Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
1. Pengantar
Lingkungan hidup mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Namun, manusia kurang bertanggung jawab merawatnya. Mengingat dampak negatif dari kerusakan lingkungan hidup, maka pelestarian lingkungan hidup harus dilakukan. Terkait hal ini, cara pandang baru untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup dapat mengantar manusia mengantisipasi berbagai macam dampak negatif. Misalnya, belajar dari etika masyarakat adat dan mengusahakan melek ekologi. Lingkungan hidup yang lestari terwujud apabila manusia mampu membangun relasi yang harmonis dengannya, tidak bersikap egois dan eksploitatif.
2. Kerusakan Lingkungan Hidup
2.1 Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan merupakan bagian dari krisis dan bencana lingkungan hidup. Dewasa ini, kerusakan hutan terjadi di berbagai tempat. Pada awal abad kedua puluh, luas areal hutan di dunia mencapai lima miliar ha. Akan tetapi, terjadi kerusakan hutan besar-besaran di berbagai belahan dunia. Hal ini mengakibatkan laju kerusakan mencapai tujuh juta ha per tahun.[1] Sedangkan di wilayah Indonesia, kerusakan atau degradasi hutan dari tahun ke tahun mencapai tiga juta ha per tahun.[2] Kerusakan hutan terjadi karena pembukaan perkebunan sawit, pencurian kayu atau pembalakan liar, dan kebakaran hutan.
Kerusakan hutan menimbulkan berbagai macam dampak negatif, ekosistem rapuh dan tidak seimbang. Karena hutan mempunyai fungsi mengatur iklim dan siklus perubahan cuaca. Selain itu, hutan berfungsi menjaga daerah resapan air dan kualitas tanah. Hutan yang rusak mengakibatkan tanah terkena erosi dan longsor pada saat musim hujan. Flora dan fauna punah apabila kerusakan hutan semakin parah.
2.2 Kerusakan Terumbu Karang
Tingkat kerusakan terumbu karang dari tahun ke tahun meningkat. Pada 2001 kondisi terumbu karang Indonesia mengalami penurunan drastis hingga sembilan puluh persen akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.[3] Hal ini mengakibatkan menurunnya populasi biota laut (ikan karang) dan hilangnya habitat terumbu karang. Secara ekologis, terumbu karang berperan menahan gelombang dan melindungi pantai dari hantaman ombak serta gerusan arus laut.[4]
2.3 Kerusakan Lahan
Kerusakan lahan terjadi karena para petani menggunakan pupuk kimia. Selain itu, kerusakan tanah disebabkan industri pertambangan, eksploitasi mineral dan batu bara. Pada 1984, Lester Brown melakukan penelitaan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerusakan lapisan tanah subur pada lahan pertanian di seluruh dunia mencapai 22, 7 miliar ton per tahun.[5] Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan terjadi dalam kaitan dengan meningkatnya lahan kritis akibat rusaknya permukaan tanah.
2.4 Kerusakan Lapisan Ozon
Kerusakan lapisan ozon disebabkan oleh zat klorofluorokarbon, bromine holocarbon, dan nitrogen oksida. Rusaknya lapisan ozon menimbulkan lubang pada lapisan ozon, katarak dan kanker kulit, kerusakan flora dan fauna, dan gagal panen. Akibat lain kerusakan lapisan ozon adalah ancaman terhadap plankton yang menjadi makanan biota laut.
3. Akar Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup[6]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis dan bencana lingkungan hidup. Pertama, manusia memandang diri sebagai pusat segala sesuatu. Sedangkan alam dilihat sebatas sarana pemenuh kebutuhan manusia. Hal ini menimbulkan perilaku eksploitatif, menghancurkan dan merusak lingkungan hidup. Padahal, manusia hanya bisa hidup, berada, berkembang, dan berproses menjadi diri sendiri dengan alam. Dengan demikian, manusia menjadi korban dari perilakunya sendiri, tidak ramah terhadap lingkungan hidup.
Kedua, kekayaan alam dilihat sebagai sumber daya yang siap dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, nilai sumber daya alam dari sisi genetis, kultural, hidrologis, klimatologis, spiritual, dan budaya terabaikan. Hal ini terjadi karena manusia modern bertindak arogan dan mengabaikan hukum alam. Tidak menyadari bahwa alam mempunyai daya dukung dan daya tampung yang tidak boleh dilampaui.
Ketiga, pemerintah memilih model pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain itu, pemerintah gagal memainkan peran sebagai penjaga dan penjamin lingkungan hidup yang baik serta sehat. Hal ini terlihat ketika pemerintah daerah mengejar peningkatan pendapatan asli daerah. Mengeksploitasi sumber daya alam setempat dan mempermudah izin untuk kegiatan tersebut.
Keempat, lemahnya komitmen, baik secara pribadi maupun bersama dalam menjaga dan melindungi lingkungan hidup. Karena manusia mempunyai kecenderungan menguasai lingkungan hidup, memuaskan keinginan dan kesenangan pribadi.
4. Cara Mengatasi Kerusakan Lingkungan Hidup
Manusia dapat melakukan beberapa cara untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup. Pertama, melakukan perubahan cara pandang dan perilaku. Menyadari bahwa lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri.[7] Oleh karena itu, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral merawat lingkungan hidup. Karena lingkungan hidup mempunyai peran fundamental.[8] Relasi manusia dengan lingkungan hidup yang tidak harmonis menimbulkan bencana. Selain itu, cara pandang manusia yang hanya mementingkan diri sendiri harus diubah. Manusia harus mempunyai cara pandang baru, biosentris dan ekosentris. Cara pandang tersebut harus menjadi gaya hidup dalam membangun relasi dengan lingkungan hidup.
Kedua, melakukan perubahan paradigma dan kebijakan pembangunan. Pembangunan harus mempertimbangkan keseimbangan antara pembangunan dan kepentingan ekonomi serta pembangunan dan kepentingan lingkungan hidup.[9] Selain itu, ketika melakukan pembangunan harus memikirkan dampak jangka panjang. Menampilkan keadilan antara kepentingan ekonomi dan ekologis. Memilih teknologi, proses produksi, dan sumber energi yang ramah lingkungan. Hal ini membutuhkan perubahan radikal, melakukan perlindungan terhadap spesies dan subspesies, keanekaragaman kehidupan, dan komunitas ekologis serta ekosistem yang ada.[10] Sangat memungkinkan apabila pembangunan didasarkan pada sumber daya alam terbarukan.
Ketiga, menggunakan teknologi ramah lingkungan. Hal ini bertujuan memulihkan kerusakan dan pencemaran akibat modernisasi serta industrialisasi. Mengakomodasi kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat adat.[11] Ada baiknya menggunakan teknologi sederhana, tepat guna, dan ramah lingkungan. Selain itu, menerapkan sistem manajemen lingkungan hidup. Menjamin kinerja dan operasi perusahaan berada pada batas toleransi baku mutu serta kerusakan lingkungan hidup.[12]
Keempat, mengembangkan dan mengimplementasikan tata kelola lingkungan. Tata kelola lingkungan harus dimulai dari pemimpin negara, kota, kecamatan, desa, RW, dan RT. Menunjukkan teladan dalam mengelola lingkungan. Membuat kebijakan dan mengimplementasikannya. Menindak para pejabat yang melanggar kebijakan dan undang-undang lingkungan hidup.
Kelima, pemimpin negara, kota, kecamatan, dan desa harus menjamin kesejahteraan masyarakat.[13] Menghentikan alih fungsi lahan yang dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor. Melestarikan pesisir, laut, dan terumbu karang. Menjaga ketersediaan air untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga dan pertanian.
Kelima, membangun rumah hemat energi. Meningkatkan pola hidup hemat energi di rumah dan kantor. Melakukan pengelolaan sampah industri dan rumah tangga. Mengatur pola konsumsi, mengambil makanan secukupnya dan dimakan sampai habis. Menanam pohon di pekarangan rumah. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilakukan secara sukarela atau ditetapkan dalam peraturan daerah.
5. Mengusahakan Cara Pandang Baru
Manusia perlu mengusahakan cara pandang baru. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya manusia dapat menjalin relasi secara positif dengan lingkungan hidup. Ada beberapa hal yang harus diusahakan manusia. Pertama, manusia harus menyadari bahwa dirinya bukan penguasa dan pusat alam semesta. Oleh karena itu, manusia harus merubah cara berpikir, cara pandang, dan cara bertindak terhadap lingkungan hidup. Karena setiap ciptaan Tuhan memiliki nilai intrinsik dan berhak hidup serta berkembang.[14] Pemahaman tersebut digunakan sebagai dasar untuk menghargai dan menghormati ciptaan lainnya.
Kedua, manusia hidup bersama ciptaan lainnya. Permasalahan muncul ketika manusia tidak menyadari bahwa dirinya merupakan pribadi ekologis, berada bersama ciptaan lainnya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh memikirkan kepentingan pribadi, harus belajar hidup berdampingan dengan ciptaan lainnya.[15]
Ketiga, manusia harus menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi karena tindakannya yang tidak adil terhadap lingkungan. Sejatinya alam semesta mempunyai sumber daya alam yang memadai. Namun, manusia menyalahgunakan sumber daya alam.[16]
Keempat, generasi yang akan datang berhak mewarisi lingkungan hidup. Mulai dari sekarang, manusia harus memikirkan keberadaan generasi yang akan datang. Setiap tindakan atau kebijakan terkait lingkungan hidup harus dilakukan dengan memperhitungkan generasi yang akan datang. Generasi yang akan datang mempunyai hak untuk hidup, mewarisi lingkungan hidup, dan menggunakan kekayaan alam.
Kelima, menghargai dan memerlakukan ciptaan lain sesuai nilai yang ada di dalam dirinya. Memerlakukan alam semesta dengan penuh belas kasih. Menghindari tindakan menghabiskan sumber daya alam untuk kepentingan kelompok tertentu. Mempertimbangkan jumlah kekayaan alam yang sifatnya terbatas. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari keinginan berkuasa dan menumpuk kekayaan. Supaya kelompok yang miskin mendapat bagian yang sama.
Keenam, manusia mempunyai kewajiban menyadari diri sebagai ciptaan Tuhan. Selain itu, mengakui ciptaan lain sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus meneladan bagaimana Sang Pencipta memerlakukan ciptan-Nya. Manusia dipercaya mengolah alam dan memerhatikan kepentingan hidup bersama.[17] Terkait hal ini, tugas manusia bukan sekadar mengolah alam, tetapi juga bertanggung jawab penuh atas kualitas lingkungan hidup.[18]
Ketujuh, manusia pada dasarnya dipanggil untuk memersatukan diri dengan lingkungan hidup. Mewujudkan kesatuan kosmik dengan alam, manusia, dan Tuhan. Oleh karena itu, Santo Fransiskus Assisi dapat dijadikan teladan untuk membangun kesatuan kosmik. Santo Fransiskus menitikberatkan kesejajaran manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.[19] Karena manusia tidak berhak berada di atas sesamanya. Yang berhak berada di atas segala-galanya hanyalah Tuhan. Santo Fransiskus menunjukkan sikap terbuka dan bersedia keluar dari egoisme, menonjolkan diri, dan berkuasa.[20] Manusia harus mengangkat dan memerhatikan martabat lingkungan hidup. Perlu disadari, sekali pun tanpa manusia, lingkungan hidup tetap bernilai dalam dirinya sendiri.
6. Belajar dari Etika Masyarakat Adat
Masyarakat adat mempunyai kesadaran bahwa mereka hidup dan menjadi bagian integral dari lingkungan hidup. Oleh karena itu, masyarakat adat berperilaku tanggung jawab, hormat, dan peduli terhadap lingkungan hidup. Sesungguhnya masyarakat adat mengajarkan kepada manusia untuk kembali ke jati dirinya dan menjadi manusia ekologis. Masyarakat adat memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, komunitas alam.[21] Cara berperilaku dan budaya masyarakat adat dipengaruhi relasi mereka dengan lingkungan hidup. Masyarakat adat juga memahami bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta saling terkait dan bergantung.
Masyarakat adat melihat bahwa tanah mempunyai peran penting dan nilai sakral.[22] Tanah menjadi sumber kehidupan bagi manusia dan ciptaan lainnya. Dalam arti tertentu, tanah merupakan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, manusia harus menghormati, mencintai, dan melihat lingkungan hidup sebagi saudara. Mengapresiasi nilai kehidupan ciptaan lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa binatang dan tumbuhan tidak boleh diambil serta dikonsumsi. Hanya saja, kegiatan manusia mengambil kekayaan alam ditempatkan dalam konteks keterkaitan seluruh kehidupan dalam sakralitasnya.[23] Bagi masyarakat adat, sikap hormat kepada kehidupan merupakan hukum moral.
Masyarakat adat juga mengembangkan kearifan tradisional. Kearifan tradisional merupakan pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis dibangun.[24] Oleh karena itu, kearifan tradisional menjadi milik komunitas. Kearifan tradisional menyangkut bagaimana menjalin relasi secara baik dalam komunitas ekologis. Terkait hal ini, lingkungan hidup mempunyai nilai dan pesan moral, misalnya menghormati kehidupan. Masyarakat adat melakukan setiap aktivitas sebagai aktivitas moral. Dengan demikian, ketika alam kehilangan sakralitas dan dilihat sekadar sumber daya untuk pembangunan, maka alam dihancurkan tanpa takut terhadap kekuatan magis.[25]
7. Melek Ekologi Menuju Masyarakat Berkelanjutan
Masyarakat berkelanjutan membangun dan menata hidupnya dengan bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup. Kesadaran tersebut terjelma dalam perilaku ramah terhadap lingkungan hidup. Perilaku menjaga dan merawat lingkungan hidup.[26]
Manusia harus menyadari pentingnya merawat bumi, ekosistem, dan alam sebagai tempat tinggal serta berkembangnya kehidupan. Seluruh komunitas harus ditata secara berkelanjutan, baik cara hidup, pola makan, bisnis, ekonomi, industri, politik, dan struktur sosial untuk mempertahankan kehidupan serta melindungi lingkungan hidup.[27] Oleh karena itu, ciri dasar komunitas alam yang berkelanjutan adalah kemampuannya mempertahankan diri dan saling melengkapi.
Manusia harus menyadari bahwa lingkungan hidup mempunyai prinsip saling tergantung satu dengan yang lainnya.[28] Yang satu membutuhkan yang lain dan yang lain membutuhkan yang lain lagi. Prinsip alam semesta yang berikutnya yaitu prinsip daur ulang.[29] Sisa hasil produksi berupa limbah tidak dibuang, diolah sebagai energi.
Manusia tidak boleh mengeruk kekayaan alam. Tetapi manusia harus belajar dari alam dan menghormati alam. Karena alam dan seluruh sistem kehidupan melindungi serta menghidupi manusia. Misalnya, alam menyediakan air dan udara bersih. Selain itu, alam mengatur iklim yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan.
8. Penutup
Sikap manusia menghormati keberadaan lingkungan hidup membantu kelestarian, pertumbuhan, dan perkembangan lingkungan hidup. Tanpa sikap bertanggung jawab dan kesadaran merawat lingkungan hidup, akan muncul berbagai macam dampak negatif. Tanpa kesadaran bahwa lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri, manusia akan merusak dan mengeksploitasi lingkungan hidup. Dengan menyadari bahwa manusia menjadi bagian integral dari lingkungan hidup, manusia akan bertindak adil dan peduli terhadap lingkungan hidup. Akhirnya, manusia harus memiliki kehendak baik, berlaku ramah, menghargai, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Karena manusia membutuhkan lingkungan hidup supaya dapat mempertahankan diri.
Daftar Pustaka
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
——————–. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
——————–. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
[1] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010, 28.
[2] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 28.
[3] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 33.
[4] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 34.
[5] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 35.
[6] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 76-112.
[7] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 115.
[8] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 116.
[9] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 119.
[10] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 124.
[11] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 135.
[12] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 141.
[13] A. Sonny Keraf. Krisis dan Bencana …, 159.
[14] William Chang. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001, 78.
[15] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 79-80.
[16] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 84.
[17] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 101.
[18] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 101.
[19] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 104.
[20] William Chang. Moral Lingkungan Hidup, 105.
[21] A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, 284.
[22] A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan, 286.
[23] A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan, 288.
[24] A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan, 289.
[25] A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan, 295.
[26] A. Sonny Keraf. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2014, 125.
[27] A. Sonny Keraf. Filsafat Lingkungan Hidup: …, 129-130.
[28] A. Sonny Keraf. Filsafat Lingkungan Hidup: …, 131.
[29] A. Sonny Keraf. Filsafat Lingkungan Hidup: …, 132.