Oleh: Yansianus Fridus Derong OFM
(Sekretaris Eksekutif JPIC OFM Indonesia)
1. Pengantar
Tidak lama setelah Sinode, yakni 2 Februari 2020, Paus Fransiskus mengeluarkan seruan apostolik pasca sinode Amazon. Seruan apostolik yang berjudul, Amazon Tercinta (Querida Amazonia) ini ditujukan kepada umat beriman dan semua yang berkehendak baik. Seruan ini adalah tanggapan pribadi Paus atas sinode Amazon, sekaligus kerangka refleksi yang dapat diaplikasikan secara konkret dalam hidup di Amazon. Melalui seruan apostolik ini Paus Fransiskus ingin membangunkan kesadaran dan perhatian dunia serta semua orang terhadap tanah Amazon. Selain itu, seruan ini merupakan bentuk perhatian Gereja terhadap Amazon dan wilayah lain yang menghadapi tantangan dan persoalan yang sama. Sebab menurut Paus, segala sesuatu yang Gereja berikan kepada dunia harus terjelma dalam cara yang khusus, sehinggga Gereja mampu menampilkan dengan baik manifestasi kekayaan rahmat Allah yang tiada taranya.
Tulisan ini saya buat untuk mengambil bagian dalam keprihatinan, seruan perjuangan dan mimpi Paus Fansiskus bagi terciptanya kehidupan sosial, ekologis, budaya, dan eklesial yang damai, adil dan integral. Setelah membeberkan isi ringkas seruan apostolik Paus Fransiskus, saya akan menyampaikan beberapa gagasan penting yang relevan baik bagi Persaudaraan Fransiskan maupun bagi Gereja.
2. Isi Seruan Apostolik Paus Fransiskus
Kata kunci yang dipakai Paus Fransikus dalam seruan ini adalah ‘mimpi’. Mimpi itu mengungkapkan cita-cita, harapan, perjuangan dan langkah-langkah pastoral Paus Fransiskus, baik bagi wilayah Amazon khususnya mapun wilayah lain di seluruh dunia yang memiliki tantangan dan persoalan yang sama. Secara padat dan ringkas, mimpi-mimpi Paus terdapat dalam dokumen nomor 7 yang berbunyi: Pertama, saya bermimpi akan wilayah Amazon yang memperjuangkan hak kaum miskin, masyarakat asli dan saudara-saudari yang miskin dan terpinggirkan agar suara mereka didengarkan dan martabat mereka dijunjung tinggi. Kedua, saya bermimpi akan wilayan Amazon yang dapat mempertahankan kekayaan budayanya yang khas dan unik, di mana keelokan kemanusiaan terpantul dalam aneka cara. Ketiga, saya bermimpi akan Amazon yang dengan sungguh-sungguh menjaga keindahan alamnya yang begitu besar dan sumber kehidupan yang begitu melimpah. Keempat, saya bermimpi akan komunitas Kristiani yang mampu berkomitmen untuk mengasihi, mampu menjelma dalam wilayah Amazon, dan memberikan wajah baru kepada Gereja dengan karakter atau ciri Amazon. Paus sendiri menyebutkan bahwa mimpi-mimpi itu adalah mimpi sosial, mimpi budaya, mimpi ekologis dan mimpi Gereja.
2.1 Mimpi Sosial
Paus mengaskan bahwa krisis ekologi yang menimpa Amazon tidak hanya di hadapai melalui pendekatan ekologis tetapi juga harus disertai dengan pendekatan sosial. Itu berarti kita berbicara tentang keadilan ekologis, sehingga kita mampu mendengarkan baik jeritan alam maupun jeritan orang miskin. Paus melihat bahwa wilayah Amazon syarat dengan ketidakadilan dan kriminalisasi yang memarjinalkan penduduk asli. Banyak masyarakat Amazon yang berpindah ke pinggiran kota. Di sana mereka tidak bebas dari persoalan, malahan lebih buruk. Mereka semakin miskin, mereka mengalami ketakutan, eksplotasi seksual dan menjadi korban perdagangan orang, hutan juga dieksploitasi habis-habisan.
Menurut Paus Fransiskus, penyebab dari situasi tragis Amazon adalah anggapan yang keliru tentang Amazon sebagai wilayah kosong yang harus diisi, daerah sumber bahan mentah yang harus dikembangkan, daerah liar yang perlu dijinakkan. Mereka tidak mengakui hak masyarakat asli, mereka tidak dianggap ada, dan tanah itu bukan milik mereka. Bahkan dalam pendidikan anak-anak dan orang muda, mereka diangap sebagai pengacau dan perampas. Selain itu, terjadi ketidakseimbangan kekuasaan terhadap masyarakat asli. Mereka adalah orang-orang lemah yang tidak memilki daya untuk mempertahankan diri mereka, orang kuat dan menang telah merampas segala-galanya dari mereka. Negara-negara yang melakukan bisnis di sana gagal menghormati hak dan martabat masyrakat asli Amazon.
Paus meminta Gereja untuk turut merasakan kemarahan sebagaimana yang dilakukan Musa (Kel 11:8) dan Yesus (Mrk 3:5) dan sebagaimana yang dilakukan oleh Allah berhadapan dengan ketidakadilan (Amos 2:4-8; 5:12). Gereja tidak boleh bersikap acuh tak acuh berhadapan dengan kejahatan. Kesadaran sosial kita tidak boleh tumpul berhadapan dengan eksploitasi yang menghancurkan dan mematikan. Ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi di Amazon seharusnya membangkitkan kemarahan dan kejijikan dalam diri kita dan membuat kita lebih peka berhadapan dengan ekploitasi, kekerasan dan pembunuhan terhadap manusia.
Paus menegaskan bahwa mentalitas kolonialaisasi yang ekploitatif bisa dilawan dengan membentuk jaringan solidaritas dan pembangunan, dibutuhkan sebuah globalisasi solidaritas yang tidak memarginalkan, juga dengan pertanian berkelanjutan, dan sumber energi yang tidak polutif. Singkatnya, pembangunan yang tiak merusak alam dan budaya. Dan pada saat yang sama, orang asli dan orang miskin diberi penddikan yang layak untuk meningkatkan dan memajukan kemampuan mereka. Gereja harus berkomitmen untuk mendengarkan permintaan orang Amazon dan menjalankan misi profetisnya dengan transparan. Karena sadar bahwa di masa lalu para misionaris kita tidak selalu berpihak kepada mereka yang lemah dan tersingkir, Paus menyampaikan rasa malu dan permohonan maaf, tidak hanya atas pelanggaran Gereja sendiri, tetapi atas segala kejahatan melawan masyarakat asli sepanjang sejarah Amazon.
Untuk membangun sebuah masyarakat yang adil dibutuhkan sebuah kapasitas persaudaraan, mencakup rasa kebersamaan (sense of community), keterbukaan dan tanggungjawab. Orang Amazon menunjukkan hal itu hampir dalam seluruh aspek hidup, seperti dalam kerja, relasi, ritus dan perayaan-perayaan. Mereka hidup dengan menekankan sikap saling berbagi. Segala tugas dan tanggungjawab dilaksanakan demi kepentingan bersama. Nilai-nilai itu tidak lain adalah nilai Injili. Dalam Injil kita melihat bagaimana nilai persaudaraan dan solidaritas dan mangupayakan budaya perjumpaan sungguh ditonjolkan. Dengan niali-nilai itu kita dapat melawan diskriminasi dan penindasan di antara manusia.
Demi terwujudnya kehidupan sosial yang baik Paus menekankan pentingnya merefleksikan kembali dan mengarahkan dengan benar peran lembaga atau institusi dalam masyarakat. Lembaga-lembaga itu ada demi kepentingan umum. Eksistensi lembaga-lembaga tersebut mempunyai dampak, baik pada lingkungan maupun pada kualitas hidup manusia. Lembaga-lembaga dibentuk untuk mengatur relasi-relasi dalam hidup manusia. Institusi-institusi ini yang lemah dapat menyebabkan ketidakadilan, kekerasan, dan hilangnya kebebasan. Terhadap peran isntitusi-institusi tersebut, Paus Fansiskus bertanya, di manakah institusi-institusi di Amazon? Mengutip hasil sinode Amazon, Paus menegaskan bahwa terjadi krisis kepercayaan terhadap institusi-institusi baik politik maupun sosial. Institusi-institusi tersebut sarat dengan mentalitas koruptif. Paus juga mencatat bahwa Gereja menjadi bagian dari jaringan yang koruptif itu, ketika ia dengan diam-diam setuju untuk mengalihkan bantuan ekonomi untuk kepentingan Gereja.
Demi terwujudnya kehidupan sosial yang baik di Amazon, Paus menuntut perlu adanya dialog sosial, khususnya di antara suku-suku asli demi membangun jaringan untuk perjuangan bersama. Dilog itu penting demi mencari cara dan langkah yang dapat memperkaya Amazon. Jika kita mau berdialog, maka pertama-tama kita harus berdialog dengan orang miskin, demikian tegas Paus. Dari orang miskin kita belajar, dari mereka kita harus mendengar betapa mendesaknya memperjuangkan keadilan. Yang paling penting untuk disadari adalah bahwa dengan dialog, kita menghormati orang miskin dan tersingkir. Mereka harus dipandang sebagai subjek, yang memilki perasaan, suara, cara hidup dan pekerjaan yang harus diakui.
2.2 Mimpi Budaya
Menurut Paus Fransiskus, akar dari semua krisis ekologi dan sosial di Amazon adalah paradigma konsumeristis yang ditopang globalisasi ekonomi. Paradigma berpengaruh besar terhadap kehancuran budaya. Keanekaragaman budaya lokal dan eneka warisan kearifan leluhur kian memudar dan hilang. Kelompok yang sangat mudah dipengaruhi oleh paradigma ini adalah orang muda. Mereka kurang memahami asal-usul dan latar belakang mereka sendiri, sehingga mereka menerima begitu saja hal-hal baru. Untuk mencegah dan mengatasi ini menurut Paus perlu perhatian yang penuh cinta pada akar-akar, yakni pada budaya dan kearifan lokal yang menjadi warisan leluhur mereka turun-temurun. Budaya dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya sangat penting dan mendasar bagi seseorang untuk bertumbuh dan sebagai pedoman tatkala menjumpai tantangan-tantangan baru. Kapada orang muda asli Amazon, Paus berpesan “bertanggungjawablah terhadap akarmu, karena dari akar datang kekuatan yang membuat engkau tumbuh subur dan berbuah.” Pengetahuan akan akar ini akan memberikan sukacita dan harapan yang menginspirasi tindakan-tindakan yang berani dan mulia.
Berabad-abad orang Amazon mewariskan budaya mereka secara lisan, dalam bentuk mitos, legenda. Ada resiko bahwa kekayaan kebudayaan akan hilang. Akhir-akhir ini sudah ada yang mulai menulis sejarah dan menjelaskan arti dari adat-istiadat mereka. Dalam konteks ini, mereka dapat secara eksplisit mengakui bahwa mereka memilki sebuah identitas etnis dengan membawa memori personal, keluarga dan kolektif yang sangat berharga. Orang yang sudah kehilangan kontak dengan akar, kini dapat menemukanya kembali. Sudah bertumbuh kesadaran akan identitas sebagai orang Amazon. Wilayah Amazon menjadi sumber nilai kesenian, literatur, insiprasi musik dan budaya. Semua itu diinspirasikan oleh alam, seperti air, hutan, dan aneka pengalaman hidup sehari-hari.
Demi terwujudnya kehidupan kultural yang baik, perlu adanya dialog lintas budaya. Sebab setiap budaya memiliki baik kelebihan maupn kekurangan. Diskriminasi, ketidakadilan dan beberapa persoalan lainnya memperlihatkan sisi lemah dari budaya Barat. Sebaliknya, suku-suku asli dalam interaksi dengan alam, mengembangkan sebuah kekayaan budaya yang ditandai komitmen yang kuat untuk bertanggungjawab dan juga nilai dan kearifan lainnya demi terciptanya kehidupan yang baik. Dengan demikian, amatlah berfaedah bila kita mendengarkan pengalaman hidup mereka. Bersama dan saling berbagi harapan. Segala perbedaan adalah jembatan yang mempersatukan, sebab identitas dan dialog tidak bertentangan. Identitas budaya kita justru diperkuat dengan perjumpaan dengan budaya lain. Sudah tidak realistis lagi kalau kita masih menutup diri terhadap kehadirn budaya lain. Budaya lokal harus dibagikan untuk memperkaya budaya kita saat ini.
Demi terwujudnya dialog lintas budaya, menurut Paus, di daerah Amazon sendiri perlu dibangun relasi-relasi lintas kultural; sebuah dialog tentang visi, perayaan, relasi budaya yang berbeda dan untuk menghidupi harapan. Berhadapan dengan invasi media yang cenderung merusak manusia baik kehidupan sosial dan budayanya, kita perlu menghadirkan kekayaan budaya masyarakat asli atau budaya lokal dalam media komunikasi sebagai alternatif sistem nilai yang penting bagi manusia dan dunia saat ini.
2.3 Mimpi Ekologis
Salah satu ciri penting dari budaya dan kehidupan orang Amazon menurut Paus Fransiskus adalah berciri kosmis. Ada relasi yang begitu dekat antara manusia dengan alam. Dengan mengacu kepada kata-kata Paus Benediktus XVI, Paus menegaskan kembali bahwa sepanjang ekologi alam ada, maka ekologi manusia dan ekologi sosial juga akan ada. Di sini Paus mau menegaskan kembali akan prisnsip dasar ekologi integral, yakni segala sesuatu terhubung atau terkoneksi. Amazon memperlihatkan kebenaran gagasan itu. Antara manusia dan ekosistem tidak terpisahkan. Kebajikan masyarakat asli Amazon menginspirasi kita akan pentingnya sikap menghormti alam.
Mimpi ekologis Paus pertama-tama dinspirasikan oleh air. Di Amazon, kata Paus, air ibarat seorang ratu. Sungai dan alirannya ibarat nadi karena air menentukan segala-galanya. Aliran air sungai-sungai besar Amazon, menyatukan, memperindah, dan memberi kehidupan bagi daerah sekitarnya. Sungai-sungai tidak memisahkan mereka, sebaliknya mempersatukan mereka untuk tinggal bersama kendati ada perbedaan budaya dan bahasa.
Paus sungguh merasa prihatin dengan krisis lingkungan hidup yang terjadi di Amazon. Sebab menurut Paus, keseimbangan planet bumi kita teragantung pada sehat tidaknya wilyah Amazon. Bersama dengan lingkungan alam di Kongo dan Borneo, Amazon terdiri atas aneka macam pohon yang membantu menciptakan curah hujan, membentuk keseimbangan iklim dan aneka macam makhluk hidup sangat bergantung padanya. Hutan Amazon sangat berguna dalam mengurangi karbondioksida penyebab pemanasan bumi. Namun saat ini terjadi kerusakan besar-besaran terhadap lingkungan Amazon. Salah satu penyebabnya adalah karena bumi hanya dipandang sebagai sumber daya alam dan tidak sebagai rumah. Paus lebih lanjut mengingatkan bahwa kita jangan hanya memperhatikan spesies yang kelihatan, melainkan juga spesies yang tidak kelihatan yang sangat besar perannya pada ekosistem, seperti, alga, ganggang, serangga dan mikroorganisme lainnya. Kendati tidak kelihatan, semua itu sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan ekosistem sebuah wilayah. Ini semua harus dipertimbangkan ketika kita mengevaluasi aneka industri yang menimbulkan polusi dan merusak lingkungan.
Paus memberikan pujian kepada organisasi-organisasi internasional dan organisasi-organisasi masyarakat yang memberikan perhatian dan komitmen terhadap persoalan dan krisis Amazon, melalui kritik mereka atas tindakan yang merusak lingkungan di sana. Namun menurut Paus, untuk melindungi wilayah Amazon, penting untuk mengkombinasikan kebijaksanaan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang dengan pengetahuan teknis kontemporer demi terciptanya sebuah manajemen keberlanjutan sambil juga mempertahankan gaya hidup dan sistem nilai dari mereka yang berdiam di sana. Paus mendesak pentingnya menyusun sebuah kerangka kerja untuk melindungi ekosistem Amazon dan struktur-strukur kekuasaan yang mengedepankan ekonomi berkelanjutan, kebebasan dan keadilan.
Dalam merawat lingkungan hidup, kata Paus, kita perlu belajar sikap kontemplatif dari masyarakat Amazon. Kita tidak sekadar meneliti wilayah Amazon tetapi perlu mengkontemplasikannya. Kita juga dipanggil untuk mencintai wilayah Amazon, tidak sekadar menggunakannya. Dengan sikap kontemplatif, kita mampu menjadi bagian darinya. Dengan demikian Amazon harus menjadi seperti ibu bagi kita. Dengan segala rasa estetis yang Tuhan berikan kepada kita, marilah mengagumi segala sesuatu yang indah, demikian ajakan Paus. Amazon merupakan locus teologicus, sebuah tempat di mana Allah sendiri mewahyukan diri-Nya dan mengumpulkan semua anak-anak kesayangan-Nya. Paus Franasiskus menegaskan bahwa demi terwujudnya ekologi yang integral, diperlukan pendidikan yang akan melahirkan habitus baru baik secara pribadi maupun komunal. Pendidikan itu amat penting dalam melahirkan ekologi berkelanjutan yang melawan budaya konsumerisme yang banyak menggerogoti orang muda saat ini. Secara khusus Paus meminta Gereja agar dengan kekayaan rohani dan tradisi pendidikan yang luar biasa yang dimilkinya harus menjelma dalam aneka budaya dunia umumnya dan demi perlindungan dan perkembangan wilayah Amazon khususnya.
2.4 Mimpi Gereja
Paus menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk berjalan bersama orang Amazon. Di Amerika Latin, perjalanan itu sudah kita jumpai dalam ziarah konferensi para uskup, seperti di Medelin (1968), Santarem (1972), Puebla (1979), San Dominggo (1992), dan Aparecida (2007). Dalam perajalanan itu mereka membangun Gereja yang berwajah Amazon, Gereja yang bertumbuh dalam perjumpaan budaya menuju Gereja yang beragam wajah dalam keharmonisan. Paus berharap agar upaya menjelmakan Gereja semacam ini perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Oleh karena itu, mendengarkan dan menanggapi jeritan orang Amazon harus dipandang sebagai mandat iman yang kita terima dari Injil. Keberpihakan yang otentik terhadap orang miskin dan terpinggirkan menurut Paus Fransiskus, harus menghantar mereka kepada persahabatan dengan Allah yang mengangkat martabat mereka. Tidak cukup Gereja menyampaikan ajaran moral, tetapi juga warta keselamatan. Motivasi utama bagi Gereja dalam menolong orang miskin dan terpinggirkan adalah karena dalam diri mereka kita melihat Kristus, dan juga karena kita mengakui keluhuran martabat yang mereka terima dari Allah sebagai Bapa yang senantiasa mencintai mereka.
Cara pewartaan Injil yang paling mendesak dan berdaya guna dalam konteks Amazon menurut Paus adalah dengan pewartaan iman (kerygma); sebuah model pewartaan lama, yang harus dihidupkan lagi dalam cara yang baru. Dalam pewartaannya, Gereja menegaskan bahwa Allah mencintai semua orang dan menampakkan kepenuhan cinta-Nya itu dalam Yesus Kristus, disalibkan dan bangkit dalam hidup kita. Gereja hendaknya melaksanakan mandat Tuhan Yesus, pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk (Mrk 16:15).
Demi perwujudnya karygma, yang harus selalu diperhatikan Gereja dalam karya perutusannya adalah inkulturasi. Dengan inkulturasi, Gereja menerangi budaya Amazon dengan Injil. Kecuali itu, budaya tidak hanya menjadi objek penebusan melainkan juga berperan sebagai jalan dan sarana penebusan. Dalam sejerahnya, Gereja memperlihatkan perjumpaannya dengan banyak budaya. Dalam mewartakan Injil, Gereja tidak hanya memandang penting untuk mewartakan Injil melainkan juga penting memperhatikan dan belajar dari budaya setempat.
Terdapat sejumlah langkah inkulturasi di Amazon menurut Paus. Pertama, Gereja perlu mendengar kearifan yang diwariskan nenek moyang mereka, termasuk di dalamnya adalah sistem nilai dan kisah-kisah yang nampak dalam cara hidup mereka. Di Amazon kita menemukan warisan kekayaan yang sangat luar biasa, termasuk perihal keterbukaan pada Allah, rasa syukur atas hasil bumi, ciri sakral pribadi manusia dan penghargaan akan keluarga, rasa solidaritas dan tanggungjawab terhadap kepentingan umum, pentingnya sembah bakti dan percaya akan dunia akhirat. Pada orang Amazon juga kita menemukan pendekatan komunitarian atas eksistensi, kemampuan untuk menemukan sukacita dan kelimpahan dalam hidup yang sederhana dan tanggungjawab dalam memelihara lingkungan demi generasi yang akan datang. Menurut Paus Fransiskus, ada banyak hal yang diajarkan oleh orang Amazon terhadap kita. Mereka mengerti betul bagaimana menjalani hidup yang serba kekurangan, mereka mampu mensyukuri anugerah Allah tanpa mengakumulasi kekayaan. Semua kekayaan kebudayaan ini dinilai dan diangkat oleh Gereja dalam pewartaanya. Dengan demikian, dalam berinkulturasi, Gereja harus menjadi sahabat mereka. Sebagaimana sahabat, Gereja harus mendengarkan mereka, bicara bagi mereka dan memeluk kebajikan-kebajikan mereka. Dan setelah diterangi oleh nilai Injil, Gereja menghidupkan kembali nilai-nilai itu karena nilai-nilai penting bagi dunia dewasa ini, terutama dalam memerangi konsumerisme dan egoisme saat ini yang membawa bencana baik bagi manusia maupun lingkungan.
Kedua, inkulturasi itu harus mampu meninggikan dan memenuhi. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa mistik orang asli Amazon yang melihat intekoneksi dan interdependensi segala sesuatu dalam alam, dan misitik tentang kesakralan seluruh alam, kita memasukan di sana pandangan tentang Allah sebagai pribadi yang mengetahui dan mencintai. Demikian juga dalam relasi dengan Yesus Kristus, sungguh Allah dan sungguh manusia, pembebas, penebus, tidak bertentangan dengan pandangan tentang kosmos yang sangat mencolok pada masyarakat Amazon, karena Dia juga bangkit sebagai Tuhan dan meresapi segala yang hidup. Bagi orang Kristiani, seluruh alam ciptaan, menemukan makna sejatinya dalam inkarnasi Sabda, Putera Allah mempersatukan diri-Nya dengan dunia material. Ia hadir dalam sungai, pohon-pohon, ikan, angin, sebagai Tuhan yang memerintah atas seluruh ciptaan. Dalam Ekaristi Ia mengangkat elemen dunia untuk diberi makna spiritual.
Ketiga, perlu diupayakan inkulturasi sosial dan spiritual. Dalam situasi kemiskinan yang dialami oleh kebanyakan masyarakat Amazon, amat penting menurut Paus bagi Gereja untuk mengupayakan inkulturasi sosal dan spiritual. Dengan berupaya menyelesasikan masalah sosial yang ada di sana, Gereja menghadirkan wajah Kristus yang mengidentifikasikan diri-Nya dengan yang lemah dan sakit. Dalam Injil kita melihat hubungan yang sejati antara pewartaan dan upaya memajukan kemanusiaan. Penting disini menurut Paus adalah bahwa para petugas pastoral dilatih perihal ajaran sosial Gereja. Dalam inkulturasi perlu mengintegrasikan aspek sosial dan spiritual, sehingga orang miskin tidak mencari spiritualitas di luar Gereja dalam menjawab kerinduan mereka yang terdalam. Dengan menekankan aspek spiritual tidak bermaksud untuk mengalienasi atau mengajukan religiositas individualistis untuk membuat kita diam terhadap persoalan sosial. Aspek sosial dan spiritual harus berjalan bersama, sehingga kita mampu menampakkan keindahan Injil yang sejati, yang memanusiakan dan memberi kepenuhan kepada setiap hati dan seluruh hidup.
Keempat, inkulturasi berarti belajar kekudusan dari orang Amazon. Pada bagian ini Paus berbicara tentang kekudusan yang berwajah amazon. Kekudusan berwajah Amazon lahir dari perjumpaan, kontemplasi, pelayanan, penerimaan, hidup dalam persekutuan, ketenangan hati dan perjuangan demi keadilan. Inkulturasi menurut Paus harus sampai pada sikap memahami, menghormati dan mencintai semua orang. Gereja dapat mempelajari dan mengambil simbol-simbol asli Amazon, tanpa melihat itu sebagai berhala. Demikian juga dengan mitos-mitos tanpa melihatnya sebagai paganisme. Festival-festival mereka juga sarat dengan nilai spiritual. Yang harus dilakukan Gereja adalah proses permurnian dan pematangan agar pusat dari spiritualitas adalah Allah sendiri dalam relasinya dengan kebutuhan, harapan, dan perjuangan manusia untuk memperoleh hidup yang bermartabat. Yang paling penting saat ini menurut Paus adalah untuk menunjukkan bahwa kekudusan berarti bicara tentang energi, vitalitas dan sukacita.
Kelima, Paus juga berbicara tentang inkulturasi liturgi. Gagasan paling penting menurut Paus dalam inkulturasi spiritualitas Kristiani dalam budaya orang asli adalah yang berhubungan dengan sakramen. Dalam sakramen, yang ilahi dan duniawi bersatu, rahmat dan ciptaan berjumpa. Pada masyarakat Amazon, sakramen dipandang dalam kontinuitasnya dengan ciptaan. Sakramen adalah kepenuhan ciptaan, dalam sakramen alam menjadi locus dan sarana rahmat. Dalam Ekaristi, Allah memilih untuk dibagi-bagi dan dipecah-pecahkan. Ekaristi mempersatukan surga dan dunia, Ekaristi merangkul dan meresap ke seluruh ciptaan. Dalam pemahaman ini, menjumpai Allah tidak berarti berpaling dari atau membelakangi bumi. Maka, ke dalam liturgi, Gereja harus memasukkan elemen-elemen penting pengalaman dan budaya orang asli, seperti, hubungan mereka dengan alam dan pengungkapan budaya dalam bentuk lagu, tarian, ritual, gerak, dan simbol. Sakramen-sakramen Gereja meski menampakkan dan mengkomunikasikan Allah yang dekat dan berbelaskasih, Allah yang menyembuhkan dan menguatkan anak-anak-Nya. Dengan demikian, kata Paus, sakramen-sakramen mesti mudah diperoleh. Orang miskin tidak boleh ditolak untuk menerima sakramen dengan alasan keuangan. Bagi Gereja, belaskasih harus diungkapkan secara konkret dalam pelayanan pastoral.
Keenam, Paus juga berbicara tentang pentingnya inkulturasi bentuk-bentuk pelayanan di Amazon. Inkulturasi meski harus sampai pada inkulturasi organisasi dan pelayanan. Pelayanan pastoral di Amazon menurut Paus tidak merata, karena wilayah yang luas, daerah terpencil dan terisolasi dengan keragaman budaya dan juga persoalan sosial yang ada. Gereja harus berusaha agar para pelayan pastoral tersedia dan mumpuni. Mereka harus dididik dan dibina dengan baik untuk melaksanakan pelayanan. Salah satu gagasan penting bagi para pelayan adalah bahwa mereka memahami cita rasa dan budaya Amazon. Paus mengingatkan kembali para imam agar berkat tahbisan suci yang diterimannya untuk menguduskan umat, sebagai wakil Kristus, imam menyalurkan rahmat kepada seluruh umat. Ia juga meminta untuk merevisi struktur dan isi pembinaan para imam, baik bina awal maupun bina lanjut agar dialog dengan budaya Amazon menjadi bagian penting di dalamnya. Paus juga menegaskan bahwa, selain imam, di Amazon juga perlu ada diakon permanen yang harus berperan penting dalam pertumbuhan persekutuan umat.
Mengingat wilayah Amazon yang sulit dan terpencil, Paus menekankan peran penting awam, dalam membantu para imam untuk mewartakan Sabda, mengajar, membangun kelompok, melayani sakramen tertentu dan mencari cara untuk mempopulerkan devosi-devosi Gereja. Paus tetap menegaskan bahwa mereka harus tetap merayakan Ekaristi, karena Ekaristi yang membentuk Gereja, karena tidak ada komunitas Kristiani yang dapat lahir dan bertumbuh tanpa Ekaristi. Para awam itu harus didampingi dan dibina dengan baik. Di Amazon juga menurut Paus sangat penting kehadiran pemimpin-pemimpin awam yang memiliki otoritas dan akrab dengan budaya setempat.
Ketujuh, Paus menyebutkan betapa besar peran kehadiran, kekuatan dan anugerah perempuan dalam Gereja. Paus mencatat bahwa di Amazon ada komunitas-komunitas Kristiani yang bertahan dalam iman, bahkan ketika tidak ada imam selama bertahun-tahun. Hal itu terjadi berkat kehadiran dan ketulusan perempuan yang dipanggil dan digerakan Roh Kudus, mereka membaptis, memberi katekese, berdoa dan bertindak layaknya misionaris. Berabad-abad perempuan telah menjaga Gereja tetap hidup di wilayah mereka berkat devosi dan iman mereka yang mendalam. Beberapa dari mereka berbicara dalam sinode Amazon dan mereka memberikan masukan yang sangat berharga untuk Gereja.
Kendati demikian, Paus tidak setuju dengan ide sinode yang meminta untuk memberikan perempuan struktur fungsional melalui tahbisan perempuan. Menurut Paus ini adalah sebuah cara pandang reduksionis yang sempit, yang hanya akan membawa kita pada klerikalisme perempuan, yang justru mengurangi nilai yang luar biasa atas apa yang telah mereka kerjakan, dan membuat kontribusi mereka juga kurang efektif. Sebab menurut Paus, Yesus Kristus sebagai pengantin Gereja yang merayakan Ekaristi tampil sebagai seorang laki-laki dalam diri imam. Allah memeilih menampakkan kekuasaan dan cinta-Nya melalui dua wajah, wajah Putera Ilahi-Nya yang menjadi laki-laki dan wajah ciptaan, seorang perempuan, Maria. Kaum perempuan memberikan kontribusi pada Gereja, dengan cara yang pantas dan layak untuk mereka, yakni dengan mengahadirkan kekuatan kelembutan Bunda Maria. Paus menegaskan bahwa kita harus sadar, bahwa tanpa perempuan, Gereja akan runtuh, beberapa Gereja di Amazon telah ambruk karena tidak ada perempuan yang menjaga dan memeliharanya.
Kedelapan, pentingnya semangat ekumenis dan dialog antaragama. Paus berbicara tentang wilayah Amazon yang terdiri atas banyak agama. Oleh kerena itu di Amazon amat perlu untuk bicara dan bertindak bersama demi kebaikan bersama dan demi membela orang miskin. Baik agama Katolik maupaun agama-agama lain, perlu sikap saling belajar karena didalam ajaran-ajaran agama terkandung hal-hal yang mampu memberi penerangan kepada manusia. Kendati demikian, menurut Paus, kita harus yakin bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya penyelamat dunia. Kita juga harus tetap menanamkan semangat devosi yang mendalam kepada Bunda Maria. Kita perlu bertanggungjawab untuk membagikan kepada wilyah Amazon, kekayaan kehangatan, kasih keibuan yang kita terima dari Bunda Maria. Spirit dialog yang sejati menurut Paus lahir dari semangat keterbukaan untuk mendengarkan, berdiskusi dan berjuang bersama demi kebaikan Amazon.
Setelah menyampaikan mimpi-mimpinya, Paus mengajak umat Kristiani untuk mengarahkan pandangannya kepada Bunda Maria, Bunda Tuhan Yesus dan bunda kita semua. Ia juga adalah bunda orang Amazon. Bunda Maria yang telah memungkinkan kita berjumpa dengan Yesus, Tuhan dan penyelamat kita. Paus menutup seruan apostoliknya dengan sebuah doa kepada Bunda Maria
3. Relevansi Seruan Apostolik Paus Fransiskus Pasca Sinode Amazon 2020
Terdapat sejumlah relevansi terkait seruan apostolik Paus Fransiskus pasca sinode Amazon 2020 untuk kehidupan kita sebagai orang Kristiani dewasa ini. Pertama, seruan apostolik yang disampaikan Paus Fransiskus selaras dengan semangat JPIC OFM yang menjunjung tinggi, mewartakan, dan mengaktualisasikan unsur-unsur keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Paus Fransiskus dan JPIC OFM mempunyai keprihatinan yang sama, di mana dewasa ini sebagaimana terjadi di Amazon dan berbagai macam tempat lainnya, terjadi ketidakadilan, ketidakdamaian, dan hancurnya keutuhan ciptaan. Oleh karena itu, para Fransiskan harus mewarisi dan mengejawantahkan semangat serta seruan yang disampaikan Paus Fransiskus. Tampil sebagai pembawa keadilan, kedamaian, dan terus-menerus mengusahakan terciptanya keutuhan ciptaan. Apalagi identitas sebagai saudara dina yang mengikuti jejak Santo Fransiskus dari Assisi, mempunyai tanggungjawab yang lebih besar. Dengan demikian hal ini merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang bagi para Fransiskan.
Kedua, dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan mengenai ketidakadilan, ketidakdamaian, dan hancurnya keutuhan ciptaan, sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, harus menanamkan di dalam diri mengenai gagasan kesatuan tatanan ciptaan. Karena segala sesuatu yang ada di dunia pada dasarnya bersifat integral, saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya, tidak terpisah dan tidak bersifat partikular. Gereja harus mampu mewadahi dan mengelaborasi gagasan yang terkait kearifan lokal, ekumene, Kitab Suci, ajaran sosial Gereja, perkembangan ilmu pengetahun, sosial, politik, ekonomi, budaya, dll untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang terjadi di Amazon dan juga di tempat lainnya. Hanya dengan demikian berbagai macam persoalan di Amazon dan di tempat lainnya dapat diatasi, sekurang-kurangnya persoalan-persoalan yang terjadi tidak semakin parah. Hal ini merupakan tugas berat dan membutuhkan kerelaan untuk mengorbankan waktu dan tenaga. Selain itu, harus berani menghadapi ketidaknyamanan ketika memutuskan untuk memutus rantai ketidakadilan, ketidakdamaian, dan rusaknya keutuhan ciptaan.
Ketiga, Gereja mempunyai peran profetis sebagai nabi, menjadi pembawa keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan. Hal ini menuntut sikap konsisten dari anggota Gereja ketika berhadapan dengan persoalan kemanusiaan, persoalan lingkungan hidup, persoalan sosial, persoalan politik, persoalan budaya, persoalan ekonomi, dll. Gereja tidak boleh menutup mata ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan tersebut. Gereja harus menampilkan wajah yang berbelaskasih, terutama berpihak kepada orang-orang miskin dan lingkungan hidup yang dari hari ke hari mengalami kerusakan lantaran eksploitasi yang tiada hentinya. Dengan demikian, peran Gereja sebagai nabi, wakil Yesus Kristus yang ada di dunia menentukan nasib sesama manusia yang sedang “menjerit” dan lingkungan hidup yang wajahnya semakin rusak dan tidak indah lagi.
Keempat, mimpi Paus Fransiskus mengenai keharmonisan sosial, terpeliharanya budaya lokal, lingkungan hidup yang subur dan asri, dan Gereja yang bertumbuh serta berkembang, hanya bisa terwujud apabila anggota Gereja bertindak. Melakukan tindakan-tindakan konkret, misalnya bersikap peduli terhadap kehadiran sesama terutama mereka yang miskin dan menderita, menjunjung tinggi dan memelihara budaya lokal, merawat lingkungan hidup dengan baik dan benar, dan berperan di dalam kehidupan menggereja. Oleh, karena itu, anggota Gereja atau orang-orang Kristiani dewasa ini harus membuka pikiran, mata, dan hati ketika berhadapan dengan berbagai macam persoalan yang sedang terjadi. Memberikan diri dan memastikan bahwa kehidupan sosial, budaya, ekologi, dan Gereja sungguh-sungguh bertumbuh serta berkembang.
4. Penutup
Seruan apostolik Paus Fransiskus paca sinode Amazon 2020 hendaknya menyadarkan kita akan pentingnya sikap peduli. Memberantas sikap egois dan individualistis yang seringkali memicu terjadinya ketidakadilan, ketidakdamaian, dan rusaknya keutuhan ciptaan. Melihat sesama dan ciptaan lainnya sebagai saudara merupakan salah satu cara untuk memberantas sikap egois dan individualistis. Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, segala sesuatu yang ada di dunia pada dasarnya terhubung, terdapat relasi di dalamnya. Akhirnya, mari kita bergandengan tangan dan berjuang bersama-sama untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan di mana pun dan kapan pun.