Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Stoa merupakan gerakan aliran pemikiran yang mempunyai jasa besar mengenalkan filsafat Barat ke seluruh penjuru dunia. Hal ini memungkinkan filsafat bertumbuh dan berkembang tidak hanya di Yunani. Selain itu, bersama filsafat Barat, kebudayaan Yunani tersebar dan dikenal di mana-mana. Perlu diketahui bahwa para filsuf Stoa adalah orang-orang Syria dan Romawi. Mereka berasal dari berbagai macam kelas sosial. Misalnya, Epitectus (kalangan budak) dan Marcus Aurelius (kaisar Romawi).
Pendiri Stoa adalah Zeno (334-262 SM), berasal dari Citium-Siprus. Menurut Stoa, akal budi lebih tinggi daripada otoritas. Karena Stoa meyakini bahwa dunia merupakan realitas tunggal dan tidak ada yang mampu melampauinya. Terkait hal ini, alam diatur oleh prinsip-prinsip yang dapat dipahami secara rasional. Sebagaimana ditegaskan Stoa, manusia berasal dari alam. Sedangkan rasionalitas manusia dan alam disebut Tuhan yang meresapi segala sesuatu.
Menurut Stoa, ketika mati manusia akan kembali ke alam. Karena manusia pada hakikatnya menyatu dengan alam. Terkait kematian, pertanyaan ke mana manusia pergi setelah mati tidak relevan bagi penganut ajaran Stoa. Bahkan ketika berhadapan dengan kematian, manusia harus menerimanya, tidak boleh melawan. Jika melawan kematian, maka manusia berada pada posisi salah atau tidak tepat. Sikap melawan merupakan bentuk emosi dan harus ditundukkan kepada akal budi, supaya menghasilkan penilaian yang benar.
Penganut ajaran Stoa biasanya mampu menghadapi berbagai macam persoalan hidup dengan tenang dan tegar. Namun, ketika mengalami kejatuhan, malu, sekarat, dll, mereka tidak mau melanjutkan hidup. Dalam situasi dan kondisi tersebut, tindakan yang dilakukan dan dinilai tepat yaitu bunuh diri. Terlepas dari persoalan tersebut, banyak orang menilai bahwa etika Stoa mengagumkan dan mengesankan. Sehingga tidak mengherankan apabila etika Stoa memengaruhi etika Kristen. Pengaruh tersebut terjadi ketika Seneca, Epitectus, dan Markus Aurelius menuliskan karya-karyanya dalam bentuk sastra Latin. Karya-karya tersebut dipelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah Eropa.
Stoa menegaskan bahwa filsafat terdiri dari tiga bagian, yaitu fisika, logika, dan etika. Pembagian tersebut menjadi salah satu indikasi di mana Stoa memandang dunia bersifat materialistis. Oleh karena itu, segala sesuatu yang jasmani dipandang sebagai realitas atau kenyataan. Sedangkan yang bukan jasmani dianggap tidak ada. Penganut ajaran Stoa meyakini adanya Tuhan. Namun, Tuhan bersifat jasmani, identik dengan alam.
Perlu diketahui bahwa segala sesuatu yang ada di dunia dijadikan oleh kekuatan ilahi atau kekuatan alam. Keyakinan tersebut berdampak pada munculnya empat anasir, yaitu air, api, tanah, dan udara. Keempat anasir tersebut saling melengkapi dan melaluinya dunia bertumbuh serta berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan dunia terjadi pada awal tahun. Sedangkan pada akhir tahun segala sesuatu dilarutkan ke dalam api. Selanjutnya mulai pertumbuhan dan perkembangan dunia baru, demikian seterusnya.
Dunia dipenuhi dan dikuasai rasio ilahi (logos). Rasio ilahi mempunyai peran melahirkan dan mengatur segala sesuatu menuju satu tujuan. Oleh karena itu, segala sesuatu ditundukkan kepada hukum rasio ilahi, di mana nasib atau takdir (fatum) manusia tidak dapat diubah. Sedangkan kejahatan dinilai bersifat semu. Karena Stoa meyakini bahwa segala sesuatu harus dilihat dari segi yang lain, tidak boleh memutlakkannya. Terkait hal ini, jiwa (pneuma) dilihat sebagai sesuatu yang jasmani, mengandung hasrat atau nafsu. Selain itu, jiwa merupakan nafas kehidupan, menjiwai dan menggerakkan tubuh manusia. Sedangkan hati merupakan pusat jiwa, tempat akal budi dan sentralitas hidup manusia.
Sebagaimana dikatakan Stoa, logika terdiri dari tiga kategori, yaitu logika formal, ajaran tentang pengenalan, dan retorika. Terkait hal ini, pengamatan memperkenalkan kepada jiwa tentang benda-benda tunggal, di mana akal budi mempunyai tugas merumuskan pengertian-pengertian umum. Oleh karena itu, kebenaran tidak terletak pada pengertian, tetapi dari penggabungan sejumlah pengertian ke dalam suatu penilaian.
Ajaran Stoa yang paling terkenal yaitu tentang etika, di mana manusia harus hidup selaras dengan dunia. Keselarasan terjadi apabila manusia terlebih dahulu hidup selaras dengan diri sendiri. Hidup sesuai dengan akal budi dan hukum dunia yang bersifat ilahi. Perlu diketahui bahwa kebajikan merupakan akal budi yang benar (recta ratio), di mana akal budi manusia selaras dengan akal dunia. Apabila gagasan tersebut dihidupi, manusia akan bahagia. Namun, kebahagiaan bukan tujuan hidup manusia, sekadar akibat tindakan susila.
Manusia bijak seperti filsuf merupakan orang yang berdiri di tengah-tengah dunia tanpa membutuhkan siapa pun dan apa pun. Puas dengan diri sendiri dan bebas merdeka. Karena kebahagiaan merupakan situasi dan kondisi di mana manusia terbebas dari pengaruh duniawi. Selain itu, supaya bahagia, manusia harus mampu menguasai hidup secara sempurna. Tidak mengalami ketakutan ketika berhadapan dengan sesama manusia dan dewa. Dengan demikian, cita-cita tertinggi yang ingin dicapai dalam hidup yaitu keadaan tanpa rasa (apatheia), mampu menguasai gerak perasaan. Misalnya, ketika sakit, tidak mengeluh dan tidak meminta dikasihani.
Terdapat empat kategori rasa, yaitu nafsu (hedone), keinginan (epithumia), kesedihan (lupe), dan ketakutan (phebos). Berdasarkan empat kategori rasa tersebut, manusia harus mampu menguasai perasaannya dan hanya boleh dipimpin akal budi, supaya hidup selaras dengan akal dunia. Selanjutnya, kebajikan yang paling utama adalah hikmat atau kebijaksanaan. Misalnya, kebenaran, keberanian, pengekangan diri, dll. Hal ini menunjukkan bahwa secara teoretis ajaran Stoa bersifat materialistis. Namun, secara praksis ajaran Stoa mempunyai misi membebaskan manusia dari belenggu duniawi, menawarkan cita-cita hidup rohani untuk memeroleh ketenangan batin.
Sebagaimana dikatakan Stoa, manusia harus melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri, bukan demi perasaan nikmat dan ganjaran. Dengan demikian, Stoa memberikan dasar kokoh berdirinya etika kewajiban Immanuel Kant. Terkait hal ini, tekanan pada kewajiban merupakan ciri pemikiran etika Barat. Manusia harus membebaskan diri dari kecenderungan tidak teratur dan murahan untuk mencapai tujuan yang luhur. Misalnya sikap lepas bebas dari kelekatan duniawi.
Etika merupakan seni hidup yang menunjukkan jalan menuju kebahagiaan. Kehidupan manusia berhasil apabila mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan hukum alam. Terkait hal ini, Stoa menggunakan istilah oikeosis, mengambil sebagai milik. Menjadikan alam semesta, diri sendiri, lingkungan dekat, dan seluruh realitas sebagai milik. Selain itu, tindakan disebut baik apabila sesuai dengan hukum alam, koordinat dasar. Sebagaimana dikatakan Seneca, apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila tidak, takdir memaksamu.
Manusia mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar menyesuaikan diri dengan hukum alam. Karena kebebasan manusia merupakan kesadaran mengenai keniscayaan alam semesta memahami hukumnya sendiri. Hal ini disebut autarkia, berdiri pada diri sendiri, kemandirian, pertahanan diri sempurna, dan tidak tergantung pada apa pun. Dengan demikian, manusia akan menikmati ataraxia dan apathia, bebas dari kebingungan, keresahan, dan penderitaan. Nikmat dan rasa sakit bagi Stoa mempunyai nilai sama. Bahkan manusia harus memiliki mental kuat, menyatu dengan hukum alam, dan tidak mengizinkan diri disentuh segala sesuatu yang bersifat fana.
Pada dasarnya etika Stoa keras, menekankan kehendak dan tidak mencari nikmat. Sedangkan kebahagiaan terletak pada keutamaan moral, melakukan kewajiban (to kathekon, to katorthoma). Keutamaan bagi Stoa adalah tindakan menyangkal dan melepaskan diri dari ketergantungan pada benda-benda duniawi. Oleh karena itu, manusia harus bersikap keras terhadap diri sendiri, menaklukkan hawa nafsu. Selain menumbuhkan dan mengembangkan kebijaksanaan moral, keadilan, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan, Stoa mengajarkan manusia untuk menghidupi semangat terimalah serta lepaskanlah (anechou kai apechou).
Ketenangan batin harus membuat manusia aktif ambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Bersikap positif dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Mengembangkan kebaikan hati kepada orang lain (eupatia). Hal ini memerlihatkan bahwa prinsip humanisme Stoa yaitu mengakui dan menjunjung tinggi kesamaan derajat serta martabat manusia, bersikap baik hati kepada siapa pun dan di mana pun. Mengatasi segala bentuk batasan dan merangkul sesama manusia. Mengasah kebaikan hati, keutamaan tanpa pamrih, dan pengekangan hawa nafsu. Belajar lepas bebas dari kekayaan (indifferentia), nama baik, dan benda-benda duniawi. Melihat setiap orang sebagai saudara. Bersikap toleran, merelatifkan diri, melihat keseluruhan, dan skeptis terhadap usaha berlebihan serta fanatisme.
Terdapat dua kritik yang pantas disampaikan terhadap etika Stoa. Pertama, etika Stoa menekankan peranan mutlak takdir dalam hidup manusia. Terkait hal ini, muncul tiga pertanyaan. (1) Bagaimana cara mengetahui takdir dan bukan takdir? (2) Apa yang harus diubah dan diterima dalam hidup manusia ketika berhadapan dengan takdir? (3) Apabila terjadi ketidakadilan, ketidakdamaian, dan hancurnya keutuhan ciptaan, apakah peristiwa tersebut disebut takdir?
Kedua, ketidakjelasan takdir dan hukum alam serta tindakan yang harus diambil yang sesuai hukum alam. Terkait hal ini, muncul tiga pertanyaan. (1) Apakah bunuh diri merupakan tindakan yang tepat? (2) Apabila saya mengetahui takdir, mengapa saya harus hidup bermoral? (3) Apakah masih ada kebebasan dan tanggung jawab pribadi ketika berhadapan dengan takdir?
Daftar Pustaka:
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Penerj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
—————————–. Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müler ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Wattimena, Reza A. A. “Antara Keutamaan dan Kepastian Adam Smith dan Filsafat Stoa.” Melintas, Vol. 23, No. 2 (2007), 213-237.
Ketika membaca tulisan ini, pikiran saya serentak terbagi, terutama menyangkut kebahagiaan bukan tujuan manusia. Sedangkan, Aristoteles dalam etika nimomachea, mengatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan, yang di mana untuk mencapai kebahagiaan itu manusia mesti tahu apa yang baik dan buruk, benar dan salah, bukan bersifat pragmatis pada kebahagiaan itu sendiri dengan menghalalkan segala cara.
mendapatkan wawasan baru yang luar biasa