Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Berdasarkan analisis Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sejarah filsafat Barat, mulai dari Plato sampai Nietzsche, metafisika mempunyai ciri ontoteologi. Sebagaimana dikatakan Heidegger, filsafat Barat terobsesi mencari sebab akhir atau ada akhir. Karena ada akhir dinilai sebagai landasan pengetahuan, paling ilahi, dan dibungkus dalam wacana diskursif serta logis.

Perlu diketahui bahwa karakter ontoteologi muncul ketika metafisika membuat representasi, sejauh menampakkan diri (a-letheia) atau sejauh ada. Metafisika seperti itu berpretensi menemukan kebenaran melalui representasi yang telah ditemukan. Namun, menurut Heidegger, berbagai macam uraian yang diberikan tidak berhasil membahas ada pada dirinya. Karena ada pada dasarnya tersingkap sekaligus tersembunyi.

Supaya ada pada dirinya bisa dipertimbangkan, dibutuhkan ontologi fundamental yang bersih dari ontoteologi. Oleh karena itu, kebenaran dari ada sebagaimana termanifestasikan dalam representasi tidak lagi dicari. Hal ini menunjukkan perlunya beralih dari pola berpikir tentang ada melalui representasi menuju pola berpikir tentang ada itu sendiri.

Heidegger memberikan metode pembedaan ontologi dengan menggunakan istilah ada (be) dan adaan (beings). Harus disadari bahwa pembedaan tersebut seringkali dilupakan. Melalui pembedaan ontologi tersebut, Heidegger ingin mencapai esensi metafisika. Hal ini ditemukan ketika membahas nothing, bukan being qua being. Karena being qua being merupakan pernyataan metafisis yang dibahas dalam nothingness. Selanjutnya, berdasarkan pembahasan atas nothing, Heidegger menawarkan cara baca atas ada sebagai sesuatu yang fundamental.

Dengan berpikir secara fundamental, kita tidak lagi berargumentasi dan menganalisis. Melainkan mengingat dan menyediakan diri bagi ada yang bukan ontoteologi. Karena ada nantinya ditulis seyn (dalam bahasa Jerman tidak mempunyai arti dan makna), bukan sein. Terkait hal ini, ada selalu memanifestasikan diri sekaligus menyembunyikan diri. Oleh karena itu, bukan manusia yang menemukan seyn. Tetapi seyn yang menemukan kemungkinan adanya dasein. Dalam kerangka ini, Heidegger berbicara tentang peristiwa (ereignis/event). Karena dalam peristiwa terjadi pewahyuan, manifestasi, dan tersingkapnya ada.

Berdasarkan uraian di atas, Emmanuel Levinas (1906-1995) melihat bahwa Heidegger menunjukkan filsafat yang memberi prioritas pada ada daripada adaan. Adaan dilihat Heidegger sebagai pencahayaan, terang, dan revelasi dari ada. Oleh karena itu, segala sesuatu dikembalikan dan tertutup dalam cakrawala ada. Bahkan kebenaran sebagai a-letheia berada dalam kerangka horizon ada. Terkait hal ini, Levinas melihat adanya ketertutupan, di mana segala sesuatu dikembalikan kepada yang sama, yaitu ada.

Levinas menilai bahwa gagasan Heidegger terpusat pada persoalan pemahaman. Karena dasein ingin memahami segala sesuatu dengan cakrawala ada. Cara memahami tersebut disebut Levinas sebagai proses mentotalisasi. Sebagaimana dikatakan Levinas, adaan (termasuk manusia) hanyalah salah satu sarana untuk memahami ada. Namun, apakah filsafat dari dahulu sampai sekarang menundukkan adaan kepada ada?

Memang benar apabila Heidegger menegaskan bahwa ada selalu menyembunyikan diri. Namun, penyembunyian diri tersebut pada dasarnya sudah diketahui. Oleh karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa ada akan keluar dari persembunyian untuk kembali bersembunyi. Hal ini memerlihatkan bahwa sebenarnya ada tidak terlalu misterius bagi dasein. Karena ada tinggal ditunggu supaya menampakkan dan menyesuaikan diri.

Menurut Levinas, meskipun ada belum diketahui, sejatinya ada sudah dalam jangkauan tangan dasein. Selanjutnya, Levinas melontarkan pertanyaan, di mana letak yang lain yang sungguh-sungguh lain apabila segala sesuatu ditundukkan pada pemahaman ego? Terkait hal ini, Levinas menegaskan bahwa relasi dengan adaan pada dasarnya merupakan relasi etis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Levinas berhasil memberikan kritik tajam dalam bentuk evaluasi terhadap pola relasi yang dibangun secara ontologi dan pemahaman yang dominatif.

Daftar Pustaka:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

————–. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Hardiman, F. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.

Lanur, Alex. Aku Disandera: Aku dan Orang Lain Menurut Emmanuel Levinas. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.

—————. Filsafat Manusia. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.

Mark A. Wrathall (edited). Religion after Metaphysics. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.

Wibowo, Setyo A. “Heidegger: Melampaui Metafisika.” Basis, Nomor 09-10, Tahun ke 63 (2014), 24-29.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 + 9 =