Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Ketika menjalani hidup di dunia, manusia mengejar tujuan tertentu dan mencari sesuatu yang dinilai baik. Terkait dengan hal ini, Aristoteles melontarkan pertanyaan, apakah ada tujuan tertinggi yang dikejar dan dicari manusia untuk diri sendiri, di mana semua tujuan bawahan mengarah pada tujuan tertinggi? Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia/happiness/well-being), kedaan objektif yang tidak tergantung pada perasaan subjektif.

Perlu diketahui bahwa kebahagian mengandung ciri kesempurnaan dan mempunyai jiwa (daimôn) yang baik. Kebahagiaan dicapai melalui kebajikan atau keutamaan (areté/virtue). Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan Aristoteles, etika merupakan cabang filsafat yang mempunyai tujuan praktis, bukan sekadar teoretis.

Namun, kebahagiaan bersifat relatif, di mana setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai kebahagiaan. Aristoteles kembali bertanya, apa itu kebahagiaan jika ditinjau dari segi unsur dan isi? Menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah aktivitas atau aktus (di dalamnya terdapat kesempurnaan), bukan sekadar potensi atau potensialitas.

Kesempurnaan yang dimiliki manusia berupa rasio, pemikiran, dan kemampuan memandang kebenaran (theôria/contemplation). Supaya bahagia, manusia harus menjalankan aktivitas berdasarkan keutamaan. Karena hanya pemikiran yang disertai keutamaan memungkinkan manusia bahagia. Selain itu, manusia bukan sekadar makhluk intelektual, tetapi makhluk yang mempunyai perasaan, keinginan, nafsu, dll.

Manusia bisa disebut bahagia apabila mampu menjalankan pemikiran dan keutamaan secara serentak dalam jangka panjang, bersifat stabil. Supaya sungguh-sungguh bahagia, manusia harus merasa senang ketika menjalankan kebahagiaan. Karena kebahagiaan tidak lengkap apabila tidak disertai kesenangan (pleasure), unsur batiniah. Unsur batiniah tersebut harus disertai unsur lahiriah. Misalnya, sehat, sejahtera, mempunyai keluarga, mengenyam pendidikan, memeroleh penghargaan, dll.

Aristoteles menegaskan, supaya mempunyai keutamaan, manusia tidak cukup apabila sekadar mengetahui apa yang baik sebagaimana diajarkan Sokrates dan Plato. Pengetahuan yang dimiliki manusia harus diaktualisasikan. Selain itu, Aristoteles menolak anggapan di mana pengetahuan dapat diajarkan. Karena manusia pada dasarnya memeroleh pengetahuan melalui perilaku baik, melakukan perbuatan baik secara objektif. Kebiasaan baik yang dilakukan secara konsisten mampu membentuk watak manusia. Dengan demikian, hidup berdasarkan keutamaan objektif memungkinkan manusia menjadi pribadi berkeutamaan.

Aristoteles menyebutkan dua jenis keutamaan. Pertama, keutamaan moral. Menurut Aristoteles, keutamaan merupakan watak yang memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, keutamaan merupakan jalan tengah antara kelebihan dan kekurangan. Keutamaan harus mempunyai ciri murah hati, berani, dan gagah. Hal ini menunjukkan bahwa Aristoteles mengikuti alam pikiran Yunani, yaitu keselarasan dan keseimbangan.

Aristoteles meyakini bahwa keutamaan merupakan sikap konsisten memilih jalan tengah. Namun, jalan tengah tidak dapat disamaratakan untuk setiap orang. Oleh karena itu, jalan tengah harus dipandang subjektif, bukan objektif. Karena tidak mungkin mengukur jalan tengah di antara dua ekstrem secara matematis. Dengan kata lain, berbagai macam faktor terkait pribadi manusia harus dipertimbangkan.

Jalan tengah tidak dapat ditentukan secara umum, harus disesuaikan kepada setiap orang. Sebagaimana ditegaskan Aristoteles, rasio mempunyai peranan menentukan jalan tengah dan mengaktualisasikannya. Karena hidup berdasarkan keutamaan tidak melulu bertumpu pada persoalan teoretis.

Kedua, keutamaan intelektual. Menurut Aristoteles, rasio manusia mempunyai dua fungsi, yaitu mengenal kebenaran (rasio teoretis) dan memberikan petunjuk ketika seseorang membuat keputusan (rasio praktis). Terkait dengan hal ini, Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang mampu menyempurnakan rasio. Pertama, kebijaksanaan teoretis atau kearifan (sophia) yang dilihat Aristoteles sebagai sikap konsisten. Terkait dengan hal ini, jalan menuju kebijaksanaan teoretis merupakan jalan panjang yang mencakup pendidikan ilmiah.

Kedua, kebijaksanaan praktis (phronésis/prudentia/prudence) adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia memutuskan benda-benda konkret yang dianggap baik untuk hidupnya. Oleh karena itu, kebijaksanaan praktis tidak terlepas dari keutamaan moral. Karena kebijaksanaan praktis harus menunjukkan jalan tengah. Dengan demikian, keutamaan moral yang sejati selalu disertai kebijaksanaan praktis.

Aristoteles menegaskan bahwa unsur terpenting supaya manusia mencapai kebahagiaan adalah memandang kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendirian Aristoteles sejatinya tidak jauh berbeda dengan keyakinan Plato, di mana tidak ada orang yang mempunyai cara hidup yang lebih luhur daripada filsuf. Karena filsuf mengenal kebenaran dengan memandang ide-ide.

Namun, Aristoteles menolak ide-ide dan serentak mengakui bahwa memandang kebenaran merupakan aktivitas tertinggi manusia. Oleh karena itu, hidup bahagia ialah hidup sebagai filsuf, di mana menjalankan aktivitas rasio diyakini sebagai hidup ilahi. Filsuf akan memelihara hidup ilahi dengan mengabaikan segala sesuatu yang bersifat manusiawi.

Daftar Pustaka:

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

——————————. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Dardiri, A. “Etika Pengembangan Diri Menurut Aristoteles.” Jurnal Filsafat, 16 November 1993, 29-34.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here