Manusia Harus Belajar Pada Alam: Berguru Pada Mistik-Kosmik Fransiskus Asisi

0
6115


Oleh: Yansianus Fridus Derong OFM
(Sekretaris Eksekutif JPIC OFM Indonesia)

1. Pengantar

Allah telah menulis sebuah buku yang indah yang huruf-hurufnya adalah banyaknya makhluk di alam semesta. Para uskup Kanada dengan tepat menggaris bawahi bahwa tiada makhluk yang dikecualikan dari penyataan diri Allah itu: Dari pemandangan yang paling luas sampai ke bentuk kehidupan yang terkecil, alam adalah sumber keheranan dan kekaguman yang terus-menerus; dan juga wahyu ilahi yang terus-menerus. Para uskup Jepang, dari pihak mereka, mengingatkan kita akan sesuatu yang sangat menarik: Mendengarkan setiap makhluk menyanyikan himne keberadaannya adalah hidup dengan sukacita dalam kasih Allah dan dalam pengharapan. Menatap karya ciptaan itu memungkinkan kita untuk menemukan pesan Allah bagi kita dalam segala-galanya, karena bagi orang beriman, menatap dunia ciptaan adalah mendengarkan pesan, mendengarkan suara yang paradoksal dan hening Kita dapat mengatakan bahwa di samping wahyu yang sesungguhnya, yang terkandung dalam Kitab Suci, ada pula penyataan ilahi dalam sinar matahari dan dalam jatuhnya malam. Dengan memperhatikan penyataan ini, kita belajar untuk melihat diri kita sendiri dalam hubungan kita dengan semua makhluk lain: Saya mengungkapkan diri dalam mengungkapkan dunia; saya menemukan kesucian saya sendiri ketika saya berusaha mengartikan kesucian dunia. (Bdk. Laudato Si, art 85)

Kata-kata Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si di atas tidak hanya memperlihatkan visi sakramental Paus atas seluruh ciptaan, tetap mengungkapkan kerendahan hati dan kesadaran akan pentingnya manusia belajar dari alam sendiri demi kebaikan dan kesucian hidup manusia. Alam adalah ibarat buku yang indah, yang mengajarkan manusia apa artinya saling mendengarkan, saling bergantung, hidup bersama dalam keanekaragaman, saling mengasihi, mengupayakan keberlanjutan agar tidak punah dan keadilan antargenerasi. Dengan kata lain, alam sendiri menawarkan paradigma dan kearifan tertentu dalam menjamin kehidupan yang baik, harmonis dan berkelanjutan.

Tesis utama tulisan ini adalah seruan agar manusia harus belajar dari alam sendiri untuk menjamin eksistensi dunia sebagai komunitas ekologis dan untuk keluar dari krisis ekologis saat ini. Alam memiliki kearifan dan ritmenya sendiri yang menjamin keutuhan, keharmonisan dan kebaikan. Sebelum masuk pada pembahasan tentang pokok itu, terlebih dahulu saya menguraikan gagasan mistik-kosmis Santo Fransiskus yang menjadi bapak Spiritual Paus Fransiskus dan menyumbangkan cara pandang mistik-kosmis atas alam ciptaan.

2. Paradigma Mistik-Kosmis Fransiskus Asisi

Santo Fransiskus Asisi yang oleh Paus Yohanes Paulus II diangkat menjadi pelindung ekologi pada tahun 1979 mewariskan kepada Gereja sebuah spiritualitas yang memampukan kita memandang alam secara lain dan membantu kita keluar dari krisis eklogis saat ini. Tidak seperti kebanyakan spiritualiatas pada masanya, Fransiskus tidak memisahkan dunia yang spiritual dari dunia yang material. Ia memandang bumi dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagai ciptaan Tuhan. Fransiskus berhubungan dengan semua ciptaan-baik yang bernyawa ataupun tidak bernyawa-dengan rasa hormat besar, dan mau menjadi bawahan mereka. Sikap tersebut berbeda dari spiritualitas yang memandang manusia sebagai pengatur bumi. Fransiskus melihat ciptaan sebagai sesama saudara dan saudari, sama-sama diciptakan oleh Allah. Ia mengungkapkan spiritualitasnya itu secara unik dan puitis dalam Kidung Semua Makhluk yang digubahnya menjelang akhir hidupnya. (Bdk. Peter C. Aman, Lingkungan Hidup, Keadilan dan Ekaristi, hlm. 10)

Berikut ini adalah beberapa poin penting yang menjadi paradigma Mistik-Kosmik tentang alam:

2.1 Alam Sebagai sebuah Sakramen.

Salah satu hal yang terpenting dalam spiritualitas St. Fransiskus adalah kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap ciptaan dan dalam sejarah manusia. Bagi dia segala yang ada dan segala yang hidup merupakan anugerah Allah, semata-mata karena kebaikan-Nya. Sebagai sebuah sakramen, segala sesutu di alam ini menyatakan kepada kita tentang Allah dan mengembalikan kita kepada Allah. Dengan kata lain alam ini menampakan kepada kita bayangan dan gambaran sang Pencipta. Sebab semua yang ada dari Allah dan diciptakan Allah. Karena itu pada tingkat tertentu, segala sesuatu itu menampakan satu bagian dari Pribadi Allah yang Maha besar itu. Alam ini memiliki kebijaksanaan alami dalam menghidupi dirinya dan mengarahkan hidupnya. Ia mengajarkan kepada kita tentang Allah.

Visi sakramental Kristiani tentang ciptaan dapat mencegah ide yang memisahkan Allah dan ciptaan (dualisme), roh dan materi, badan dan jiwa, langit dan bumi. Gagasan skaramental ini sesungguhnya berakar dalam Kitab Suci, khususnya Kitab Mazmur. Ciptaan Allah menyingkapkan dan mencerminkan kebesaran dan keluhuran Pencipta. Segala ciptaan merupakan penyataan diri Allah dan komunikasi diri Allah kepada manusia. Dengan demikian, manusia dapat berjumpa, mengalami dan mengkonteplasikan Allah dalam dan melalui ciptaan-Nya. Fransiskus tidak berhenti pada sikap mengaakui dan menghargai ciptaan sebagai sakramen Allah. Ciptaan bukan hanya sarana atau instrumen untuk mencapai Allah. Ia menerima dan mengakui alam dalam keberadaannya, dengan demikian dia mengakui dan menyambut ciptaaan sebagai sesuatu yang berharga di hadapan Allah pencipta, bebas dari Hasrat memiliki dan sekedar menjadikannya alat menuju Allah. (Bdk. Peter C. Aman, Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmik St. Fransiskus Asisi, dalam Diskursus Vol. 15, No. 2, Oktober 2016, hlm. 199)

2.2 Alam Sebagai Suatu Keseluruhan

St. Fransiskus Asisi mempunyai pandangan integral tentang kehidupan. Bagi St. Fransiskus Asisi alam raya ini diciptakan dalam sebuah harmoni seperti sebuah keluarga besar dalam aneka jenis, dalam keadaan yang mandiri seperti suatu komunitas persaudaraan universal. Maka kerusakan salah satu bagian saja di dalam jaringan kehidupan dapat merusak irama dan harmoni alam ini secara keseluruhan. Sejarah keselamatan tidak hanya untuk sejarah manusia tetapi juga untuk seluruh kosmos dalam keterbukaannya pada janji Ilahi. Sejak awal mula, alam raya ini diciptakan dalam suatu kemandirian utuh. Sementara manusia diciptakan dari tanah dan kembali kepada tanah. Dengan demikian manusia pada dasarnya bersatu dengan alam ini baik waktu hidup maupun setelah mati (bdk. Kej. 1-3). Implikasi dari konsep ini adalah bahwa keberadaan alam semesta ini bukan hanya untuk kepentingan ekonomi manusia belaka tetapi keberadaan mereka demi harmoni seluruh ciptaan itu sendiri. Allah melihat segala yang dibuat-Nya itu baik adanya (bdk. Kej. 1: 31). Kata sifat “baik” ini mencakup seluruh aspek kehidupan.

Visi integral tentang alam semesta sangat kuat dalam gagasan Paus Franiskus. Baik dalam ensiklik Laudato Si maupun dalam Seruan Apostolik pasca Sinode Amazon (Querida Amazonia) Ia menekankan pentingya berpikir dan bertindak secara integral demi menyelamatkan bumi. Alam tidak hanya dipandang dari satu aspek saja, seperti aspek ekonimi misalnya, tetapi perlu juga ditunjau korelasinya dengan aspek-aspek kehidupan yang lain, termasuk aspek sosial-budaya, dll. Demi memperbaiki lingkungan hidup, Paus juga menyerukan sebuah pertobatan yang integral yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

2.3 Hormat Kepada Semua Ciptaan

Pada dasarnya segala sesuatu bernilai tidak karena berguna bagi manusia tetapi bernilai pada dirinya sendiri. Bagi Fransiskus, segala sesuatu itu bernilai pada dirinya sendiri dan harus kita akui dan hormati serta cintai bukan karena berguna bagi kita tetapi pada dirinya Ia berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Segala ciptaan Allah memiliki hak atas keberadaanya dan tidak bisa menjadi obyek pemuasan kebutuhan kita. Spiritualitas Fransiskus berpusat pada pandangan integral tentang kehidupan, tentang harkat dan martabat bumi dan segala sesuatu di dalamnya yang bernilai pada dirinya. Spiritualitas ini mengantar kita pada kesadaran dasariah akan hakekat kita sebagai mikrokosmos dari makrokosmos yang ada. Maka kita menolak semua tindakan eksploitatif terhadap alam raya ini. Santo Fransiskus tidak menolak memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebutuhan manusia. Tetapi dia menegaskan bahwa pemanfaatan sumber-sumber alam harus dengan rasa hormat dan syukur. Alam semesta bukan hanya bahan mentah bagi manusia, melainkan saudara dan saudari, dan setiap ciptaan memiliki nilai sendiri, juga di hadapan Allah. Nilai yang dimaksudkan Fransiskus bukanlah nilai ekonomis, instrumental atau utilitarian, tetapi nilai teologis dan estetis. Nilai ciptaan menurut dia terungkap dalam kesaling-terkaitan antar ciptaan dan dengan Allah. Itulah sebabnya mengapa St. Fransiskus lemah lembut dan hormat terhadap ciptaan. (Bdk. Peter C. Aman, Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmis Fransiskus, ibid)

3. Kita Belajar dari Alam

Pada awal mulanya segala sesuatu di alam semesta ini baik adanya (Bdk. Kej. 1:1-26). Allah Sendiri yang melihat dan menilai bahwa segala ciptaan-Nya baik adanya. Kebaikan itu terpancar dalam keraturan, keharmonisan, tertata-rapi, beraneka ragam, dan lain-lain. Semua menempatkan dirinya masing-masing pada tempatnya. Burung mempunyai tempat bersarang, singa mempunyai tempat berteduh. Singkatnya bumi telah cukup menyediakan tempat dan makanan bagi segala makhluk hidup di atasnya. Tanpa campur tangan manusia, alam sendiri sudah mandiri dengan satu hukum harmoni dalam satu sistem jaringan kehidupan. Alam juga memiliki sistem dan mekanisme sendiri demi menjamin eksistensi dan keberlanjutannya.

Kesadaran ini pulalah menurut saya yang mendasari pemikiran Paus Fransiskus yang dituangkannya dalam ensiklik Laudato Si artikel 86: Alam semesta sebagai keseluruhan, dalam aneka hubungannya, mengungkapkan kekayaan Allah yang tak terbatas. Santo Thomas Aquinas mencatat dengan bijak bahwa keanekaragaman dan pluralitas berasal dari niat pelaku pertama, yang menghendaki agar apa yang kurang dalam masing-masing makhluk untuk menggambarkan kebaikan ilahi dilengkapi oleh yang lain, karena kebaikan-Nya idak dapat digambarkan secara memadai oleh satu makhluk. Oleh karena itu, kita perlu memahami keanekaragaman makhluk-makhluk dalam banyaknya hubungan mereka. Maka kita baru memahami pentingnya dan makna dari setiap makhluk jika kita memandangnya dalam keseluruhan rencana Allah. Seperti diajarkan dalam Katekismus: Ketergantungan makhluk-makhluk satu sama lain dikehendaki Allah. Matahari dan bulan, pohon aras dan bunga liar, rajawali dan burung pipit—semua keanekaan dan ketidaksamaan yang tidak terhitung banyaknya itu mengatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang mencukupi dirinya sendiri. Makhluk-makhluk itu ada hanya dalam ketergantungan satu sama lain untuk saling melengkapi dalam pelayanan timbal balik.

Amat jelas dalam pandangan Paus perihal ciri sakramental, ciri relasional, plural, keanekaragaman, kesalingterkaitan dan keteragantungan yang ada pada alam. Pada dasarnya seluruh alam ini hidup dalam satu daya tarik-menarik yang kuat, dan kesemuanya saling terkait satu sama lain dalam satu hubungan mutualisme yang menguntungkan. Dalam keterkaitan itu, kita menemukan suatu harmonisasi dalam jaringan kehidupan dan ekosistem. Alam adalah buku kehidupan yang darinya manusia belajar untuk memahami baik alam, sesama dan juga dengan demikian, beberapa poin berikut ini adalah beberapa hal yang harus kita pelajari.

3.1 Kemandirian, Interdependensi, Kemitraan

Kemandirian alam sangat jelas nampak tatkala kita memandang pegunungan yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi, besar dan berdaun lebat. Siapakah yang pergi menyiram dan memberi pupuk pada pohon-pohon tersebut sehingga mereka bertumbuh dengan suburnya? Yang jelas, di dalam akar-akar pohon tersebut sudah menyimpan air untuk keberlangsungan hidupnya. Daun-daun yang kering akan berjatuhan dan menjadi pupuk bagi dirinya sendiri. Masih banyak contoh-contoh lain yang dapat kita pelajari dari alam yang memperlihatkan betapa alam itu sendiri menjamin kemandiriannya.

Ciri interdependensi alam nampak dalam kenyataan bahwa semua makhluk dalam alam, termasuk manusia, hidup dan berkembang dalam satu-kesatuan mata rantai yang terkait dalam satu jaringan relasi yang luas dan rumit, yang bernama jaring kehidupan. Setiap anggota ada, hidup, dan memperoleh seluruh ciri hakikinya dan eksistensinya dari relasi dan interaksi dengan seluruh warga alam. (Bdk. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, hlm. 131)

Sedangkan ciri kemitraan adalah menyangkut kerja sama di antara anggota komunitas alam. Kehidupan di muka bumi bisa bertahan karena ada kerja sama yang saling menunjang dan saling mengisi di antara berbagai bentuk kehidupan di muka bumi. Kemitraan, yang mengandung pengertian terbuka untuk saling terkait, saling menunjang, saling mendukung, untuk hidup dan menghidupi satu sama lain dan bekerja sama, adalah satu penanda penting kehidupan. (Ibid. Hlm. 135)

3.2 Keberlanjutan 

Keberlanjutan yang dimaksudkan di sini adalah aneka upaya dari setiap makhluk hidup atau alam pada umunya untuk tetap eksis dan tidak punah. Setiap makhluk masing-masing memilki cara tersendiri untuk menjamin keberlangsungan hidup dan untuk berkembang biak. Ada yang berkembang biak dengan cara beranak, bertelur, dengan stek, dengan biji, dan lain sebagainya. Keberlanjutan ini juga menjadi tema penting dalam moralitas ekologi terkait dengan keadilan antargenerasi. Keadilan antargenerasi mau menekankan kesadaran dasariah bahwa alam ini bukan hanya untuk kita saat ini tetapi juga milik generasi yang akan datang. Karena itu dalam mengambil sumber alam, kita juga bertanggung jawab untuk pemulihan alam tersebut demi masa depan ras manusia ini. kita tentu tidak menginginkan sebuah warisan yang telah rusak, tetapi yang utuh, demikian pun generasi yang akan datang tentu menginginkan warisan alam yang utuh pula bukan kumpulan puing dan limbah.

Pembangunan berkelanjutan merupakan tema penting dalam filsafat, etika dan moral lingkungan hidup. Yang mau dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah sebuah integrasi pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup ke dalam arus utama pembangunan sehingga keduanya memilki bobot yang sama dengan aspek ekonomi. Aspek sosial-budaya dan lingkungan tidak boleh dikorbankan demi aspek ekonomi. Di sini terkandung kritik terhadap pembangunan selama ini yang terlalu memandang aspek ekonomi sebagai tujuan utama dan mengabaikan aspek sosial-budaya dan lingkungan. Sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar bahkan kehancuran terhadap kekayaan sosial-budaya dan lingkungan hidup. Hal itu juga menyebabkan kemiskinan, timbul pelbagai penyakit, kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dan kehancuran budaya masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tersebut. (Bdk. Sony Keraf, Etika Lingkungan, hlm. 168-188)

3.3 Keanekaragaman Hayati

Kearanekaragaman adalah sebuah fakta yang dengan mudah kita jumpai dalam alam. Di gunung dan hutan yang masih alamiah, kita jumpai aneka macam jenis pohon dan tumbuhan. Dan dalam alam semacam itu juga menyebabkan begitu banyak makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Satu fakta empiris yang tidak dapat dipungkiri adalah ternyata pola hidup modern bertentangan dengan keberlangsungan keanekaragaman hayati. Demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup, manusia mengeksploitasi alam ini dengan rakus. Dalam pengeksploitasian ini betapa keanekaragaman hayati yang dimiliki alam ini harus menjadi korban. Gandi memang benar bahwa alam ini sebenarnya mampu menyediakan semua kebutuhan untuk semua manusia dan makhluk lain tetapi tidak untuk orang rakus dan tamak. Dengan kata lain kemajuan sebuah negara telah dibayar mahal oleh alam dengan hancurnya keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Kecuali itu, sistem pertanian modern yang cenderung berpola monokultur juga menjadi salah satu penyebab hilangnya keanekaragaman hayati tersebut.

4. Penutup

Ada dua poin penting sekurang-kurangnya yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari uraian di atas. Pertama, paradigma mistik-kosmis Fransiskus Asisi atas alam merupakan warisan penting yang harus dihidupi dan diwartakan oleh Gereja dalam menghadapai krisis ekologi dewasa ini. Fransiskus tidak hanya mengajak kita untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan atas seluruh karya ciptan Tuhan yang begitu baik dan mengagumkan, tetapi juga mendesak manusia untuk menyelamatkan alam bumi yang berada di ambang kehancuran. Jeritan sekalian makhluk (juga jeritan orang miskin) meminta uluran tangan kasih kita; sebab mereka semua adalah saudara dan saudari kita.

Kedua, berangkat dari kesadaran bahwa ciptaan lain adalah saudara dan saudarai bagi manusia, maka tidak salah dan bahkan sangat bijaksana kalau manusia juga rendah hati belajar pada alam. Alam memiliki aneka kearifan yang mengagumkan yang dapat menyelamatkan bumi dan seluruh kehiupan yang ada di dalamnya. Sebagaimana Santo Fransiskus Asisi dan Paus Fransiskus, mari kita mengontemplasikan alam (buku kehidupan) agar kita mampu menimba aneka kearifan dan kebijaksanaan yang penting bagi kehidupan kita dan seluruh bumi.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

six + 1 =