hormat terhadap hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia. Hal ini merupakan prinsip deontologis murni, di mana setiap orang bertindak bukan sekadar sesuai tugas dan kewajibannya. Tetapi dilakukan demi kepentingan pribadi dan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan moralitas.
Untuk menjaga kemurnian motivasi, Kant memberikan norma dasar yang bersifat formal. Namun, kewajiban manusia secara konkret tidak ditunjukkan. Tidak memberi isi material mengenai sesuatu yang harus dilakukan pelaku moral dalam situasi konkret. Terkait hal ini, norma moral tersebut disebut Kant sebagai imperatif kategoris, perintah yang mengikat secara mutlak setiap makhluk rasional. Perintah tersebut dirumuskan dalam dua gagasan. Pertama, bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah tindakanmu kaukehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum. Kedua, bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mengaktualisasikan prinsip kemanusiaan, baik terhadap dirimu sendiri atau pun orang lain tidak melulu sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan.
Terdapat tiga kekuatan di dalam etika deontologis. Pertama, memberi dasar kokoh rasionalitas dan objektivitas kesadaran manusia. Hal ini didasarkan pada prinsip moralitas yang diturunkan secara apriori dari akal budi murni dan tidak ditentukan oleh objek tindakan. Perlu diketahui bahwa rasionalitas kesadaran moral menuntut penentuan benar atau salah dan baik atau buruk kelakuan manusia, bukan berdasarkan selera atau perasaan orang yang memberikan penilaian. Oleh karena itu, keputusan moral harus mampu dipertanggungjawabkan dan kebenarannya dapat diuji orang lain. Dengan demikian, objektivitas kesadaran moral dijamin dalam etika deontologis, melawan arus subjektivisme dan relativisme, di mana prinsip moral berlaku umum.
Kedua, memberi tolok ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas tindakan. Terkait hal ini, tindakan yang secara moral dikatakan benar harus didasarkan pada prinsip yang tidak hanya berlaku untuk subjek pelaku, waktu, dan kondisi tertentu. Tetapi pada prinsip yang disetujui dan berlaku untuk semua orang, di mana pun dan kapan pun.
Ketiga, menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa etika deontologis menekankan akal budi sebagai sumber hukum yang wajib ditaati secara mutlak. Perlu diketahui bahwa etika deontologis menolak heteronomi, penentuan dari luar. Karena akal budi praktis atau kehendak rasional pada dasarnya otonom. Selain itu, etika deontologis menghindari bahaya heteronomi etika teonom, menempatkan Allah sebagai sumber hukum tertinggi dan tujuan akhir yang bersifat mutlak.
Etika deontologis mempunyai tiga kelemahan. Pertama, tidak memberi tempat pada dilema moral dan jalan keluar ketika terjadi konflik prinsip moral. Perlu diketahui bahwa dilema moral merupakan situasi ketika pelaku wajib melakukan A sekaligus B. Namun, ia tidak dimungkinkan melakukan keduanya sekaligus. Jika melakukan A, maka ia tidak dapat melakukan B. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak memungkinkan melakukan dua tindakan secara bersama.
Kedua, kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan akibat tindakan sulit diterima. Misalnya, orang wajib berkata benar. Dalam sebuah peristiwa, pembunuh bayaran mencari seseorang yang saya ketahui di mana ia bersembunyi. Apabila saya berbohong untuk melindungi atau menyelamatkan nyawa orang dengan menunjuk tempat lain, padahal orang yang dimaksud sudah pindah ke tempat tersebut, sehingga pembunuh bayaran menemukan dan membunuhnya. Hal ini membuat saya melakukan dua kesalahan, yaitu melanggar kewajiban berkata benar dan menyebabkan orang mati dibunuh.
Ketiga, imperatif kategoris melulu formal dan tidak membantu mengerti kewajiban yang secara konkret mengikat pelaku moral. Hal ini menunjukkan bahwa imperatif kategoris hanya menegaskan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, inkar janji, berbohong, bunuh diri, dll. Tetapi bukan secara positif mengenai apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, moralitas hanya menetapkan batas ruang lingkup manusia dan tidak memberi arah. Imperatif kategoris sekadar memberi tolok ukur dalam menguji benar atau tidaknya kaidah. Namun, tidak membantu mengetahui darimana pelaku moral memeroleh kaidah yang mau diuji. Dengan demikian, moralitas dalam etika deontologis mengandaikan adanya praktik moral yang sudah berlaku.
Daftar Pustaka:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Tjahjadi, S.P. Lili. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Berharap JPIC OFM dapat bekerja sama lebih luas dalam internal lintas komunitas gerejani, dengan (JPIC) Tarekat/Keuskupan lain, dan lintas komunitas lembaga Swadaya masyarakat (NGO) maupun lembaga Pemerintah untuk pelayanan dan informasi bersama dan terpadu bagi masyarakat dan umat yang sungguh sangat membutuhkan.
Salam hormat,
Drs. Berthy B. Rahawarin, SH.
Ketua JPIC Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng-Manado, Pemimpin Kantor Hukum BAM (Law Office) Tomang, Jakarta.