Pengantar
Saat ini, alam tidak sedang berada dalam kondisi baik-baik saja. Perkembangan ilmu pengetahuan yang dipandang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia justru telah menempatkan alam pada situasi mengkhawatirkan. Terdidik dengan pola relasi subjek-objek, manusia telah menjadikan alam ciptaan semata sebagai sarana pemuas kebutuhan. Berbagai proses pembangunan dan kegiatan produksi dan konsumsi telah mendorong bumi melampaui batas yang dimilikinya. Berbagai bencana ekologi seperti banjir, kelaparan, tanah longsor, pemanasan global merupakan tanda dari situasi kritis yang dialami bumi. Pada kondisi seperti ini, pada akhirnya manusia sendiri yang menjadi korbannya.
Salah satu contoh perlakuan buruk terhadap alam dalam skala nasional adalah proyek raksasa perkebunan kelapa sawit di Papua. Sebelum ditanami sawit, hutan yang tersisa dan utuh di Asia-Pasifik ini diprediksi akan menghasilkan kayu tebangan senilai Rp 90 triliun. Lantas, dengan berbagai cara para investor memburu kuasa atas hutan dan segala isinya. Sejauh ini, luas wilayah hutan yang telah dirambah adalah 8.300 hektar atau hampir 3% dari total luasan lahan proyek.[1] Inilah gambaran kecil bagaimana alam ciptaan dan manusia semakin tidak baik-baik saja.
Menyikapi berbagai persoalan ekologis dan kondisi bumi yang semakin gawat, Gereja Katolik Roma bersama Gereja Ortodoks dan denominasi-denominasi Gereja Protestan menginisiasi suatu masa untuk memelihara keutuhan ciptaan sambil mengurangi perlakuan buruk manusia terhadap tubuh bumi. Masa yang kini disebut Masa Penciptaan (Season of Creation) dikatakan berhasil setidaknya karena berbagai denominasi Kristen yang tersebar di berbagai belahan dunia turut terlibat aktif merayakan momen berahmat ini.
Selayang Pandang “Masa Penciptaan”
Berbicara tentang Masa Penciptaan, gerakan ini pada awalnya ditetapkan tahun 1989 oleh Patriarkh Dimitrios I bagi Gereja Orthodoks. Sebagai perayaan awal tahun bagi Gereja Orthodoks, mereka merayakan penciptaan dunia oleh Allah, sembari mengenangkan hari doa sedunia bagi pemeliharaan ciptaan setiap tanggal 1 September.[2] Setelah berlangsung lama, pada tahun 2001, gerakan ini menginspirasi Gereja Eropa dari berbagai denominasi Kristen.
Terinspirasi oleh gerakan ini, pada tahun 2015 Paus Fransiskus menginisiasi gerakan ini dalam Gereja Katolik melalui suratnya kepada Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian serta Komisi Ekumene. Dalam hal ini, Paus Fransiskus memperpanjang masa pemeliharaan ciptaan menjadi lima pekan, dimulai pada tanggal 1 September hingga mencapai puncaknya pada tanggal 4 Oktober, pada peringatan St. Fransiskus dari Assisi sebagai patron ekologi. Inisiatif Paus Fransiskus tersebut sejalan dengan gagasannya dalam ensiklik Laudato Si’ tentang perawatan bumi sebagai rumah bersama semua makhluk. Kepedulian pada bumi menjadi suatu kemendesakan karena situasi bumi yang semakin gawat.
Dalam konteks implementasi ensiklik Laudato Si’, Masa Penciptaan menjadi momen bagi manusia melakukan pertobatan ekologis. “Kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah”.[3] Momen pemeliharaan bumi ini hendaknya dipandang juga sebagai jalan pemulihan relasi antara segenap ciptaan dan Pencipta-nya. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab utama kerusakan bumi pada saat ini adalah aktivitas manusia. Gagasan percepatan (rapidación) dalam pembangunan dan konsep kemajuan (progress) yang dianut telah menciptakan kerusakan karena bumi didorong sampai melampaui batas-batas yang dimilikinya. Kecepatan laju kerusakan bumi tidak dapat diimbangi oleh pemulihan alami yang bisa dilakukan oleh bumi (LS. no. 18).
Setelah lima tahun berjalan, pada tahun 2020 tema yang digaungkan adalah “Tahun Rahmat bagi Bumi: Ritme Baru, Harapan Baru” (Jubilee of the Earth: New Rhythms, New Hope). Umat Kristen di seluruh dunia memanfaatkan momen berahmat ini untuk memperbarui hubungan mereka dengan Sang Pencipta sekaligus bersama seluruh ciptaan melalui perayaan, pertobatan, dan komitmen bersama.[4] Sesungguhnya, bumi mampu memulihkan diri-nya sendiri dari kerusakan, bahkan tanpa suatu campur tangan manusia. Namun, harapan baru terkait keterlibatan manusia dalam memelihara bumi yang diwujudkan dalam pertobatan ekologis memperbesar peluang pemulihan kerusakan bumi.
“Perbaikilah Rumah-Ku”
Dalam perayaan selama lima pekan, segenap umat Kristen diajak untuk kembali merenungkan relasinya dengan segenap ciptaan dan Sang Pencipta. Pertanyaan mendasarnya adalah, “Mengapa peringatan St. Fransiskus dari Assisi menjadi puncak masa pertobatan ekologis ini?” Tentu jawabannya terletak pada kisah hidup St. Fransiskus Assisi yang yang sungguh mencintai segenap ciptaan. Bukan sekadar cinta romantis, kedekatan St. Fransiskus Assisi dengan segenap ciptaan merupakan buah sekaligus cara untuk mencintai Allah. Bukti iman kepada Allah ditunjukkan dengan cara memuji Dia melalui keagungan alam ciptaan. Kiranya atas dasar hal tersebut, oleh Gereja Katolik dan gereja-gereja lain, St. Fransiskus dijadikan sebagai patron ekologi. Bukti kasih Fransiskus kepada Allah yang diungkapkan dengan perhatian pada alam ciptaan dapat dilihat pada, Kidung Saudara Matahari gubahannya. Frasa pertama dari kidung tersebut menjadi judul ensiklik, yaitu Laudato Si’ mi Signore (Terpujilah Engkau, Tuhanku).
Salah satu kisah yang menarik dari hidup St. Fransiskus adalah ketika ia berada di gereja San Damiano. Pada awalnya, ia hendak menepi di sebuah ladang yang dekat dengan gereja tersebut. Terdorong oleh bisikan Roh, ia masuk ke sana dan sujud di depan salib. Kemudian, terdengarlah suara olehnya dari salib itu yang berseru: Fransiskus, pergi dan perbaikilah Rumah-Ku, yang hampir roboh ini seperti yang engkau lihat![5] Takjub akan suara itu, ia pun bertekad mengabdikan diri sepenuhnya pada Gereja. Perihal salib, ia menjalin relasi yang sangat intim dengan Yesus. Bukti keintiman tersebut nyata dalam anugerah stigmata (lima luka Yesus) yang diterimanya.
Namun, kata kunci yang hendak ditegaskan dari kisah di atas adalah Rumah-Ku. Rumah yang dipikirkan St. Fransiskus awalnya adalah bangunan fisik gereja. Dengan demikian, ia segera menjual dengan murah kain ayahnya, kemudian memberikan hasil penjualan tersebut demi perbaikan gereja. Namun di kemudian hari ia sadar bahwa Allah menghendakinya agar “memperbaiki” Gereja secara rohani. Ia menyadari bahwa tugas perutusan untuk membangun Gereja merupakan amanat untuk memperbaiki bangunan rohani, dalam hal ini otentisitas relasi antara dirinya dengan Allah dan diri para pengikutnya dengan Allah, juga relasi seluruh Gereja dengan Allah.
Dewasa ini, kata Rumah juga dimaknai sebagai bumi. Rumah yang hendak diperbaiki Fransiskus tidak hanya terbatas pada lingkup Gereja sebagai suatu institusi, melainkan bumi sebagai planet dan tempat tinggal bersama bagi sekalian makhluk. Seruan untuk memperbaiki Rumah merupakan seruan untuk memulihkan relasi dengan bumi. Sebagai fransiskus-fransiskus kecil,” kitapun diajak agar terlibat dalam memulihkan dan memelihara bumi. Kendati hampir “roboh”, bumi selalu menjadi rumah kita dan ada harapan untuk memulihkan kondisi bumi, minimal dari pertobatan atau perubahan cara hidup yang semakin ekologis.
Retret “Salib” bersama Segenap Ciptaan
Dalam tradisi kekatolikan, retret adalah suatu masa yang mana seseorang mengasingkan diri secara sengaja dari segala pengaruh luar. Dalam kurun waktu tertentu, pribadi atau kelompok melepaskan diri dari berbagai tugas yang membebani sambil mempersiapkan diri dalam suasana hening dan khusyuk. Secara sederhana, mereka membaktikan diri selama masa retret demi pemulihan diri mereka serta relasinya dengan Allah.
Sama halnya dengan retret, Masa Penciptaan menjadi momen bagi kita untuk menjauhkan diri dari segala keegoisan terhadap alam ciptaan. Selain itu, retret merupakan momen tepat untuk merefleksikan sejauh mana alam ciptaan sudah dijaga dan dilindungi oleh manusia. Berkaca pada kitab Kejadian, menjadi penjaga bumi adalah tugas yang diberikan Allah kepada manusia pertama (Kej. 1:26, 2:19-20). Hal yang terpenting adalah kita semakin mendekatkan diri dengan Sang Pencipta dalam doa dan kebaktian bagi alam ciptaan.
Dengan demikian, berdasarkan kedekatan St. Fransiskus dengan Salib, setidaknya ada dua pola relasi selama Masa Penciptaan ini. Pertama, perayaan yang horizontal. Dalam bagian ini, kita (manusia) setara dengan segenap ciptaan. Kenyataan ini harus disadari dan dinyatakan. “Ketika kita memandang alam sebagai objek laba dan kepentingan saja, hal itu menimbulkan konsekuensi serius bagi masyarakat.”[6] Relasi subjek-objek hanya akan mengasingkan manusia sendiri dengan ciptaan lain. Manusia memandang ciptaan lain semata sebagai obyek pemuas kebutuhan tanpa menyadari nilai-nilai intrinsik sebagai sesama ciptaan Allah.
Selain itu, relasi horizontal terwujud juga dalam usaha ekumenis berbagai denominasi Kekristenan. Alam ciptaan menjadi rumah bersama, kendati ajaran agama terkadang bertentangan. Hal ini pernah dipesankan Paus Fransiskus kepada Patriark Ekumenis Bartolomeus pada pesta St. Andreas, 30 November, pelindung patriarkat yang berpusat di Istanbul, Turki. “Di dunia yang terluka oleh konflik, persatuan umat Kristen adalah tanda harapan yang harus terpancar lebih nyata….Kita mampu bekerja sama hari ini untuk menggagas perdamaian banyak orang, untuk menghapus semua bentuk perbudakan, untuk menghormati dan martabat setiap manusia dan untuk memelihara ciptaan.”[7] Perayaan masa penciptaan menjadi wadah yang tepat bagi kerja sama berbagai denominasi.
Kedua, perayaan yang vertikal. Sambil berupaya menyetarakan relasi dengan segenap ciptaan, kita juga diajak untuk mengembalikan segala sesuatu yang telah diterima kepada Allah. “Tujuan akhir mereka bukanlah kita. Semua makhluk bergerak maju bersama-sama dengan kita dan melalui kita menuju titik akhir yang sama, yang adalah Allah.”[8] Demi pemeliharaan segenap ciptaan, sudah seharusnya kita juga memulihkan relasi dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Demi melindungi keutuhan ciptaan, kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah sesuai dengan budaya, pengalaman, prakarsa, dan bakat masing-masing.[9] Bersama segenap ciptaan manusia dapat memuji Allah dalam rasa syukur yang besar akan keagungan-Nya sebagaimana tampak di bumi.
Penutup
Masa Penciptaan bukanlah usaha klise Gereja di tengah krisis ekologis; bukan juga aksi narsisi yang hendak mementingkan popularitas atas nama kepedulian terhadap bumi. Sambil memberi contoh bersatunya berbagai denominasi kekristenan, Gereja hendak mengajak semua orang, bukan hanya para pengikut Kristus, untuk bersama-sama merawat ibu bumi sebagai jalan untuk memuji Allah. Selain itu, pola relasi salib hendaknya ditegakkan kembali selama masa penciptaan ini.
Pada akhirnya, masa penciptaan hendaknya menjadi momen yang terbuka, mendasar dan berkesinambungan. Masa Penciptaan tidak tertutup pada kalangan Kristen, tetapi juga terbuka akan partisipasi umat agama lain. Di samping itu, masa penciptaan menjadi fondasi bagi usaha bersama dalam memelihara segenap ciptaan. Tentu saja, momen ini diharapkan berlanjut dan tidak terbatas pada kurun waktu tertentu.
Sdr. Joan Dampuk, OFM
[1] The Gecko Project dan Mongabay dalam https://www.mongabay.co.id/2020/08/29/pemain-baru-mulai-babat-hutan-dalam-proyek-kebun-sawit-raksasa-di-papua/
[2] Selengkapnya dapat ditemukan dalam https://www.oikoumene.org/en/what-we-do/climate-change/time-for-creation/2015
[3] Pidato Patriark Bartolomeus di Santa Barbara pada 8 November 1997 dalam Laudato Si no. 8.
[4] https://seasonofcreation.org/about/#2020theme
[5] Riwayat Hidup St. Fransiskus dari Assisi menurut St. Bonaventura (Legenda Mayor), pasal 2 ayat 1.
[6] Laudato Si no. 82.
[7] Selengkapnya: https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2018-11/pope-francis-patriarch-bartholomew-feast-message-saint-andrew.html https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2018-11/pope-francis-patriarch-bartholomew-feast-message-saint-andrew.html
[8] Laudato Si no. 83.
[9] Laudato Si no. 14.