Lima tahun lalu, Paus Fransiskus mengeluarkan ensklik berjudul Laudato Si’ (Terpujilah Engkau). Secara umum, ensikklik tersebut berisi seruan dan desakan Paus Fransiskus untuk menjaga kelestarian bumi sebagai rumah bersama seluruh makhluk. “Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusiawinya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua” (LS 14). Lebih lanjut, Andrea Tornieli dalam artikel yang berjudul “Laudato Si’: An Encylical to help us to the post-pandemic future,” mengatakan bahwa ensliksik Laudato Si,’ di tengah masa pandemi, dapat menjadi penuntun dalam menata ulang komunitas masyarakat agar menjadi lebih peduli pada orang-orang miskin, lemah, dan tersingkirkan. Selain itu, menjaga dan melestarikan alam merupakan bentuk kepedulian terhadap hidup generasi masa depan.

Sejalan dengan spirit Laudato Si’ dan dalam rangka merayakan lima tahun terbitnya ensiklik tersebut, persaudaraan Fransiskan mondial menyerukan sebuah gerakan bersama yang mempromosikan suatu pertobatan ekologis. Pertobatan tersebut disebut juga konversi ekologi integral karena mencakup perubahan gaya hidup yang akan berdampak secara positif bagi ekologi, sistem ekonomi, dan relasi sosial. Gerakan yang dimaksud adalah The Laudato Si’ Revolution (Revolusi Laudato Si’). Lebih lanjut, gerakan tersebut dicanangkan terutama dalam rangka mengejahwantahkan gagasan keutuhan ciptaan sebagaimana tertuang dalam Laudato Si’. Mengingat gerakan ini baru saja dimulai, tidak banyak pihak mengetahuinya. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjelaskan secara sederhana perihal revolusi Laudato Si’, mencakup tujuan dan relevansi dari gerakan tersebut.

  Panggilan Radikal dari Ensiklik Laudato Si’

      Be praised my Lord, through our sister mother earth, who feeds us and rules us…

                                                      (St. Francis of Assisi, “Canticle of Creatures”)

Ensiklik Laudato Si’ memiliki arti khusus bagi para Fransiskan. Betapa tidak, judul ensiklik itu saja, yakni Laudato Si’ merupakan frasa yang diambil dari Kidung Saudara Matahari gubahan St. Fransiskus Assisi. Melalui kidung tersebut, St. Fransiskus memuji kemuliaan Allah melalui keindahan alam ciptaan. Bukan sekadar memuji, St. Fransiskus menyematkan predikat saudara-saudari kepada segenap ciptaan, seperti saudari bulan, saudara angin, saudari air dan saudari bumi. Sejalan dengan hal itu, Executive Director of Franciscan Action Network, Stephen Schneck, Ph.D dalam sebuah refleksi yang berjudul “Laudato Si’: A Call for Franciscan-Hearted Political Action” menjelaskan bahwa persaudaraan Fransiskan sebagai sebuah persaudaraan yang dibentuk oleh patron ekologi, St. Fransiskus dari Assisi, mesti memenuhi panggilan dari ensklik Laudato Si‘ untuk melakukan pertobatan dan transformasi gaya hidup bukan saja secara personal (personal transformation) tetapi juga secara bersama-sama sebagai satu persaudaraan.

Selanjutnya, panggilan dari ensiklik Laudato Si’ untuk suatu  perubahan gaya hidup secara radikal sungguh-sungguh diresapkan, dihayati, dan akhirnya diejawantahkan oleh para Fransiskan dalam sebuah gerakan yang bernama revolusi Laudato Si’. Gerakan tersebut menjadi sebuah kampanye global yang bertujuan mempromosikan dan mendorong pertobatan ekologi secara integral (integral ecological conversion). Laman resmi revolusi Laudato Si,’ www.laudatosirevolution.org  menjelaskan bahwa inti dari kampanye revolusi Laudato Si’ mesti menyentuh dimensi kemanusiaan dan sosial setiap individu. Melalui gerakan itu diharapkan setiap individu menyadari arti penting nilai-nilai luhur keadilan sosial-ekologis, perawatan dan rasa hormat terhadap ciptaan, dan solidaritas antargenerasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, pertobatan ekologi integral bukanlah suatu tuntutan perubahan yang semata bersifat saintifik. Sebaliknya, lebih merupakan jalan ‘menghidupkan’ yang menyentuh secara personal, berorientasi pada perawatan dan pelestarian segenap ciptaan. Aspek personal tersebut dapat dilihat pada perbaikan atau pemulihan (recovery) cara pandang manusia, khususnya umat Kristiani terhadap alam ciptaan. Terkait perubahan cara pandang ini Paus Fransiskus menjelaskan demikian dalam Laudato Si’ “[t]here needs to be a distinctive way of looking at things, policies, an educational program, a lifestyle, and a spirituality which together implement a process of formation for human conscience and consciousness” (LS p.111). Kata-kata tersebut, hemat penulis mengekspesikan harapan Paus Fransiskus bagi seluruh umat manusia untuk senantiasa menjaga relasi yang harmonis dengan Tuhan, alam, dan sesama seperti halnya elemen-elemen di semesta yang juga bergerak secara harmonis.

Bukan Revolusi Politis melainkan Revolusi Spiritual

Tak dapat dihindari bahwa kemunculan makhluk renik yang dikenal sebagai Covid-19 serentak membangkitkan keprihatinan global. Berbagai media, entah media daring maupun media cetak memberitakan kemunculan makhluk renik itu berdampak sangat signifikan terhadap setiap lini kehidupan manusia: banyak orang terinfeksi dan meninggal dunia, beberapa perusahaan besar gulung tikar, aktivitas di wilayah perkotaan dibatasi, para medis kewalahan, rumah sakit mengalami kelebihan daya tampung, dan lain sebagainya. Pada beberapa tempat muncul aksi solidaritas baik untuk tenaga medis dengan cara menyediakan APD (Alat Perlindungan Diri), maupun menyediakan donasi bagi mereka harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Namun, jika dianalisa dari perspektif ekologi, masa pandemi justru menjadi berkah tersendiri bagi bumi. Ambil contoh, media daring Kompas.com pada tanggal 17 Juli 2020 menerbitkan berita berjudul “Dampak Pandemi Virus Corona pada Lingkungan, Polusi Udara Global Turun”. Pada artikel tersebut diberitakan tentang perubahan kualitas udara menjadi lebih baik di beberapa tempat seperti China ataupun benua Eropa. Pada tempat-tempat tersebut, kadar nitrogen dioksida—gas emisi kendaraan bermotor dan mesin pabrik—mengalami penurunan. Perubahan kualitas udara menjadi lebih baik diklaim beberapa ahli dalam artikel tersebut mampu menyelamatkan banyak kehidupan sebab tingkat kematian akibat kualitas udara yang buruk melampaui tingkat kematian tahunan akibat penyakit malaria pada masa normal.

Bagaimanapun juga, pandemi Covid-19 telah membuka mata banyak pihak tentang model kehidupan yang telah dibangun oleh manusia selama dua abad terakhir telah menimbulkan kerugian yang besar bagi bumi. Berbagai model pembangunan telah mengorbankan keutuhan ciptaan. Laju perkembangan yang diciptakan manusia lebih cepat daripada laju bumi memulihkan dirinya akibat kerusakan yang ditimpakan. Lantas, suatu koreksi atau kritik terhadap model pembangunan sebelumnya diperlukan. Bumi membutuhkan suatu “kenormalan baru” yang tidak hanya mampu menyokong kehidupan manusia tetapi juga memperhatikan keutuhan ciptaan. “Kenormalan baru” dapat diwujudkan di tengah pandemi melalui suatu bentuk solidaritas. Dilansir dari www.laudatosirevolution.org, pemimpin umum para Saudara Dina, Br. Mikhael Perry, OFM mengajak para Fransiskan dan semua pihak untuk saling terbuka dan membantu satu sama lain selama masa pandemi. Ensiklik Laudato Si’ menjadi panduan utama untuk saling merangkul dalam sikap solidaritas. Meskipun protokol kesehatan mengharusnya adanya social distancing, bukan berarti secara kemanusiaan-spiritual manusia saling menutup diri menjadi saling  tidak peduli.

Hemat penulis, ajakan Br. Perry, OFM sekaligus merupakan gaung panggilan untuk mewujudkan pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis bukan hanya soal perubahan gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan. Lebih dari itu, pertobatan ekologis dimulai dari perubahan cara pandang terhadap alam ciptaan, dari cara pandang yang cenderung instrumentalis menuju cara pandang lebih utuh dengan melihat alam ciptaan sebagai anugerah Allah yang diberikan dalam suatu keutuhan sehingga harus dijaga dan dirawat secara utuh pula. Perubahan cara pandang akan berpengaruh dalam menciptakan gaya hidup baru yang lebih ekologis, lebih adil dan berkelanjutan. Ensklik Laudato Si’ merupakan inspirasi untuk memahami bahwa setiap elemen kehidupan saling terkait satu sama lain. Apabila ada suatu elemen yang rusak dalam gerak harmonis alam, maka akan menimbulkan kekacauan bagi elemen yang lain. Itulah sebabnya, Br. Perry OFM menjelaskan bahwa revolusi Laudato Si’ bukanlah revolusi bernada politis melainkan suatu revolusi yang bersifat spiritual, dimulai dari suatu cara pandang baru terhadap dunia dan segala elemen yang terdapat di dalamnya. Dunia bukan milik manusia. Dunia menjadi tempat manusia hidup bersama makhluk ciptaan lain pada saat ini dan di masa yang akan datang. Dunia bukan monopoli manusia demi pemuasan kebutuhannya tetapi merupakan rahmat bagi segenap ciptaan, tempat ciptaan mendapatkan hidup dari Allah dan sekaligus tempat ciptaan dan manusia memuji Allah.

Penutup

Kedalaman duka yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 sekaligus merupakan peringatan akan kerapuhan dan keterbatasan manusia. Serentak muncul kesadaran bahwa solidaritas merupakan jitu dan mendesak untuk tetap mengusahakan kehidupan di tengah pandemi. Solidaritas bukan saja dibangun secara parsial tetapi secara mondial, bersama seluruh warga bumi termasuk bersama ciptaan lain. Solidaritas merupakan suatu tanda bahwa segala bentuk kehidupan di bumi saling terkait satu sama lain. Manusia dan ciptaan lain berada dalam satu jejaring kehidupan yang saling terhubung. Kerusakan keutuhan ciptaan akan membawa bencana bagi banyak pihak. Pada manusia, orang miskin dan terpinggirkan akan menjadi korban pertama.

Pada masa pandemi ini, ensiklik Laudato Si’ menjadi semakin relevan. Penulis meyakini bahwa ensiklik Laudato Si’ dapat menjadi petunjuk untuk memikirkan adanya ‘dunia baru’: suatu dunia yang adil serta berkelanjutan, di mana segenap ciptaan dapat hidup bersama tanpa ada yang tersisihkan. Melalui Gerakan revolusi Laudato Si,’ diharapkan kita mempunyai kesadaran dan gaya hidup baru. Tentu saja, yang dimaksudkan dengan ke-baru-an di sini adalah setiap tindakan yang kita lakukan mestilah disertai dengan tanggung jawab terhadap perawatan alam sebagai rumah kita bersama (our common home). Pada akhir artikel ini, penulis mengutip pepatah masyarakat Indian di Amerika Utara, “Kami tidak mewarisi tanah leluhur kami, kami hanya meminjamnya dari anak-anak kita”. Penulis mengajak kita semua untuk bergabung dalam gerakan revolusi Laudato Si’.

Daftar Pustaka

Harun, Martin (penerj), Ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Jakarta: Obor, 2016.

Andrea Tornieli, “Laudato Si’: An Encylical to help us to the post-pandemic future”, diambil dari https://www.franciscans.ie/the-laudato-si-revolution/, (diakses pada 1 September 2020, pkl 20.25 WIB).

Stephen Schneck, “Laudato Si’: A Call for Franciscan-Hearted Political Action”, diambil dari

https://www.franciscans.ie/the-laudato-si-revolution/, (diakses pada 6 September 2020, pkl 20.25 WIB)

https://www.vaticannews.va/en/church/news/2020-09/uk-bishop-we-all-have-a-role-to-play-in-caring-for-our-common-h.html, (diakses pada 10 September 2020, pkl 20.25 WIB)

https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2020-07/pope-francis-cooperatives-day-climate-renewable-energy-justice.html, (diakses pada 10 September 2020, pkl 20.25 WIB)

https://ofm.org/blog/rap-song-for-ecological-conversion-laudato-si-revolution/, (diakses pada 10 September 2020, pkl 20.25 WIB)

https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2020-05/laudato-si-encyclical-pope-francis-tornielli-coronavirus-future.html), (diakses pada 10 September 2020, pkl 20.25 WIB)

https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/17/190300123/dampak-pandemi-virus-corona-pada-lingkungan-polusi-udara-global-turun, (diakses pada 10 September 2020, pkl 21.00 WIB)

 

Sdr. Arif Kelabur OFM
Gambar diambil dari www.laudatosirevolution.org

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × four =