Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Para filsuf abad kedua puluh mengritik egologia dan menekankan relasi antarmanusia. Karena egologia memandang manusia sebagai individu yang terisolasi dari yang lain. Perlu diketahui bahwa egologia bermula dari cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) yang dikumandangkan Rene Descartes (1596-1650), di mana manusia dipandang sebagai subjek, terpisah dari dunia. Egologia terdiri rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Selanjutnya, akan diuraikan pandangan Martin Buber (1878-1965), Gabriel Marcel (1889-1973), Martin Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), dan Emmanuel Levinas (1906-1995) mengenai relasi antarmanusia.

Buber dan Marcel mengritik egologia yang menekankan pola subjek-objek dalam relasi antarmanusia. Karena pola relasi tersebut tidak memungkinkan terjadinya relasi yang setara dan timbal balik. Terkait dengan hal ini, Buber menegaskan bahwa relasi antarmanusia terdiri dari dua kategori. Pertama, aku-engkau, bersifat timbal balik, langsung, aktual, dinamis, intensif, dan tidak terkatakan. Kedua, aku-benda, bersifat sepihak, tidak aktual, tidak intensif, dan posesif.

Sedangkan Marcel menjelaskan dua pola dalam mendekati realitas. Pertama, melemparkan realitas ke depan sebagai objek (ditangkap dan diabstraksikan di dalam pikiran). Kedua, mendekati realitas sebagai misteri (kedalaman yang tidak dapat ditimba sampai tuntas oleh penalaran). Perlu diketahui bahwa relasi antarmanusia yang ideal harus didasarkan pada lima ciri, yaitu ketersediaan, menerima dan memberi perhatian, keterlibatan, kesetiaan, dan kreativitas.

Heidegger menilai bahwa egologia mentematisir manusia ke dalam bentuk metafis dan saintifik. Oleh karena itu, Heidegger mengritik egologia dengan cara menunjukkan tiga faktisitas eksistensial manusia, yaitu ada di sana, ada di dunia, dan ada dengan yang lain. Faktisitas eksistensial tersebut melukiskan bahwa manusia senantiasa terlibat dan tergantung dengan yang lain. Terkait dengan hal ini, relasi antarmanusia tidak dimungkinkan ketika yang lain menjadi impersonal, manusia kerumunan. Karena akan memicu adanya tirani (penguasa tunggal yang memerintah secara brutal) dan sistem diktator (pemerintahan otoriter). Selain itu, manusia tidak mempertanyakan eksistensinya yang otentik, tenggelam dalam kerumunan.

Sartre menerangkan cara berada manusia ke dalam dua kategori, yaitu berada pada dirinya dan berada bagi dirinya. Terkait dengan hal ini, manusia tidak memerlakukan diri sebagai objek, karena dimungkinkan untuk bebas. Tetapi, ketika berada dengan yang lain, manusia merasa dijadikan objek. Oleh karena itu, Sartre melihat relasi antarmanusia pada dasarnya bersifat konfliktual, saling mengobjekkan. Dengan demikian, yang lain dilihat sebagai neraka, penghalang kebebasan.

Levinas menilai bahwa egologia mengorbankan yang lain sebagai sarana (tataran etis), menguasai dan memperbudak yang lain (tataran sosio-politis), dan melenyapkan ruang transendensi serta menyebabkan ateisme (tataran metafisis-religius). Terkait dengan hal ini, egologia mereduksi realitas ke dalam akal budi dan meniadakan perbedaan. Di mana yang lain dilihat sebagai yang sama, bukan yang lain.

Levinas menyakini bahwa gagasan manusia sebagai yang lain merupakan suatu kebenaran fundamental. Hal ini didasarkan pada dua argumen. Pertama, pengakuan terhadap yang lain sebagai yang lain membawa manusia sampai pada pengalaman metafisis-religius (epifani wajah). Kedua, pengakuan terhadap keberadaan yang lain harus sampai pada tataran etis-objektif (perjumpaan dengan orang miskin, janda, anak-anak, dll).

Daftar Pustaka:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.

Lanur, Alex. Aku Disandera: Aku dan Orang Lain Menurut Emmanuel Levinas. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.

—————. Filsafat Manusia. Jakarta: STF Driyarkara, 2000.

—————. “Hubungan Antarpribadi Menurut Buber dan Levinas.” Basis, Desember 1991, 444-456.

Lechte, John. Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here