Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut Immanuel Kant (1724-1804), manusia merupakan makhluk rasional yang menghendaki hukum untuk membatasi kebebasan. Terkait hal ini, dibutuhkan pemimpin yang mampu bersikap adil terhadap diri sendiri dan yang lain. Namun, yang terjadi seringkali justru sebaliknya, setiap orang cenderung mengecualikan diri dari yang lain.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, konstitusi negara harus dirancang sedemikian rupa. Harapannya perilaku seluruh warga negara seragam, tidak mempunyai niat dan sikap jahat terhadap yang lain.
Perlu diketahui bahwa hukum dapat diberlakukan secara berkelanjutan dan menghasilkan keadaan damai. Sebagaimana dikatakan Kant, setiap orang harus bertindak sedemikian rupa, sehingga kehendak bebas setiap orang sesuai dengan kebebasan yang lain dalam hukum universal.
Selanjutnya, dialog dalam hidup bersama dapat dilakukan melalui konsensus lintas batas yang dibangun di atas liberalisme politik. Namun, harus tetap menjaga originalitas prinsip-prinsip etis pandangan hidup.
Konsep rasionalitas yang dikembangkan tradisi kantian mendapat sejumlah kritik. Karena rasionalitas kantian terpengaruh dan terperangkap cara berpikir Barat, hegemonial dan imperialistis. Hal ini membuat rasionalitas kantian dinilai tidak mampu dan tidak cocok dijadikan landasan mengembangkan dialog antarperadaban pada tataran global.
Dalam rangka menanggapi konsep rasionalitas Kant, John Rawls (1921-2002) mengintegrasikan konsep konsensus lintas batas pada tataran hukum para bangsa, di mana keputusan dan tindakan politis dapat diterima negara non-liberal.
Rawls menunjukkan bahwa secara kodrati manusia tidak ingin memperlakukan yang lain sebagai sarana. Karena manusia pada dasarnya adalah tujuan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, supaya setiap orang menerima prinsip keadilan, setiap orang harus hidup dalam posisi asali dan dalam cadar ketidaktahuan.
Hidup dalam posisi asali dan cadar ketidaktahuan menghasilkan dua prinsip. Pertama, prinsip kesetaraan, di mana setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh sistem kebebasan asasi dan dimungkinkan untuk diakses. Kedua, prinsip perbedaan, di mana ketidaksamaan sosial dan ekonomi diterima sejauh mendatangkan keuntungan lebih besar bagi kelompok yang mengalami nasib buruk.
Daftar Pustaka:
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Madung, Otto Gusti. “Martabat Manusia Sebagai Basis Etis Masyarakat Multikultural.” Diskurus, Vol. 11, No. 2 (2012), 160-173.
Seta, Martinus Ariya. “Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant.” Diskursus, Vol. 15, No. 1 (2016), 69-90.