Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Kitab Ayub merupakan karya utama sastra kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama. Penulis kitab Ayub tidak diketahui, kemungkinan ditulis dalam atau segera sesudah pembuangan. Kitab Ayub mempertanyakan keadilan Allah. Karena Allah diharapkan memberikan perlindungan dan kemakmuran sebagai imbalan kesetiaan serta ketaatan umat.
Berhadapan dengan realitas tersebut, mereka mempertanyakan penderitaan yang dialami orang-orang saleh yang tidak bersalah dan jujur (Ayub 1:1). Dalam puisi dramatis tersebut, Ayub merupakan orang yang mengalami penderitaan. Dalam waktu singkat, Ayub kehilangan anak-anak, kekayaan, dan kesehatan. Selain itu, Ayub mengalami kepedihan, doanya tidak dijawab.
Susunan kitab Ayub berupa prosa dalam prolog dan epilog. Sedangkan Ayub 3-42:6 berupa puisi, dialog antara Ayub dengan ketiga sahabatnya. Perlu diketahui bahwa para “penghibur” Ayub (Ayub 16:1-2) menegaskan bahwa wajar apabila ia harus menderita. Oleh karena itu, mereka menasihati Ayub supaya menanggung penderitaan dengan tabah. Namun, nasihat tersebut justru membuat Ayub marah.
Ayub mencerca, menghujat, dan mengutuk Allah. Selain itu, Ayub menyatakan kepada Allah bahwa dirinya tidak bersalah. Ia berharap supaya hari kelahirannya dihapus dari sejarah (Ayub 3:3-7). Ia menantang Allah, bahkan seandainya harus dibunuh karenanya. Namun, yang ada hanyalah kesunyian, tidak seorang pun bertindak sebagai wasit antara dirinya dengan Allah.
Pada akhirnya, Allah menyatakan diri dan kesombongan Ayub direndahkan. Ia tidak dapat lagi menyatakan kebenarannya di hadirat Allah (Ayub 38:2-4). Peristiwa tersebut membuat Ayub bertobat. Karena kemurahan Allah menjawabnya. Kekayaan Ayub tidak hanya dipulihkan, tetapi diberikan dua kali lipat (Ayub 42:10). Selain itu, Allah mengaruniakan tiga anak gadis yang cantik kepadanya (Ayub 42:15).
Ketiga sahabat Ayub, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar hendak membenarkan Allah dengan mengatakan bahwa terdapat relasi antara dosa dan penderitaan. Namun, dalam epilog ditunjukkan bahwa Allah mencela sahabat-sahabatnya. Karena nasihat yang mereka sampaikan kepada Ayub bersifat naif (Ayub 42:7). Akhirnya, semoga kisah Ayub menginspirasi hidup kita. Terutama ketika berhadapan dengan penderitaan, Allah tidak akan meninggalkan dan senantiasa memberikan pertolongan.
Daftar Pustaka:
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2009.
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Penerj. A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Penerj. Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.